Sepanjang perjalanan pulang dari toko roti, Anin terlihat lebih banyak diam sembari menekuk wajahnya yang murung ke bawah. Bahkan saat Acel mengajaknya berbicara, Ia hanya menanggapi dengan anggukan kepala lemah serta tersenyum tipis yang membuat gadis pemilik rambut pirang ini menjadi bingung.
Beberapa kali wanita berpostur tubuh tinggi ini bertanya tentang keadaan Anin, namun Acel hanya mendapati balasan yang tak berarti dari sahabatnya.
Hingga mereka sampai di dalam unit apartemen Acel pun, Anin memilih untuk masuk lebih dahulu ke kamar tamu yang memang telah dipersiapkan oleh Acel sebelumnya.
Wanita bersurai hitam ini segera membaringkan tubuhnya diatas kasur seraya memijat kening kepalanya yang terasa nyeri. Suara Tendra yang terdengar mesra saat berbicara dengan wanita simpanannya, masih menghantui isi kepala Anin.
Terlebih perkataan terakhir suaminya yang akan membawa wanita itu ke rumah mereka di saat dirinya tidak ada di sana.
Wanita simpanan suaminya itu akan menggunakan dapurnya untuk memasak makanan untuk Tendra. Pikiran itu sukses membuat tubuh Anin bergetar hebat hingga pelupuk matanya mulai menggenang.
Belum ada satu jam Tendra menghubunginya sembari berkata bahwa pria itu merindukannya. Namun, kini suaminya justru bermesraan dengan wanita lain tanpa sepengetahuannya. Semua kata-katanya memang bullshit!
"Nin."
Perhatian Anin beralih sejenak ketika Acel masuk ke dalam kamarnya dengan membawa tas yang berisi barang-barangnya selama menginap di rumah sakit.
Wanita cantik bermarga Santoso ini duduk di pinggir ranjang sembari memperhatikan paras Anin yang tampak pucat. Padahal, saat keluar dari rumah sakit, wajah Anin mulai terlihat normal.
Bersamaan dengan itu, Acel kembali bertanya mengapa sikap sahabatnya ini tiba-tiba berubah sepanjang ia keluar dari toko roti. Sayangnya, Anin hanya menggeleng lemah seraya membaringkan tubuhnya diatas kasur dan berkata bahwa dirinya hanya lelah.
"Apa tadi kak Jay ada bicara hal-hal yang menyinggung perasaan kamu?" tanya Acel hati-hati agar Anin membuka suara atas sikapnya saat ini.
"No! Of course not. He is kind! I mean he is good guy. Aku nggak apa-apa kok, cuma pusing aja Cel. Dan semua ini nggak ada hubungannya sama kak Jay," bantah Anin seraya memberikan sedikit alasan agar Acel tidak salah paham akan sikapnya saat ini.
Wanita bertubuh ramping ini segera menempelkan punggung tangannya di atas kening Anin untuk memeriksa suhu tubuh sahabatnya yang ternyata kembali menghangat.
"Badanmu hangat lagi, Nin. Minum obat dulu ya sebelum istirahat? aku siapin semuanya dulu," seru Acel seraya bergegas keluar dari kamar dan kembali lagi setelah beberapa menit seraya membawa nampan yang berisi segelas air putih dan roti isi coklat keju yang tadi ia beli di perjalanan pulang.
Dirinya pun menyuruh sahabatnya untuk mengisi perutnya sejenak lalu mengambil obat paracetamol yang ada di dalam tas Anin.
Tepat disaat yang sama, bell di apartemennya berbunyi nyaring. Wanita yang bernama Rachel Santoso ini segera keluar menuju depan dan sempat meminta maaf kepada Jayden yang sedang menunggunya di atas sofa.
Untung saja Jayden memaklumi hal itu sembari berkata bahwa ia tidak mempermasalahkan hal itu.
Bertepatan dengan itu, bell yang ada di apartemennya, berbunyi nyaring. Dengan segera Acel menekan tombol intercom dan melihat sosok lelaki muda sedang berdiri di depan pintu unitnya.
"Waduh!" gumam Acel yang begitu terkejut melihat tamu yang tak diundang itu sedang berada di depan pintu apartemennya.
Acel pun terpaksa membuka pintu tersebut dan mendapati sosok Narendra, adik lelaki Anin berdiri di sana dengan raut wajah dingin saat menatap dirinya.
"Mbak Dyah ada di sini kan?" seru lelaki muda ini langsung mencari keberadaan Mbak Dyah, panggilan kesayangan Naren untuk Anin.
Sedangkan Acel berusaha sebaik mungkin untuk menyembunyikan keberadaan sahabatnya dengan cara tersenyum manis di depan lelaki muda ini.
