Chereads / Wrong Feeling / Chapter 5 - Chapter 5

Chapter 5 - Chapter 5

Pintu kamar mandi di buka lebar oleh Jayden yang baru saja menyelesaikan ritual mandi paginya. Dengan handuk putih yang melilit di pinggangnya, lelaki bertubuh sixpack ini keluar dari sana lalu menuju ke arah jendela kamar yang masih tertutup oleh gorden besar berwarna gelap.

Cahaya mentari pagi yang terik langsung menyerbu masuk ke retina matanya saat dirinya membuka kain panjang yang menutupi jendela kaca tersebut. Pria pemilik kulit putih bersih ini melirik ke arah jam digital yang berdiri di atas nakas seraya menunjukkan angka delapan lewat sepuluh menit.

Ah, pantas saja, desis Jayden dalam hati saat silau matahari seketika menerpa wajah tampannya.

Setelahnya, ia pun melangkah menuju almari kayu untuk mengambil baju santai yang akan ia kenakan. Hanya kaus oblong berwarna putih polos, serta celana training sepanjang lutut yang ia kenakan pagi ini.

Kehidupan lagi Jayden jauh berbeda dari para lelaki kebanyakan yang setiap pagi harus bersiap-siap dengan pakaian yang rapi untuk pergi ke kantor.

Selama lebih dari empat tahun belakangan ini, ia berhenti menjadi seorang budak korporat dan beralih profesi sebagai konsultan keuangan, investasi dan pajak yang dapat bekerja dari rumah dan hanya keluar sewaktu ada keperluan untuk bertemu dengan klien.

Meskipun baru empat tahun ia menjalankan pekerjaan ini, namun keahlian serta namanya sudah dikenal luas oleh beberapa perusahaan besar yang ada di Jakarta. Bahkan beberapa artis, para atlit terkenal, hingga pengusaha online dengan omset yang besar, menggunakan jasanya untuk me manage kekayaan mereka.

Jayden dikenal sebagai seorang konsultan yang cukup apik, tepat dan sangat jitu jika memberikan nasihat keuangan. Sehingga banyak orang, bahkan badan perusahaan yang begitu mempercayai kepiawaian lelaki ini.

Setelah selesai berpakaian, telinga pria ini mendengar suara kucing yang mengeong di sekitar kamarnya. Atensinya beralih ke arah kandang kucing yang ada berada di sudut kiri kamar dekat pintu.

Segera saja ia mendekati rumahan kucing tersebut dan membuka pintu kandangnya hingga kucing kecil berbulu lebat itu bergegas keluar dan masuk ke dalam pangkuan Jayden.

"Oh, ternyata kamu sudah bangun," seru Jayden sembari mengelus bulu putih dari kucing peliharaannya. Ia pun bergegas membawa Aming, kucing kecilnya keluar kamar lalu menuju ke arah dapur.

Suasana apartemennya tampak begitu sunyi. Hanya terdengar suara derap langkah kakinya, dan sesekali suara Aming yang memecah keheningan disini.

Semenjak ia resmi berpisah dengan Mawar, Jayden memilih tinggal di apartemen ini daripada rumah yang pernah ia tempati bersama mantan istrinya. Karena di rumah itu, ada banyak sekali kenangan yang tak sengaja ia ukir bersama keluarga kecilnya dulu.

Jayden ingin berdamai dengan masa lalu agar fisik dan psikisnya menjadi tenang. Meskipun terasa sulit, namun pria yang genap berusia 30 tahun ini akan terus mencoba demi kesejahteraan hidupnya sendiri.

Namun, semenjak dua minggu terakhir, ia tak lagi merasa sendiri karena kucing kecil yang dibawa oleh Dimas untuk menemaninya tinggal di sini.

Setelah sampai di area kitchen, Jayden segera mengambil makanan kucing untuk Aming yang ia simpan di salah satu lemari dapur, lalu memasak sarapan untuk dirinya sendiri. Untunglah Jayden cukup ahli saat berada di dapur.

Hari ini ia memiliki dua janji temu dengan kliennya pada pukul 11 pagi, lalu dilanjutkan pada jam 2 siang nanti. Tapi sebelum itu, ia akan bertemu dengan seseorang yang akan membantunya mengurus pekerjaanya.

Kini, ia telah selesai sarapan dan membawa kucing kecilnya ke ruang tv untuk bersantai sejenak. Semalam ia tidur cukup larut, riwayat insomnia yang pernah ia derita, kini kembali menyerangnya.

Mungkin salah satu faktor utamanya karena kemarin secara tak sengaja pria ini melihat mantan istri serta anaknya, Jasmine di mall ketika ia sedang menjemput sang ibu.

