Pandu bangun dengan mood yang tak karuan. Banyak hal yang kini menggelayut di pikirannya. Yang paling membuatnya resah adalah pesan singkat misterius itu. Apa benar pesan itu ditujukan padanya atau hanya salah kirim atau justru hanya keisengan seseorang. Ia sudah mengalami hari yang cukup berat kemarin, jadi ia memutuskan untuk tidak lagi memikirkan pesan itu mulai sekarang.
Pandu tiba di sekolah lebih awal dari biasanya. Ia sengaja berangkat ke sekolah pada pagi buta untuk meninggalkan paket pesannya di meja Bara begitu saja agar ia tidak harus bertemu dengan Bara dan mendengar omelannya. Ia kemudian berjalan keluar dari kelas Bara dengan terbirit-birit hingga tak menyadari ada seseorang yang sedang berjalan di depannya.
Bruk!
Pandu terjatuh ke lantai.
"Aduh, sorry banget gue ga sengaja, beneran." Pandu bangkit dan menghampiri orang itu.
"Gapapa kok. Eh, elo ternyata Ndu. Lo ngapain ke kelas gue?" Seorang gadis mengenakan jas OSIS rupanya mengenali Pandu. Tentu saja, siapa yang tidak kenal Pandu. Ia begitu famous di sekolahnya karena karakternya yang suppel dan wajahnya yang tampan.
"Eh, Bu Ketos, sorry ya. Gue lagi buru-buru soalnya. Gue cabut dulu ya." Pandu hendak melangkah pergi namun gadis itu mencegat Pandu.
"Buru-buru amat sih, emangnya ada apa? Lo gak lagi nyuri sesuatu di kelas gue kan?" Ucap gadis itu.
"Eengga! Gue cuma nganterin pesenan ke meja Bara terus gue juga belum ngerjain PR Fisika makanya gue buru-buru." Dalih Pandu.
"Oh, kirain. Eh, lo mau gue kasih contekan ga? Bentar ya. Lea! Sini lo." Gadis itu memanggil temannya yang ada di belakangnya.
"Eh ga usah Ra, beneran. Gue cuma tinggal satu nomer lagi kok. Gausah repot-repot."
Pandu menolak tawaran dari Nara. Tetapi terlambat, temannya Nara kini telah dihadapan Pandu.
"Ia Ra, ada apa?" Jawab temannya sambil membenarkan kacamatanya yang melorot.
"Gimana mau gak Ndu?" Tawar Nara sekali lagi.
"Gausah Ra, beneran. Maaf ya, kamu boleh pergi sekarang kok." Pandu menyuruh temannya Nara untuk pergi.
"Ra, lo masih suka nyontek ya? Padahal lo kan Ketos. Lo harusnya kasih contoh yang baik buat siswa lainnya. Kurang-kurangin ya nyonteknya. Gue cabut sekarang ya, bye." Pandu kini benar-benar pergi meninggalkan Nara. Nara juga tidak mencegahnya.
"Ih, lo kok gitu sih! Eh, Ndu tar pulang bareng ya. Gue ga ada yang jemput soalnya." Teriak Nara sambil memandangi Pandu yang mulai menjauh.
"Hadeh, tu ketos kegatelan banget deh. Padahal tadi gue liat dia dianterin supirnya. Ada aja alesannya. Modelan gitu bisa jadi Ketos coba, pasti gara-gara Bapaknya. Bapaknya kan penyumbang donasi terbesar di sekolah ini. Kalo ga mah ya siapa yang mau milih modelan begitu coba." Pandu berbicara pada dirinya sendiri.
***
Kelas 12 A-1 begitu ramai. Mereka tengah belajar Bahasa Jepang. Sensei Hasya adalah nama guru Bahasa Jepang mereka. Ia memiliki perawakan yang tinggi dan kurus. Sekilas ia mirip bintang iklan sabun mandi dari Jepang. Setiap kali kelas dimulai semua murid langsung fokus tanpa disuruh. Kali ini mereka tengah belajar tentang Ai (cinta). Sensei menulis kanji Ai di papan tulis.
"Ini dibaca apa? Ada yang tahu?" Mata Sensei lalu menyoroti semua murid. Pandu lalu mengangkat tangan.
"Ai, artinya cinta." Jelas Pandu.
"Uuu." Ucap seisi kelas.
"Hai(ya)! Kamu ternyata tidak hanya bisa Bahasa Korea ya Pandu. Sugoi desu ne (keren)." Sensei mengacungkan kedua jempolnya pada Pandu.
"Ya iya dia bisa bahasa Korea sama Jepang Sensei soalnya dia kan k-popers yang merangkap profesi jadi wibu juga. Ya kan Ndu? Ngaku lo." Tuduh Fadil.