"Eh, Naren. Sudah lama ya kita nggak ketemu. Tapi, kenapa cari Mbak kamu di sini Na? Bestie aku baik-baik aja kan?" balas Acel berpura-pura tidak tahu, karena Anin sudah berpesan bahwa tidak boleh ada yang mengetahui dirinya ada disini, termasuk adiknya.
"Nggak usah bohong deh. Aku sudah buntutin mobil yang bawa kalian dari rumah sakit sampai ke sini. Mbak Dyah ada di dalam kan? Aku masuk ya?"
Acel pun menyerah mendengar penuturan Narendra dan mengangguk lemah.
"Iya, Mbak kamu ada di sini. Dia lagi istirahat di kamar tamu. Datangin gih, sekalian tanyain kenapa sama dia. Soalnya moodnya tiba-tiba berubah waktu aku mampir dari toko roti."
Tanpa disuruh dua kali, lelaki bermarga Bramanta ini segera masuk seperti orang terburu-buru menuju ke kamar yang ditempati oleh Anin. Lelaki yang kerap disapa Naren ini langsung membuka pintu kamar tamu tersebut dan menemukan kakak perempuannya sedang meneguk air putih setelah minum obat.
Mata bulat Anin menangkap sosok adiknya di sini dengan tatapan terkejut. Naren segera masuk dan duduk di tepi ranjang sembari memperhatikan kondisi kakaknya yang terlihat lemah dan pucat, meskipun telah di poles oleh make up.
Raut wajah Naren seketika berubah khawatir saat mendapati salah satu punggung tangan kakaknya terdapat plester yang membuat rasa curiga Naren bahwa kakaknya baru saja keluar dari rumah sakit, adalah benar.
"Mbak kenapa? Mbak sakit? Sakit apa? Mbak habis rawat inap atau gimana? kenapa enggak kasih tau Naren?"
Pertanyaan bertubi-tubi langsung keluar dari bibir tipis milik lelaki muda ini. Pemuda berusia 20 tahun ini menggenggam tangan Anin dengan tatapan cemas kearah kakak perempuannya.
"Mbak baik-baik aja kok Na. Mbak cuma..." seruan Anin terhenti saat Naren dengan sengaja memotong ucapannya.
"Jangan bohong mbak! Naren sudah lihat semua. Mbak sama kak Acel keluar dari lift rumah sakit sambil nenteng barang-barang. Mbak sakit apa? ngomong sama Naren mbak!" kelakar Naren yang kembali memaksa.
Mendapati adiknya yang begitu ngotot dan terlanjur tahu semua yang telah terjadi kepada dirinya, membuat tangis yang sejak tadi Anin tahan akhirnya pecah.
Wanita ini menarik tubuh adiknya untuk ia dekap sembari memberitahu tentang dirinya yang telah kehilangan calon bayinya.
Anin memang tak dapat membohongi Naren, karena adiknya memiliki sikap yang sangat peka dan adiknya begitu mengenal dirinya dengan baik, termasuk ketika Anin sedang menyembunyikan sesuatu.
Ia menumpahkan rasa sedih serta rasa kecewanya di hadapan sang adik sembari meminta maaf karena tidak memberitahukan Naren tentang kehamilannya, dan juga berita dirinya yang telah kehilangan calon bayinya.
Lelaki muda yang masih berstatus sebagai mahasiswa ini hanya bisa mengelus pundak kakaknya dengan lembut seraya menenangkan wanita yang lebih tua delapan tahun darinya ini. Ia begitu terkejut saat mendengar kabar tentang kakaknya yang baru saja kehilangan calon buah hatinya.
Siapa yang tidak sedih mendengar suara isak tangis kakaknya seperti ini? tentu saja Naren ikut sedih. Namun, lelaki ini harus menjadi sosok yang kuat dan tangguh untuk kakaknya meskipun hatinya ikut menangis mendengar semua kemalangan yang menimpa kakak semata wayangnya ini.
Meskipun begitu, Naren sempat merasa bersalah karena dirinya kurang memperhatikan sang kakak beberapa bulan belakangan ini sehingga ia tidak tahu bahwa kakaknya tengah berbadan dua. Setelah tangis Anin merada, Naren pun mulai bertanya perihal kakak iparnya.
"Bang Tendra mana? kenapa tadi pulang di antar orang lain? kok Mbak malah ada disini?" seru Naren merasa heran.
Mendengar hal itu, Anin melepas dekapan tubuhnya lalu menundukkan kepalanya ke bawah tanpa berani menatap iris mata sang adik. Rasa sakit hati dan kecewa kepada suaminya kembali membara saat nama Tendra terucap dari bibir adiknya.
"Dia nggak tahu tentang masalah ini, Na," gumam Anin pelan karena tetesan air mata kembali jatuh diatas pipinya.
