Malam itu terasa sangat mencekam bagi Pandu. Ia kini tengah membawa korban kecelakaan di vespanya. Korban itu adalah sosok yang selama ini ia cari. Ia benar-benar bingung harus kemana? Tapi vespanya melaju menuju arah rumahnya. Ia membayangkan bagaimana reaksi Ibunya jika mengetahui anaknya telah menabrak seseorang. Haruskah ia berbohong pada ibunya? Tapi Pandu tidak pernah bisa berbohong pada ibunya. Jika ia berbohong maka ibunya tahu kalau Pandu tengah berbohong. Tapi jika Pandu mengatakan yang sebenarnya entah apa yang akan ibunya lakukan padanya.
Malam kian larut, Pandu hampir sampai di rumahnya. Ia memelankan vespanya agar tidak membangunkan tetangga di sekitarnya. Saat ia sampai di depan rumahnya ibunya sudah berada di depan pintu. Mungkin ibunya sudah menunggunya dari tadi. Pandu tak berani menatap wajah ibunya. Setelah ia mematikan motor vespanya ia lalu memegang korban kecelakaan itu. Wajah ibunya langsung berubah kaget. Ibunya mendekatinya lalu melihat korban itu.
"Siapa dia Dugong? Kenapa dia tidak sadarkan diri ? Kamu nggak buat yang aneh-aneh kan ? Awas aja kalo kamu macem-macem, Ama coret kamu dari daftar kartu keluarga!" Untunglah reaksi ibunya tak semengerikan yang Pandu bayangkan.
"Ama, nanti Pandu jelaskan di dalam rumah ya. Sekarang tolong bantu Pandu untuk membawa dia ke dalam rumah." Ucap pandu sembari mencoba memindahkan korban itu dari vespanya.
Ibunya menuruti apa yang Pandu ucapkan. Mereka beruda membopong korban kecelakaan itu ke dalam rumahnya. Korban itu dibaringkan di kursi ruang tamu. Ibunya langsung meraih tangan Pandu sambil menatap matanya dengan tajam. Pandu langsung mengerti apa yang sedang ibunya coba katakan. Pandu akhirnya menjelaskan kejadian yang sebenarnya secara detail kepada ibunya. Ibunya mendengarkan cerita Pandu dengan wajah syok dan marah. Setelah Pandu mengakhiri ceritanya ibunya langsung menitikan air mata.
"Dosa apa yang udah Ama lakuin sampe anak Ama nabrak anak orang? Gimana kalau kedua orang tuanya tahu ? Gimana kalau mereka lapor polisi? Kamu ceroboh banget dugong! Ama kecewa sama kamu." Amanya berkata kepada Pandu sambil sesegukan.
Sepanjang malam itu ibunya terus menangis. Pandu hanya bisa terdiam. Pandu mencoba mengobati korban itu dengan pertolongan pertama. Untung saja korban tidak mengalami luka yang cukup parah. Pandu membersihkan darah yang mengalir di sekitar kepalanya lalu mengoleskan obat dan menutupnya dengan kain kasa. Tapi kenapa korban tidak sadarkan diri ? Padahal Pandu merasa kalau ia benar-benar memelankan kecepatan vespanya sebelum menabrak korban itu. Dan tubuh korban tidak terpental jauh, apa korban mengalami gegar otak. Ah tidak mungkin, jika Pandu ingat-ingat, sebelum Pandu menabrak korban, korban memang sudah berjalan sempoyongan. Tapi darah yang mengalir di kepalanya itu apakah benar-benar karena tertabrak olehnya? Apa korban memang sebelumnya sudah mengalami sakit atau seusatu yang membuatnya tak sadarkan diri? Pandu hanya bisa berharap bahwa korban akan segera sadar.
Pandu belum berani jika harus membawa korban ke rumah sakit. Tapi jika keadaan korban belum juga sadarkan diri dan bahkan kondisinya kian memburuk maka Pandu mau tak mau harus membawanya ke rumah sakit. Pandu terus berada di samping korban sembari sesekali mengecek kondisinya. Ibunya juga berada di dekat Pandu. Walau masih menitikan air mata tapi ibunya juga membantu Pandu untuk mengobati korban itu.
Jam menunjukkan pukul dini hari. Pandu kian hawatir karena korban belum juga sadarkan diri. Pandu mencoba membangunkan korban dengan minyak kayu putih. Tapi korban tak bergerak sama sekali. Pandu mencoba berbagai cara lain untuk membangunkan korban. Hingga saat Pandu hampir menyerah dengan usahanya akhirnya korban menunjukkan tanda akan sadarkan diri. Kelopak matanya terlihat tengah mencoba untuk membuka.
Pandu menatap lekat-lekat wajah korban itu. Wajah itu yang dulu menertawainya saat ban vespa pandu bocor. Wajah itu kini telah berubah pucat. Pandu mengelap keringat yang keluar dari wajah itu. Pandu berhenti mengelap wajah itu saat kelopak matanya terbuka. Kini bola matanya terlihat jelas, bergerak seakan tengah mencari sesuatu. Mulutnya perlahan membuka, Pandu menerka kata apa yang akan keluar pertama kali dari mulut itu. Tapi, belum sempat sepatah kata keluar dari mulutnya, tubuhnya bangun secara tiba-tiba. Ia tampaknya mencoba melarikan diri.
