Chereads / Wrong Feeling / Chapter 2 - Chapter 2

Chapter 2 - Chapter 2

Anin mematut dirinya di depan cermin usai mengganti pakaiannya. Ia merapikan blouse yang ia kenakan sembari men touch up sedikit wajahnya agar tidak terlihat pucat. Setelah dirasa sudah rapi, ia mengambil jubah pasien yang tergeletak di samping wastafel lalu keluar dari dalam toilet.

Wanita cantik berusia 28 tahun ini menghela nafas lega karena hari ini ia di perbolehkan untuk pulang. Usai prosedur kuretase selesai, seharusnya ia di izinkan untuk pulang dari rumah sakit sehari setelahnya.

Namun, pasca siuman tubuhnya dihantam demam tinggi hingga tekanan darahnya menurun drastis. Ditambah lagi kadar hemoglobin dalam tubuhnya ikut menurun hingga dokter obgyn yang menanganinya pun menyuruh wanita pemilik rambut hitam ini agar dirawat inap terlebih dahulu hingga kondisinya stabil.

Beruntung ia hanya perlu dua hari untuk memulihkan kondisi tubuhnya hingga dokter pun mengizinkan dirinya untuk pulang sore ini.

Sembari menunggu Acel yang sedang menebus obat di apotek rumah sakit, Anin memilih untuk melipat selimut rumah sakit dan membereskan barang-barangnya yang ia gunakan selama berada disini.

Disaat dirinya sedang sibuk membereskan barang, ponselnya berdering nyaring. Netra Anin menoleh ke arah nakas dan mengambil handphone miliknya lalu melihat nama Tendra, suaminya tertera di atas layar.

Anin menghela nafasnya begitu berat saat melihat nama itu.

Dengan terpaksa ia pun mengangkat telepon tersebut sembari mengatur ekspresinya lalu menyapa sang suami.

"Halo?" sapa Anin yang berusaha untuk bersuara seperti biasa saat menerima telepon tersebut.

"Halo sayang, masih sibuk?"

suara berat Tendra terdengar begitu romantis seperti biasanya, seolah tak ada beban yang tersimpan di dalam dirinya.

"Baru aja selesai Bang. Ada apa?" kelakar Anin yang bertanya mengapa suaminya menelepon.

"Nothing, cuma kangen sama istri. Kamu perginya terlalu lama," bisik Tendra terdengar begitu merdu, lembut nan manis di telinga Anin.

Wanita ini menutup kedua matanya berat mendengar kalimat rindu terucap dari bibir suaminya.

Dulu ia akan tersipu malu dan jantungnya selalu berdegup kencang saat mendengar kata indah itu keluar dari mulut Tendra. Tapi saat ini, mendengar rindu terucap dari bibir sang suami, justru membuat hati Anin terasa sakit karena makna dari kata itu kini telah berubah jika Tendra yang mengatakannya.

Karena baginya, rasa rindu suaminya kini telah terbagi. Bukan lagi untuk dirinya saja, tetapi juga untuk wanita lain.

Ia sudah terlalu lelah menghadapi kebiasaan buruk suaminya selama ini. Bahkan saat Tendra melontarkan kalimat manis nan romantis kepadanya, semua itu terasa hampa tanpa rasa.

Kepercayaan untuk sang suami sedikit demi sedikit mulai pudar dan Anin berusaha untuk 'masa bodoh' kepada suaminya saat ini. Namun, sebisa mungkin ia menyembunyikan itu semua agar Tendra tidak menyadari hal itu.

"Sabar ya, setelah semua kerjaan aku selesai, aku pulang kok. Kemungkinan seminggu lagi," balas Anin sembari mendudukkan tubuhnya di tepi brangkar.

Anin sengaja berbohong kepada Tendra dan berkata bahwa dirinya sedang ikut dalam bussiness trip bersama atasannya ke Bali ketika dirinya dirawat inap di rumah sakit. Wanita ini masih keukeuh pada pendiriannya yang tidak ingin Tendra tahu tentang kondisinya juga calon anak mereka yang telah pergi.

Bagi Anin, ini hukuman setimpal yang bisa ia berikan kepada Tendra karena kembali memulai aksi bejatnya yaitu bermain dengan wanita lain.

Tepat di saat ia selesai mengobrol dengan Tendra, Acel pun kembali sembari menenteng kantungan plastik berwarna putih yang berisi obat-obatan yang harus ia konsumsi saat pulang nanti.

Wanita pemilik rambut blonde itu berkata, bahwa dirinya juga sudah mengurus semua administrasi agar mereka bisa langsung pergi dari sini.

Usai dirinya keluar dari rumah sakit, Anin berencana untuk tinggal sementara di apartemen Acel sembari mengembalikan kondisi psikisnya yang cukup terguncang. Ia perlu menjernihkan pikiran di tempat yang tenang sembari mengikhlaskan kepergian calon buah hatinya.