Naren mengernyit bingung. Lelaki muda ini masih tidak mengerti mengapa kakaknya mengatakan bahwa Tendra tidak tahu tentang kehamilan istrinya. Karena sepengetahuan Naren, kakak iparnya beserta keluarga Wijaya itu sangat mendambakan kehadiran sosok bayi. Namun mengapa kakaknya berkata Tendra tidak tahu?
"Maksudnya..." ucapan Naren belum selesai, lelaki ini berhenti berbicara ketika ia mendengar nada notifikasi dari ponsel kakaknya yang berada diatas ranjang samping tubuh Anin.
Wanita ini segera mengambil smartphone miliknya, dan mendapati nomor asing yang sempat meneleponnya tadi kembali mengirim satu pesan singkat. Anin memilih tak membukanya karena ia sudah tahu pasti isi dari pesan tersebut.
"Kenapa nggak di buka Mbak?" seru Naren saat ia tak sengaja melihat dan samar-samar membaca pesan dari nomor tersebut.
"Nggak penting, ini cuma..." lagi dan lagi seruan Anin terhenti oleh kelakuan sang adik.
Merasa ada yang janggal, Naren pun segera merampas handphone kakaknya dan melihat semua isi pesan itu bersamaan dengan foto tak senonoh yang baru saja dikirim oleh nomor asing tersebut kepada kakaknya.
Anin sempat ingin mengambil kembali ponselnya, namun ia kalah cepat dari Naren yang langsung berdiri sembari merutuki kata umpatan kepada kakak iparnya.
"Again? dia melakukan ini lagi?" kelakar Naren yang mulai tersulut emosi setelah mengetahui semua.
"Jadi ini alasan Mbak nggak kasih tau bang Tendra tentang kehamilan Mbak?" sergah Naren yang begitu marah kepada kakak iparnya.
"Siniin hape Mbak Na! kamu nggak sopan!" geram Anin dengan suara bergetar yang turun dari atas kasur lalu mengambil kembali ponselnya dari tangan sang adik. Ia pun segera mematikan ponselnya serta mengamankan benda pipih ini dari jangkauan adiknya.
Naren yang terlanjur diliputi rasa amarah segera beranjak dari kamar ini. Saat ini, yang ada di dalam kepalanya hanyalah membalaskan dendam untuk rasa sakit yang didapat kakaknya dari pria bernama Tendra, untuk kesekin kalinya.
Beruntung saja Anin dapat menahan adiknya dengan berpura-pura merintih kesakitan dan membuat adiknya kembali berbalik kearahnya.
Anin tahu, ketika Naren dilanda emosi seperti ini, adiknya akan berbuat nekat dan bisa saja adik bungsunya ini pergi menghampiri suaminya untuk memberikan pelajaran yang cukup brutal. Anin tak ingin adiknya ikut campur terlalu jauh dalam masalahnya dengan Tendra.
Setelah memastikan bahwa ia telah mengalihkan perhatian sang adik, wanita ini menggenggam tangan Naren dan memohon dengan sangat agar adiknya tak pergi kemana-mana.
Anin pun menjelaskan mengapa ia sengaja tidak memberitahukan tentang kehamilannya kepada suaminya dan berharap Naren tidak akan memberitahu masalah ini kepada siapapun, termasuk kedua orang tuanya.
Naren pun terdiam setelah mendengar semuanya. Akhirnya, ia pun memilih untuk menghormati serta mendukung keputusan kakaknya. Helaan nafas lelaki muda ini terdengar berat bersamaan dengan tatapan teduh milik Naren saat memperhatikan kondisi Anin saat ini.
"Jadi, untuk beberapa hari ke depan, Mbak akan menginap di sini sembari menenangkan diri. Bang Tendra tahunya, Mbak lagi dinas ke Bali sampai minggu depan. Semoga aja, setelah seminggu tinggal disini, kondisi Mbak bisa membaik lagi," tutur Anin pelan sembari berharap agar keinginannya dapat terwujud.
"Kenapa harus disini? Kenapa nggak di apart Naren aja Mbak? Apart Naren juga jauh dari rumah kalian," sanggah Naren masih tidak terima. Anin menggeleng lemah, menolak ajakan sang adik.
"Bang Tendra bisa tahu kalau Mbak menginap sementara di apart kamu Na. Kalau disini Mbak nggak akan ketahuan."
Naren kembali menganggukkan kepalanya paham.
"Kalau gitu, Naren bakal sering-sering mampir kesini buat nengok Mbak. Jangan bantah! Kalau enggak, Naren bakal bilang ke Papa sama Mama tentang kondisi Mbak!" tutur lelaki muda ini sembari memberikan sedikit ancaman kepada kakaknya.
Sedangkan Anin pun memilih pasrah dan membiarkan sang adik melakukan apa yang ia inginkan.