Pagi-pagi sekali Bapak sibuk dengan telponnya. Sudah sepuluh kali ia menerima telpon yang entah aku sendiri pun tak tahu dari mana. Nada pembicaraannya tampak serius, ku lihat dari raut wajah Bapak yang tegang, dahinya mengerut dan berkali-kali ia mondar mandir tak tentu arah. Setelah telpon terakhir selesai Bapak langsung menatap wajahku dengan tatapan kosong. Apa yang tengah ia pikirkan, lebih tepatnya, apa yang tengah ia cemaskan.
Aku hendak menghampirinya namun ia langsung pergi menuju kamar. Ku dengar dari celah pintu, nampaknya Bapak tengah berbicara dengan Ibu. Aku ingin tahu apa yang sedang mereka bahas, namun sayang suara mereka terlalu pelan hingga hanya bisikan yang ku dengar. Bapak lalu keluar kamar disusul dengan Ibu. Raut wajah mereka tampak sama, sama-sama tegang. Aku menatap wajah Ibu, Ibu akan tahu apa yang sedang aku pikirkan walau hanya dengan melihat wajahku. Ibu lalu mendekatiku, aku rasa ia hendak menyampaikan sesuatu padaku. Benar saja, ia langsung menggenggam kedua tanganku lalu mulai berbicara.
"Arin, Ibu rasa kamu sudah besar. Ibu harap kamu mampu memahami situasi yang tengah kita alami saat ini. Bapak dan Ibu, juga kamu harus segera pindah dari sini. Ini benar-benar darurat. Semuanya harus dilakukan dengan cepat. Kemasi barangmu dan bawa seperlunya. Ibu harap kita semua akan menemukan tempat yang aman segera." Ibu berkata sambil berkaca-kaca. Aku tahu Ibu sedang menahan tangisnya didepanku.
"Lagi? Tapi bagaimana dengan sekolah Arin Bu? Arin sudah kelas tiga, Arin tidak bisa pindah sekolah begitu saja. Arin juga harus latihan dance dan beberapa bulan lagi akan ada audisi dance dari saah satu agensi yang berasal dari Korea Bu. Arin ingin mengejar mimpi Arin! Arin masih ingin di sini Bu. Lagi pula Arin sudah capek pindah-pindah tempat lagi."
"Memangnya kenapa kita harus pindah? Memangnya ada bahaya apa yang mengharuskan kita menjalani hidup berpindah-pindah seperti ini?" Aku menumpahkan segala kehawatiran dan kekesanlanku yang sudah lama ku tahan sejak lama.
"Cukup! Turuti apa kata Bapak dan jangan membantah!" Bapak memotong pembicaraanku dengan wajah marahnya. Ia mengepalkan tangan ke meja hingga membuat suara yang keras yang berhasil mengejutkanku. Tapi aku tak mau diam saja.
"Bapak egois! Bapak nggak pernah ngertiin perasaan Arin. Seenaknya main bentak, main suruh. Arin juga punya hati Pak. Bapak nggak pernah peduli sama Arin, Bapak cuma peduli sama kelompok Bapak yang gila itu!"
Plak!
Bapak menamparku dengan keras.
"Dasar anak tak tahu diuntung! Masih mau membantah! Bapak melakukan semua ini demi kebaikan mu, kebaikan kita semua! Tutup mulutmu dan lakukan perintah Bapak! Atau kau mau kami buang di sini sendirian hah?" Emosi Bapak semakin memuncak. Ia langsung memalingkan wajahnya dariku.
Ibu lalu mendekatiku dan merangkulku.
"Apa-apaan kau ini? Jaga emosimu, dia puntri kita. Jangan sampai kau menyesali perbuatan yang telah kau lakukan padanya. Aku juga tidak akan tinggal diam jika dia tersakiti." Ibu yang dari dulu selalu diam jika Bapak memarahiku kini angkat suara. Aku bisa melihat kemarahan yang terpancar lewat matanya.
"Tapi ia sudah berlebihan, aku tak bisa membiarkannya.Ah, Sudahlah, aku tidak mau ada keributan lagi. Waktu kita tinggal sedikit. Cepat kemasi barang kalian sesegera mungkin." Bapak lalu meninggalkan kami.
Aku sangat kesal dan juga bingung, apa lagi sih yang sedang terjadi pada Bapak dan kelompoknya? Kami sudah berkali-kali pindah gara-gara ada masalah di kelompok Bapak. Andai saja Bapak tidak ikut kelompok mafia jahat itu, mungkin hidup kami akan damai dan aman. Aku ingin sekali menyalahkan atas semua yang terjadi pada Bapak. Tapi itu tidak berguna sama sekali, yang ada aku hanya akan kena tamparan Bapak lagi.