Dengan senang hati Acel memberikan tumpangan di apartemennya kepada sahabat baiknya ini tanpa merasa keberatan sedikitpun. Setidaknya, keberadaan Acel menjadi salah satu anugerah yang patut di syukuri wanita cantik ini.

"Oh ya, mobilmu kan lagi di bengkel Cel, kamu sudah pesan ojek mobil belum untuk kita pulang?" tanya Anin seraya memasukkan bungkusan obat tersebut ke dalam tas miliknya.

"Aku nggak pesan Nin. Kita pulang bareng temanku aja ya? nggak apa-apa kan?" Sahut Acel yang membuat Anin bingung.

"Teman? Temanmu yang mana?" Seru Anin sembari mengernyitkan keningnya heran.

"Ada deh pokoknya. Nanti aku kenalin kamu ke dia. Kebetulan waktu aku lagi antre obat di apotek, tanpa sengaja aku ketemu sama dia. Dan dia mau kasih tumpangan buat kita balik. Sekalian aku mau temu sayang sama dia. Soalnya sudah lama aku lost contact sama dia."

Anin hanya mengangguk paham dan mengiyakan permintaan sahabatnya. Setelah semua selesai, Acel memboyong Anin untuk keluar dari kamar inap. Keduanya sempat berpamitan sembari mengucapkan terima kasih kepada suster yang sudah merawat Anin selama ia dirawat disini lalu bergegas masuk ke dalam lift menuju lantai dasar.

Ting!

Saat pintu lift terbuka, keduanya bergegas keluar. Segera saja salah satu tangan Acel melambai ke atas seperti menyapa seseorang yang berada di lobby rumah sakit.

Seketika netra Anin menangkap sosok pria bertubuh tinggi tegap sedang berdiri di dekat lobby. Pria yang memiliki wajah rupawan itu ikut melambai ke arah mereka sembari tersenyum manis hingga menampilkan dua dimple yang tercetak di atas pipi putihnya.

Ketika mereka saling berhadapan, Acel pun langsung memperkenalkan Anin dengan lelaki itu yang ternyata teman satu kampus Acel saat berkuliah dulu. Mereka saling berjabat tangan dan menyebut nama masing-masing.

"Jayden," seru pria bersuara berat ini memperkenalkan dirinya kepada Anin yang terdengar sangat lembut nan sopan di telinga Anin.

Anin pun menyebut namanya lalu membalas senyum manis pria berkulit putih ini. Tanpa bisa ia cegah, sorot matanya langsung menelisik sosok Jayden yang terlihat sangat tampan dan juga begitu dewasa di matanya.

Tubuh Jayden terlihat tinggi tegap dengan dibalut pakaian semi formal yang membuat pria ini semakin terlihat menawan. Ditambah lagi aroma tubuhnya yang mengumbar wangi musk bercampur rose, amber yang terasa manis hingga aroma tersebut terus menempel di kedua indra penciuman Anin. Jangan lupakan sorot mata lembut yang selalu terpancar di kedua netra lelaki tampan ini.

Setelah sesi perkenalan, Jayden pun mengajak kedua wanita ini untuk keluar dari rumah sakit menuju tempat parkir.

Anin sangat terkejut melihat perhatian kecil dari lelaki ini yang menawarkan diri untuk membawakan semua barang bawaan mereka sampai ke mobil tesla miliknya tanpa mengizinkan dirinya dan Acel membawa barang lain selain tas tangan mereka.

Tanpa sadar Anin tersenyum tipis mendapati hal itu. Dia baik banget, seru Anin dalam hati.

"Kamu duduk di belakang aja Cel temanin sahabat kamu. Biar aku duduk di depan saja," ucap Jayden ketika mereka semua sampai di depan mobil berwarna putih milik lelaki ini.

"Eh, beneran nih, nggak apa-apa kak?" tanya Acel memastikan yang di balas anggukan kepala dari Jayden.

"Jangan! Acel di depan aja. Aku nggak apa-apa kok sendirian di belakang," ucap Anin menolak keras hal itu. Wanita ini masih tahu diri dan merasa canggung jika Acel sungguh-sungguh duduk di belakang bersamanya.

"Kalau kamu kenapa-kenapa gimana Nin? atau kamu aja yang duduk di depan biar kak Jay bisa ngawasin kamu?" tawar Acel yang segera saja Anin menggeleng keras kepalanya.

"No! nggak usah khawatir gitu Cel. Kita masih satu mobil ini, aku pasti baik-baik aja. Sudah kita numpang, masa kita berdua duduk dibelakang? mendingan kamu aja yang duduk di depan, sekalian katanya kamu mau temu kangen sama dia," ucap Anin bergumam pelan dan meyakinkan agar Acel duduk di depan tanpa mengkhawatirkan dirinya. Acel pun akhirnya menurut dan duduk di depan bersama Jayden.

Saat mesin mobil dinyalakan, Jayden menoleh ke belakang dan memastikan kembali kondisi Anin yang duduk seorang diri. Setelah itu, Jayden pun mengendarai mobilnya keluar dari area rumah sakit.