"Wkwkwk." Seisi kelas menertawai Pandu. Pandu tersenyum malu sambil menggaruk kepalanya. Sensei juga ikut tertawa. Pelajaranpun berjalan dengan santai. Pada akhir pelajaran Sensei mengadakan games lempar dadu. Bagi yang dadunya keluar angka genap harus menyebutkan 3 kosa kata bahasa Jepang yang baru saja di pelajari. Sedangkan bagi yang dadunya keluar angka ganjil harus menjawab pertanyaan dari Sensei. Pemenang ditentukan oleh berapa banyak mereka berhasil menjawab. Pemenang akan mendapat kotak cemilan dari Sensei.
Mereka begitu antusias mengikuti games tersebut. Sejauh ini Pandu dan Gita memimpin skor. Pandu melempar dadu lalu keluar angka ganjil.
"Ganjil ya? Oke Pandu tolong terjemahkan kalimat ini ke dalam bahasa Jepang. Aku mencintaimu." Ucap Sensei.
"Watashi wa anata wo aishiteimasu." Ucap Pandu dengan lantang dan jelas.
"Wah, semangat banget ngucapinnya. Pasti punya orang spesial ya?" Ledek Sensei.
"Alah, si Pandu mah orang spesialnya cewek plastik dari Korea itu Sensei." Fadil tanpa ditanya langsung menimpali pertanyaan dari Sensei.
"Woy, jangan bilang Noona gue plastik ya! Dari pada elo yang ngebucin terus sama si Hana. Ga capek lo jadi budaknya terus? Baru didiemin lima detik aja udah ciut lo." Pandu balas mengatai Fadil.
"Eh, sudah-sudah! Malah ribut. Kan yang ditanya Pandu Dil, bukan kamu." Sensei berhasil melerai mereka berdua.
"Lagian gue juga punya orang spesial di hidup gue. Kalian gak tau aja. Itu kan privasi gue. Gausah diumbar-umbar kayak si fadil." Pandu membela dirinya.
"Punya? Siapa Ndu? Si Ketos judes itu? Atau ada cewek lain? Spill lah kan kita CS." Fadil merayu Pandu untuk mengatakan yang sebenarnya.
"Uda gue bilang itu privasi gue. Yang jelas bukan Nara yang keganjenan itu." Mulut Pandu seakan tercekat saat mengingat kembali Arin. Ia jadi ingin segera mengakhiri kelas ini dan pergi ke rumah sakit.
Kelas Bahasa Jepang itu akhirnya berakhir. Berakhir pula sekolah Pandu untuk hari ini. Ia bergegas ke parkiran motor. Pandu melihat ada seorang gadis yang sudah berdiri di dekat Vespanya.
"Yah, cewek gatel itu lagi. Duh, mana gue lagi buru-buru. Apes-apes." Pandu mengeluh pada dirinya sendiri.
Nara senyam-senyum sendiri saat Pandu mendekatinya. Pandu hanya bisa memasang wajah kesal di depan gadis itu. Pandu mengecek motor vespanya, ia takut gadis itu melakukan hal yang tidak-tidak pada vespa Pandu. Benar saja. Rem vespa pandu putus. Seseorang dengan sengaja telah mengguntingnya. Apa ini perbuatan gadis itu? Begitu nekatnya ia mendekati Pandu hingga memutus rem vespa Pandu. Jika Pandu tidak mengeceknya entah apa yang akan terjadi padanya nanti.
"Eh Nara, lo kok nekat banget mutusin rem gue. Mau lo apa sih hah?" Pandu tak bisa menahan amarahnya pada gadis itu.
"Hah rem lo putus?" Nara memasang wajah pura-pura tidak tahu.
"Alah gausah sok bingung deh. Ngaku aja lo." Pandu semakin muak pada gadis itu.
"Eh, jangan asal nuduh ya. Gue gak tahu soal rem lo yang blong. Lagian sebelum gue ke sini gue liat ada dua orang pake baju hitam ngedeketin vespa lo. Gue kira mereka orang sekolahan." Ucap Nara membela dirinya sendiri.
"Hah orang pake baju item?" Pandu tampaknya mempercayai ucapan Nara.
Apa jangan-jangan mereka adalah orang yang sama dengan orang yang telah mengejar-ngejar Pandu dan Arin kemarin. Hati Pandu mulai tidak tenang. Ia kemudian ingat Arin. Kondisinya mungkin masih lemah saat ini, Pandu takut jika Arin kenapa-napa.
"Ra, lo pulang sendiri ya. Gue ada urusan penting. Gue buru-buru."