Setelah selesai mengemasi barang, kami pergi dengan mobil tua Bapak peninggalan dari Kakek. Bapak mengendarainya dengan kecepatan penuh. Ibu yang duduk di sebelah Bapak mencoba menenangkan Bapak dengan mengusap tangan kirinya. Aku merasa setiap waktu berjalan dengan cepat saat itu. Ibu sesekali menengok ke arahku. Aku bisa melihat rasa hawatir yang terpancar dari raut wajahnya.
Tak lama setelah ketegangan itu Bapak tiba-tiba menghentikan mobilnya. Ia segera menoleh ke arahku. Wajahnya tampak resah dan marah.
"Seni, dengar. Keluarlah dari mobil ini dan berjalanlah ke arah hutan itu. Larilah jika ada seseorang yang membuntutimu dari belakang. Atau jika tak bisa maka bersembunyilah agar tidak terlihat. Bapak nggak bisa jelasin apa yang sedang terjadi sekarang. Yang jelas kita sedang dalam bahaya besar. Cepat, pergilah!" Jelas Bapak. Ia lalu mengeluarkan secarik kertas dan memberikannya kepadaku. Entah apa isinya.
Untuk pertama kalinya kulihat mata Bapak yang berkaca-kaca. Aku kini dapat merasakan perasaan khawatir di hati Bapak. Aku sangat yakin ia kini tengah mencemaskanku dan Ibu. Ibu sendiri kini menangis sesegukan. Ia menggenggam tanganku lalu mendekatiku dan mencium keningku. Ia mencoba berbisik ke telingaku.
"Arin, jika Ibu dan Bapak tak kembali maka temuilah Tante Marta, alamatnya ada di tas itu. Sekarang pergilah sejauh mungkin. Jaga dirimu baik-baik." Ibu lalu melepaskan genggaman tangannya.
Air mata tiba-tiba mengalir deras di pipiku. Aku harus bagaimana ? Apa yang akan terjadi? Bagaimana dengan keselamatan Bapak dan Ibu ? Aku harus pergi ke mana ? Tuhan, lindungilah kedua orang tuaku. Jaga juga diriku dari segala bahaya. Aku benar-benar takut saat ini. Semoga aku, Ibu, dn Bapak bisa kembali bersama-sama lagi.
Ku beranikan diriku untuk keluar dari mobil dan mulai berjalan ke arah hutan. Aku masih memandangi mobil Bapak sambil terus berjalan. Aku lalu bersembunyi diantara semak-semak. Ku lihat dari kejauhan mobil Bapak yang mulai berjalan menjauh. Tak lama setelah itu aku melihat dua buah mobil berwarna hitam yang mengikuti Bapak dari belakang. Aku juga melihat mobil itu terus membuntuti kami dari belakang sejak tadi. Gelagat mobil itu sudah mencurigakan sejak awal.
Mobil itu berhasil mengahadang laju mobil Bapak. Entah apa yang terjadi saat itu, namun tak lama setelah itu ku dengar suara ledakan dari arah mobil Bapak. Aku sontak mendekati arah ledakan itu berasal. Aku begitu kaget saat melihat mobil yang terbakar itu. Ternyata itu adalah mobil Bapak dan Ibu.
Hatiku hancur dan perih, kenapa mereka setega itu kepada kedu orang tuaku. Siapa sebenarnya mereka? Aku ingin mendekati arah kejadian itu namun aku teringat oleh pesan Bapak. Aku terpaksa hanya bisa melihat mereka dari kejauhan. Aku tidak bisa menolong mereka. Pikiranku mulai kacau, hal-hal mengerikan tentang Ibu dan Bapak bermunculan di benakku. Tuhan, selamatkanlah mereka.
Dari kejaujan sini, aku bisa melihat sosok yang telah membuat mobil Bapak dan Ibu terbakar. Sosok itu memakai setelan hitam dan bertopeng. Tiga diantaranya mulai menjauhi tempat kejadian. Apa ini hanya perasaanku atau memang benar mereka tengah mendekat ke arahku. Apa mereka tahu keberadaanku. Apa boleh buat, aku mencoba untuk lari sejauh mungkin. Aku menoleh ke belakang dan melihat ternyata benar, mereka kinintengah membuntutiku.
Aku benar-benar takut. Jarakku dan mereka semakin dekat, aku harus lari kemana ?