"Tenang Arin, ini gue, Pandu. Pandu yang waktu itu ban motornya pecah. Kamu ingat kan ?". Pandu mencoba menenangkan Arin, walau hati Pandu sendiri tengah gelisah.
"Gue dimana?". Ucap Arin sambil menerawang ruang di sekelilingnya.
"Lo di rumah gue. Tadi lo gak sadarkan diri di jalan, jadi gue membawa lo ke sini". Pandu tak menjelaskan yang sebenarnya kepada Arin, ia takut jika Arin akan pergi, karena kondisinya masih lemah.
"Oh, ya. Ini Ama, dia Ibu gue. Lo gak usah hawatir. Untuk sementara lo istirahat aja di sini. Kalo kondisi lo udah pulih lo boleh pulang ke rumahm lo. Awww (tiba-tiba Ibu Pandu mencubit pinggang Pandu) sakit Ama". Pandu menghentikan pembicaraannya saat ibunya mencubit pinggangnya.
"Nak, maaf sebelumnya. Ama mau tanya, kamu tinggal di mana? Kamu punya nomor telpon orang tuamu atau keluargamu yang bisa dihubungi? Ama cuma hawatir jika sekarang mereka tengah mencarimu dan mencemaskanmu". Ama dengan logika keibuannya mulai mencemaskan perasaannorang tua dari Arin.
"Ama, tapi gimana kalau...". Pembicaraan Pandu terpotong lagi oleh Ibunya.
"Sst, kalo soal itu kamu harus berani tanggung jawab. Tapi persoalannya sekarang adalah tentang keluarganya. Kasian, pasti orang tuanya lagi nyariin dia".
"Iya Ama". Pandu hanya bisa tertunduk diam menuruti perkataan Ibunya.
Arin perlahan mencoba untuk bangkit dari posisi berbaringnya. Pandu membantunya agar bisa bersandar pada bantal dan merubah posisinya menjadi duduk. Arin sepertinya hendak berkata sesuatu.
"Aku tidak memiliki orang tua. Mereka telah tiada. Jadi Ibu tak usah mencemaskan perasaan orang tuaku saat ini". Mata Arin begitu berkaca saat mengucapkan hal tersebut.
"Ah, begitu. Ama turut berduka nak atas kedua orang tuamu. Lalu sekarang kamu tinggal dengan siapa ? Apa ada nomor kerabat atau siapapun yang dapat Ama hubungi ?".
"..."
Tangan Arin mencoba menggapai sesuatu di dalam sakunya. Secarik kertas keluar dari sakunya, ia menggenggamnya lalu menyodorkannya pada Ibunya Pandu.
"Apa ini nak? Ah ya, sebuah alamat. Baiklah, Pandu besok kamu antarkan anak cantik ini pulang ke rumahnya ya. Untuk malam ini kamu istirahat saja di sini. Kondisimu belum pulih total dan sudah terlalu larut jika pulang sekarang. Beristirahatlah dengan baik ya, jika butuh sesuatu Ama ada di kamar sebelah kanan itu ya. Kamu tinggal panggil saja tak usah sungkan". Ama lalu membereskan perlengkapan obat lalu meninggalkan Pandu dan Arin di ruang tamu.
Kini Pandu dan Arin bertatapan sambil terdiam.
"Arin, senang bisa liat lo lagi. Gue nepatin janji gue kan. Gue bakal nemuin lo lagi tapi bukan karena ban bocor lagi. Ah, tapi gue justru malah menabrak lo. Gu ngerasa bersalah banget. Tolong jangan laporin gue ke polisi ya, gue takut". Wajah Pandu tertunduk lesu. Ia tak berani menatap wajah gadis itu. Andai saja pertemuannya kali ini dengan Arin adalah bukan karena kecelakaan, mungkin wajah Pandu sudah girang bukan main.
"Hah, mana mungkin gue laporin lo ke polisi Pandu. Lo lucu deh, ada-ada aja. Gue tau kok lo gak sengaja, gue juga salah karena menyebrang sembarangan". Wajah Arin kini menyimpulkan semyum tipis, walau matanya begitu terlihat letih tapi senyumannya menyiratkan bahwa ia kini baik-baik saja.
"Syukurlah, gue lega dengernya. Kalo gitu gue istirahat dulu ya. Lo juga istirahat ya. Malam". Ucap Pandu lalu meninggalkan arin
"Malam".
Pandu melangkah ke kamarnya. Ia sesekali menoleh ke belakang dan melihat Arin yang kini terbaring dengan tenang di kursi ruang tamu. Hati Pandu sedikit lega karena melihat Arin yang kini mulai pulih. Perasaan bersalahnya kini mulai berkurang perlahan. Ada sedikit perasaan rindu yang terselip di lubuk hatu Pandu. Rindu akan melihat wajah Arin yang ceria tanpa luka itu. Ada apa dengannya? Kemana saja ia selama ini ? Ada kejadian apa yang membuatnya hingga seperti ini? Kenapa Ibu dan Bapaknya? Bukannya seminggu yang lalu Bapaknya masih baik-baik saja saat bertemu dengan Pandu. Sebenarnya apa yang tengah Seni alami ? Pertanyan-pertanyaan itu mulai menguap dari bayangan Pandu dan tergantikan oleh rasa kantuknya. Besok, mungkin semua itu akan terjawab.