Selama di perjalanan, Acel dan Jayden begitu asyik mengobrol berbagai banyak hal, termasuk beberapa kenangan saat mereka kuliah dulu.

Dari percakapan mereka, Anin baru mengetahui bahwa keduanya adalah senior dan junior di fakultas yang sama. Pantas saja, Anin dapat melihat sendiri bagaimana nyamannya Acel saat bersama dengan Jayden.

Meskipun begitu, mereka berdua tak melupakan Anin yang duduk seorang diri di belakang. Terkadang Acel membawa serta Anin dalam percakapan mereka, atau sesekali menoleh ke belakang untuk memastikan wanita yang memakai blouse berwarna soft blue ini baik-baik saja.

Saat di pertengahan jalan, Acel meminta Jayden untuk berhenti di salah satu toko roti yang jaraknya tak jauh dari area apartemen Acel. Wanita yang berprofesi sebagai model ini keluar saat Jayden menepi dan berkata ingin membeli beberapa cemilan terlebih dahulu hingga meninggalkan Jayden dan Anin berdua di dalam mobil.

Sepeninggal Acel, suasana di dalam sini sangat hening. Hanya deru mesin mobil-mobil yang berlalu lalang di jalan raya yang terdengar samar dari dalam sini. Keduanya sama-sama diam dan membiarkan kesunyian menemani mereka selama Acel pergi.

Jayden, tipikal lelaki yang cukup kaku, merasa bingung harus berbicara apa untuk mencairkan suasana dengan Anin yang duduk di kursi belakang. Meskipun begitu, sesekali Jayden mengawasi serta memperhatikan kondisi Anin melalui kaca spion di dalam mobilnya.

Sedangkan wanita ini sendiri justru merasa sungkan jika harus mengeluarkan sepatah kata terlebih dahulu karena baru mengenal sosok Jayden beberapa menit yang lalu.

Hingga akhirnya, suara dering ponsel Anin memecah aura senyap diantara keduanya. Wanita berkulit kuning langsat ini segera mengambil ponsel miliknya yang ada di dalam tas dan melihat deretan angka tak bernama terpampang di layar ponselnya.

Kening Anin berkerut bingung karena tak mengenal nomor asing tersebut. Dengan ragu, ia mendial papan hijau untuk menerima telepon tersebut. Anin berpikir, bisa saja nomor asing ini adalah nomor dari salah satu orang kantor, atau nomor klien bossnya.

"Halo?" sapa Anin usai dirinya meletakkan gawainya diatas telinga kanan miliknya.

Jayden yang masih setia menatap lurus ke depan, kembali mengalihkan pandangan matanya kearah kaca spion di dalam mobilnya yang memantulkan siluet tubuh Anin yang sedang menerima panggilan.

"Halo? ini siapa?"

Anin kembali bertutur dengan sopan saat seseorang yang ada di seberang sana tak kunjung menyahut panggilannya.

Wanita pemilik surai hitam legam ini mengernyit heran karena tak ada satupun suara yang terdengar dari telepon tersebut.

"Kalau..." ucapan Anin terhenti saat ia mendengar suara bariton yang sangat familiar di telinganya.

"Tumben kesini nggak kabarin aku dulu?" seru suara lelaki yang membuat Anin mengernyit bingung.

"Memangnya nggak boleh?" sahut suara lain yang terdengar seperti suara perempuan.

"Boleh dong sayang. Sini, deketan! sebentar lagi kerjaan aku selesai. Habis itu kita keluar sambil cari resto buat dinner bareng."

"Di rumah kamu boleh nggak? Aku mau masak sesuatu buat kamu."

"Of course! Mumpung Anin lagi ke Bali."

Setelahnya suara kecipak seperti orang yang sedang bercumbu mengganti percakapan romantis itu dan membuat telinga kanan Anin merasa jijik saat mendengarnya. Dengan segera ia mematikan panggilan tersebut karena dirinya tidak tahan mendengar semuanya.

Namun, dari panggilan itu, Anin menyadari suatu hal. Suara berat dari laki-laki yang ada di telepon itu adalah suara Tendra, suaminya.

Kepalanya langsung menunduk ke bawah dengan gemuruh jantung yang bertalu-talu seperti di hantam ribuan batu besar yang menghempas ke dadanya.

Nomor asing yang tadi menghubunginya ternyata adalah nomor baru simpanan Tendra, suaminya. Rahangnya bergetar menahan tangis. Berbagai umpatan ia lontarkan dalam diam ke sosok Tendra agar rasa sesak dalam dadanya dapat ia keluarkan.

"Dasar brengsek!" bisik Anin sembari mengelus dadanya yang terasa sesak.

"Anin, kamu enggak apa-apa? Ada yang sakit?"

Mendengar suara Jayden, membuat Anin segera menghapus jejak air mata yang sempat keluar dari kedua matanya. Kemudian ia menghela nafas panjang lalu mengangkat kepalanya dan berusaha untuk tersenyum hampa sembari menatap Jayden lewat kaca spion itu.

"Aku baik-baik saja."