Rasanya, semakin jauh aku berlari semakin dalam aku memasuki hutan ini. Tak ada jalan setapak, aku menembus masuk ke hutan ini secara paksa. Bajuku terkoyak oleh ranting pepohonan. Terkadang, ranting juga mengenai wajahku dan menggores pipiku. anehnya ketiga sosok itu malah semakin cepat larinya. Aku makin kewalahan, aku mulai khawatir jika aku sebentar lagi akan ditangkap. Apa yang akan terjadi padaku jika aku berhasil ditangkap. Apa nasibku juga akan sama seperti Bapak dan Ibu?
Kakiku sudah mulai terasa pegal, napasku juga mulai ngos-ngosan. Sementara ketiga sosok itu masih saja mengejarku dari belakang. Aku mungkin harus bersembunyi, tapi bagaimana ? Aku mencoba melihat-lihat ke sekeliling, semoga ada cara agar aku bisa meloloskan diri dari kejaran ketiga sosok itu.
Di depanku adalah jurang yang bawahnya sungai, sedangkan di samping kanan dan kiriku adalah hutan belantara. Apakah aku harus terjun ke bawah ? Ya, mau bagaimana lagi. Aku pun terjun ke bawah jurang. Ternyata jurangnya lumayan dalam. Aku serasa tengah terbang, aku tak bisa membayangkan ketika aku jatuh. Hanya sepersekian detik lalu tubuhku langsung tercebur ke air. Aku mulai kehabisan napas, apa mungkin karena air yang mulai masuk ke saluran pernapasanku. Entahlah, setelah itu semuanya terasa gelap.
****
Bisikan-bisikan itu terdengar keras di telingaku. Suara dari seorang pria dan seorang wanita. Kedengarannya mereka tengah membicarakanku. Aku mencoba membuka mataku, tapi sulit sekali. Perlahan-lahan mataku terbuka.
"Lihat, ia mulai siuman." Wanita itu berbicara pada pria yang di sampingnya.
"Oh, syukurlah." Kata pria itu.
Mereka memandangiku dari arah yang cukup dekat. Aku mencoba untuk bangkit tapi rasanya sekujur tubuhku kaku. Apa yang tengah terjadi pada diriku?
"Tidak usah bangkit dulu. Keadaanmu masih lemah." Wanita itu mencoba memberitahuku.
Ah, bagaimana ini. Sekarang aku tidak bisa apa-apa, bagaimana aku akan kembali. Siapa mereka? Kenapa mereka bisa menemukanku? Apakah mereka memang tulus menyelamatkanku atau justru ada niat terselubung ? Aku harus mulai berbicara pada mereka.
"S-ssiapa kalian? Dimana aku sekarang? Bagaimana kalian bisa menemukanku?" Aku berusaha berbicara sebanyak mungkin, semampu yang aku bisa keluarkan.
"Tenang, tidak usah takut. Kami tak bermaksud jahat padamu. Aku menemukanmu saat memancing di sungai. Aku sempat kaget karena mengira dirimu adalah mayat, ternyata saat ku cek kau masih bernapas. Aku memanggil istriku segera dan membawamu ke rumah kami." Pria itu menjelaskan apa yang terjadi padaku.
Ternyata aku hanyut saat mencoba melarikan diri dari tiga sosok misterius yang membakar mobil Bapak dan Ibuku. Syukurlah aku berhasil selamat. Apa mereka masih mengejarku ? Tapi tampaknya aku aman di sini untuk saat ini.
"Sekarang kau istirahat dulu, pulihkan kondisimu. Tak usah mencemaskan soal apapun. Jika kau butuh sesuatu panggil saja aku atau suamiku, tak usah sungkan-sungkan." Wanita itu menawarkan kebaikannya padaku tanpa pamrih.
Aku tak bisa berlama-lama di sini. Aku sangat mencemaskan kondisi kedua orang tuaku. Sebenarnya tempat apa ini ? Aku rasa aku sangat jauh dari perkotaan. Segera setelah tubuhku kembali pulih aku harus pergi dari tempat terpencil ini.
Perlahan-lahan tubuhku mulai membaik. Aku kini bisa berjalan perlahan-lahan. Sekedar untuk pergi ke kamar mandi dan dapur untuk mengambil air. Tapi kondisiku masih lemah, mungkin aku terbentur cukup kuat dari jurang itu.