Pandu meninggalkan Nara dan motor vespanya di parkiran. Ia membuka layar smartphone nya untuk memesan ojek online. Nara curiga dengan gelagat Pandu, ia membuntuti Pandu dengan mobilnya.
"Pak, ikutin motor itu ya." Ucap Nara pada supirnya.
***
Sore ini rumah sakit begitu ramai dengan pasien. Dokter dan perawat sibuk mondar-mandir dengan langkah yang tergesa-gesa. Banyak ambulance yang datang dan pergi. Rumah sakit ini merupakan rumah sakit terbesar di kota ini. Jadi maklum saja bila setiap harinya selalu ramai.
Namun pada hari itu ada suatu kejanggalan yang terjadi di rumah sakit itu. Dua buah mobil hitam parkir secara tersembunyi di balik pohon beringin yang ada di pelataran rumah sakit. Gerak geriknya begitu mencurigakan. Beberapa orang berbaju hitam keluar dari mobil itu. Mereka lalu melangkah memasuki rumah sakit. Dua orang mulai mengawasi keadaan sekitar sedangkan dua orang lagi mengikuti satu orang yang lain yang sudah berjalan di depan mereka. Tiga orang berbaju hitam itu memasuki suatu ruang. Saat keluar mereka sudah tidak dikenali lagi. Mereka kini mengenakan baju perawat. Seseorang yang berjalan paling depan membawa baki yang isinya perlengkapan bedah. Mereka berjalan menuju suatu ruangan. Ternyata ruangan yang mereka tuju adalah ruangan pasien nomor 7-A. Dua orang yang lain berjaga di pintu luar. Sedangkan seseorang lainnya yang membawa baki memasuki ruang pasien.
Kondisi pasien kini tengah tertidur. Orang itu lalu mengambil pisau bedah. Nampaknya ia akan mencelakai pasien. Pasien yang menyadari akan kehadiran seseorang di ruangannya kemudian terbangun. Matanya terbelalak kaget saat melihat pisau yang sudah diacungkan di depan wajahnya. Mulut pasien lalu dibekam oleh tangan perawat gadungan itu. Pasien mencoba melepas bekaman itu dengan kedua tangannya tapi kondisi pasien masih lemah. Pasien sudah hampir menyerah dengan keadaannya hingga perawat gadungan itu tiba-tiba menurunkan acungan pisaunya lalu pergi ke arah jendela. Perawat itu keluar lewat jendela kamar pasien. Padahal kamar pasien berada di lantai lima. Entah apa yang akan terjadi pada perawat itu jika melompat bebas dari jendela itu. Tapi ternyata perawat itu melompat keluar lewat jendela. Tak lama setelah itu dua orang berpakaian seragam SMA dan petugas keamanan rumah sakit masuk ke ruang pasien.
"Arin lo gak papa kan ?" Pandu langsung menghampiri Arin.
Arin tiba-tiba memeluk Pandu sambil menangis. Nara yang melihat kejadian itu langsung syok.
"Ndu, untung lo dateng di waktu yang tepat. Orang itu mau nyelakain gue lagi Ndu. Gue takut."
Tubuh Arin menggigil, ia masih menangis sesegukan. Pandu memeluk Arin dengan erat sambil mencoba menenangkannya.
"Gapapa Rin. Sekarang lo aman. Gue ada di samping lo."Ucap Pandu sembari mengelus pundak Arin.
"Makasih ya Pak udah bantu kami." Pandu melepas pelukannya pada Arin lalu menghampiri petugas keamanan tadi.
"Iya, itu sudah jadi tugas Bapak. Kalau begitu Bapak pergi dulu ya. Jika ada sesuatu yang mencurigakan lagi temui saja Bapak ya. Bapak ada di lobi." Ucap petugas itu.
"Baik Pak. Sekali lagi terima kasih ya." Pandu menjabat tangan petugas itu.
"Sama sama nak. Bapak keluar dulu ya." Petugas itu lalu keluar ruangan.
Sore itu Pandu menemani Arin di ruangan itu. Nara juga masih di sana.
"Ndu, dia siapa lo? Kayaknya lo care banget deh sama dia. Sorry ya gue gak maksud ngatain lo(sambil menatap wajah Arin)." Nara yang dari tadi hanya diam kini mulai berbicara.
"Sepenting itu ya buat lo harus tau dia siapanya gue? Lagian lo kenapa ngikutin gue tadi hah? Katanya lo gak ada yang jemput tapi gue liat tadi lo dianterin supir lo. Mana lo buntutin gue dari belakang lagi. Inget ya, lo kan bukan siapa-siapanya gue. Kalo lo gak ada kepentingan di ruangan ini lo boleh pergi sekarang juga." Pandu mengusir Nara secara halus. Pandu sudah kesal terhadap Nara sejak siang tadi. Ia sudah muak melihat wajahnya.
"Lo ngusir gue ya, ya udah gue cabut sekarang. Lo pasti gak mau diganggu buat pacaran sama cewek lo itu kan? Bye!" Nara keluar dari ruangan itu. Ia menutup pintu dengan sangat keras.
Kini Pandu bisa fokus merawat Arin. Pandu membantu menyuapi arin. Arin ternyata sudah boleh pulang hari ini. Sebenarnya Arin baru boleh pulang besok. Tapi Arin memaksa pada dokter agar boleh mengijinkannya pulang hari ini. Akhirnya setelah makan Arin boleh meninggalkan rumah sakit.
Pandu mengantar Arin pulang. Ia memesan taksi untuk mereka berdua. Pandu menuntun Arin untuk masuk ke dalam taksi. Arin yang kini mulai membaik bisa mengobrol ringan dengan Pandu di sepanjang jalan.
"Rin, lo sekolah di mana?" Tanya Pandu.
"Sebelum kejadian kemarin, gue sekolah di SMA Kalaresa. Sekarang dengan keadaan gue yang kayak gini gue jadi bingung mau lanjut sekolah apa ngak." Jawab Arin.
"Lo sekolah aja di sekolah gue Rin, mereka lagi buka scholarship juga. Siapa tau lo lolos."
"Emm, gak tau deh. Gue bakal lolos apa gak ya?" Jawab Arin.
"Pasti lah, gue yakin lo bakal lolos. Pokoknya lo harus sekolah Rin. Lo harus kejar mimpi lo." Pandu menyemangati Arin.
Sepanjang sisa perjalanan mereka habiskan untuk mengobrol membahas rencana sekolah Arin. Tak terasa mereka sudah sampai di alamat yang Arin pernah tunjukan waktu itu. Pandu membantu Arin untuk turun dari mobil. Mereka tiba di sebuah rumah sederhana yang memiliki taman yang cukup luas. Sayang sekali kelihatannya tanaman di taman itu tidak terawat. Arin bilang rumah itu adalah rumah Tantenya. Adik kandung dari ibunya. Arin sendiri belum pernah bertemu dengan Tantenya sejak usia 5 tahun. Arin khawatir apakah Tantenya masih mengenalinya atau tidak.
Ia dan Pandu lalu berjalan menuju rumah itu. Pandu mengetok pintu dengan pelan. Tak lama terdengar langkah kaki di balik pintu tersebut. Seseorang bertubuh gemuk dengan wajah bulat dan mata sipit keluar dari balik pintu. Ia mengenakan celemek untuk memasak. Rambutnya diikat ketat dengan rapih, tampak kontras dengan pakaiannya yang belepotan bumbu makanan. Wajah itu kini menatap Arin dan Pandu dengan tajam.
"Siapa kalian?" Wanita itu menanyai mereka berdua.
"Halo Tante, aku Arin. Anaknya Ibu Maria adik tante. Ibu bilang sudah menelpon Tante sebelumnya." Arin lalu mengenalkan dirinya kepada tantenya itu. Benar saja, Tantenya sudah tidak mengenali Arin lagi.
"Oh, jadi kau yang akan menumpang di rumahku. Ibumu sungguh malang, menikahi seorang pria yang tak karuan dan kini meninggalkan anaknya kepada adiknya. Malang sekali aku harus mengurusmu, padahal aku juga sudah dibebani dengan tiga anak yang menjengkelkan."
Ucapan Tante Arin begitu ketus, sepertinya Tante Arin tak ingin ditumpangi oleh Arin.
"Dia siapa? suamimu? Dia mau menumpang di sini juga? Dimana anak kalian? tidak sekalian saja kamu bawa seluruh kelurgamu kemari." Tuduh Tante Arin sambil menunjuk Pandu.
"Bukan Tante, aku bukan suaminya. Aku temannya Arin. Aku hanya mengantar Arin saja Tante." Pandu menjelaskan dirinya pada Tante Arin.
"Oh, ya sudah. Masuk Arin. Kamu boleh pulang sekarang." Ucap Tante Arin sambil mengusir Pandu.
"Rin, gue pulang dulu ya. Besok gue ke sini lagi."
"Thanks ya Ndu buat bantuannya. Gue berhutang budi sama lo."
"Ga usah bilang gitu Rin, gue tulus kok bantuin lo. Gue pamit ya. Bye!" Pandu melambaikan tangannya lalu pergi meninggalkan Arin.
Pandu terus menandangi Arin sambil melangkah pergi. Ia melihat Arin diperlakukan kasar oleh Tantenya. Hati Pandu begitu cemas. Semoga Arin baik-baik saja di sana.