Malam ini aku terbangun dari tidur. Tenggorokanku terasa kering. Aku bangkit dari tidurku dan berjalan perlahan ke arah dapur. Di tempat terpencil seperti ini suasana malam amat mencekam. Hanya terdengar suara jangkrik dan serangga malam yang meramaikan malam ini. Namun anehnya, pada malam ini aku juga mendengar bisikan dari arah ruang kamar sepasang suami istri itu. Aku seperti biasa selalu penasaran, aku mencoba mendengarkan percakapan mereka dari celah pintu.
"Baimana jika dia sudah bisa berjalan normal ? Kita tidak bisa mencegahnya untuk pergi. Kita harus melakukannya besok malam. Jika tidak semuanya akan gagal total." Suara pria itu terdengar sangat cepat dan penuh penekanan.
"Ya terserah kau saja. Tapi bagaimana kita melakukannya tanpa ketahuan olehnya? Meski kita menggunakan obat bius, coba pikirkan bagaimana kita menaruh obat bius itu ?" Wanita itu sepertinya tengah diselimuti keraguan.
"Kau itu bego ya ? Hal kecil seperti itu saja kau cemaskan. Kau hanya perlu menaruh obat bius itu di makanannya. Itu tak akan membuatnya curiga." Pria itu berbicara pada wanita tadi dengan kesal.
"Baiklah. Aku harap rencana kita berhasil. Jika kita sukses melakukannya maka kita akan memperoleh uang banyak. Apalagi sekarang harga jantung sehat tengah melambung tinggi. Kita tak usah lagi melakukan pekerjaan seperti ini. Oh ya, apa kau masih rutin memberikan obat itu padanya ? Itu akan tetap membuatnya lemah dan berada di tempat ini. Besok pagi jangan lupa kau berikan lagi." Jelas pria itu.
Astaga, aku ternyata tengah di tawan oleh pasangan itu. Aku harus kabur secepatnya dari sini. Aku harus kabur sejauh mungkin atau nyawaku akan dalam bahaya besar. Aku kira aku akan berhasil lolos dari mara bahaya, ternyata aku malah terperosok ke mara bahaya yang lebih besar. Aku mencoba berjalan perlahan dan tak membuat suara sekecil apapun. Kondisiku masih lemah tapi mau bagaimana lagi, aku harus kabur sekarang juga. Aku ingat jika di dapur terdapat lubang jendela yang cukup lebar. Aku akan keluar dari sana. Aku harua berjalan ke dapur secepat mungkin.
Pintu dapur semakin dekat, aku mencepatkan langkah kakiku.
Trang
Sial, aku tak sengaja menendang gelas cangkir yang tergeletak di hadapanku. Itu membuat suara yang cukup keras. Aku harap suara itu tak terdengar oleh mereka. Aku mecoba berlari perlahan, akhirnya aku berhasil masuk ke dapur. Aku berjalan ke arah jendela yang letaknya tak jauh dariku. Semakin dekat, semakin dekat, akirnya jendela itu hampir ku sentuh.
"Tunggu! Kau mau kemana hah? Diam di situ!" Pria dan wantita itu berhasil mengetahuiku.
Bagaimana ini ? Aku sudah dihadang. Aku akan tetap kabur, lagi pula jendela sudah di depanku.
Bruk
Sakit sekali, tubuhku terjatuh dengan keras. Aku bisa melihat pemukiman disekitar sini. Berarti aku tak jauh dari perkotaan. Jika aku ingat-ingat jalan raya tak jauh dari sini, ya benar. Bearti aku hanya perlu berjalan terus ke depan. Benar saja, tak lama setelah itu aku bisa melihat jalanan. Akhirnya, aku akan segera lolos dari semua kegilaan ini.
Ku percepat langkahku. Aku semakin terpacu saat melihat jalan raya yang semakin dekat. Sedikit lagi, dan akirnya aku berhasil keluar dari hutan. Astaga, mereka masih membuntutiku. Aku harus terus berlari. Namun, tiba-tiba aku keliangan kendali atas tubuhku. Pandanganku mulai kabur, aku tak tahu aku sedang berjalan ke arah mana. Langkahku mulai memelan. Aku mencoba untuk terus menjaga mataku tetap terbuka. Aku melihat setitik cahaya mendekatiku. Perlahan-lahan cahaya itu mulai membesar dan semakin membesar. Cahaya itu sangat silau hingga aku tak bisa melihat ada apa di balik cahaya itu.
Bruk,
Tubuhku terpental, ternyata cahaya itu berasal dari motor yang tengah lewat di jalan ini. Aku mulai tak bisa merasakan tubuhku, dan dari sini kembali aku kehilangan kesadaranku.