Menyadari ada yang tidak beres dengan kondisi psikisnya pasca melihat dua orang yang masih berkuasa dalam hatinya itu, Jayden pun segera mengalihkan perhatiannya ke arah lain. Akhir-akhir ini pekerjaannya memang menumpuk dan hal itu ia jadikan kesempatan emas untuk menetralkan kondisinya sampai dirinya lupa waktu.

Ketika ia sedang bersantai sejenak, terdengar bell apartemennya berbunyi. Jayden segera berdiri menuju depan dan melihat ke arah intercom yang berada tepat di samping pintu.

Dari layar tersebut, ia melihat sosok lelaki muda berdiri di depan pintu unitnya. Jayden pun segera membuka pintu dan menatap sosok pemuda yang ia temui kemarin sore.

Sosok muda ini tampak cetus seraya melipat kedua tangannya di atas dada. Kedua mata pemuda itu menatapnya datar. Meskipun begitu, Jay tetap memberikan senyum dan menyuruh pemuda ini untuk masuk ke dalam tempat tinggalnya.

Pemuda ini adalah anak dari teman ibunya yang ia kenal dengan nama Narendra, atau Naren. Saat pertama kali bertemu lelaki ini, Jayden merasa pernah melihat pemuda ini sebelumnya. Sayangnya ia lupa dimana mereka pernah bertemu.

Saat ia bercerita sedikit tentang pekerjaanya yang cukup banyak akhir-akhir ini, tante Ratna, ibu dari Naren menawarkan anak lelakinya untuk menjadi pekerja paruh waktu. Dan karena hal itulah, lelaki cetus ini berakhir di sini.

Setelah mempersilahkan Naren duduk, Jayden pamit sejenak untuk mengambil sebuah map serta secangkir kopi hangat yang bisa ia sajikan kepada Naren.

Tapi sebelum dirinya kembali menemui pemuda itu, tante Ratna, ibu dari Naren menelepon dan bertanya apakah anaknya sungguh pergi ke rumahnya atau tidak.

"Ya, Naren sudah datang. Tante jangan khawatir," tutur Jayden yang berhenti di depan pantry untuk mengangkat telepon dari sahabat ibunya.

"Jay, tante boleh minta tolong lagi? Jangan matikan telepon ini ya? Tante mau dengar perbincangan kalian sambil memastikan anak tante berlaku sopan atau tidak sama kamu," ucap wanita paruh baya itu.

"Tidak masalah tante. Kalau begitu Jay biarkan sambungan telepon ini tetap menyala. Jay pamit mau samperin Naren dulu," ungkap Jayden seraya meletakkan ponselnya tepat di samping cangkir kopi.

Setelah membuat kesepakatan itu, Jay pun kembali ke ruang tamu dan menyuguhkan minuman yang telah ia buat serta menyodorkan map berwarna merah yang berisi kontrak kerja antara dirinya dengan lelaki muda itu.

Tak lupa, ia memindahkan ponsel miliknya tepat di tengah-tengah meja agar ibu dari Naren dapat mendengar diskusi mereka mengenai pekerjaan sampingan untuk pemuda ini.

"Kontrak? Padahal aku ke sini mau nolak tawaran ini tapi..."

Jayden memotong ucapan Naren dengan gerakan tangannya lalu menunjuk ke arah gawainya sebagai kode agar lelaki itu paham.

"Kamu?!" kedua mata Naren membelalak kaget tubuhnya nyaris berdiri dari atas sofa. Rasa kesal dan amarah seketika menguasai pikiran muda Naren.

Akan tetapi, Jayden dapat meredam emosi Naren serta menyuruh agar lelaki ini diam.

"Sayang sekali kalau kamu nolak kerjaan ini. Padahal semalam aku udah buat kontrak ini sambil memikirkan kamu yang masih kuliah. Kalau kamu tidak tertarik..." Jayden sengaja berhenti bersuara seraya memperhatikan ekspresi wajah pemuda yang duduk di depannya ini sembari membuat gestur agar Naren mau menerima kesepakatan ini.

"Ok! aku setuju! Aku akan tanda tangani kontrak kerja ini sekarang!" seru Naren sembari mengetatkan kedua rahangnya keras akibat menahan gejolak emosinya.

Naren pun segera mengambil bulpoint yang telah di sediakan oleh Jayden lalu segera membubuhkan tanda tangannya di ada materai sebagai bentuk persetujuan kesepakatan mereka.

"Nggak mau di baca dulu?" tawar Jayden hanya sekedar berbasa-basi.

"Nggak usah! Toh, kamu juga bilang, kalau kau membuat kontrak ini sambil mikirin kuliahku supaya nggak terganggu," balas Naren sengaja menekan beberapa kata terakhir seakan ingin memberitahu bahwa dirinya masih marah kepada Jayden.

Pemuda ini telah membubuhkan tanda tangan di atas kontrak tersebut lalu menyerahkan map tersebut kembali kepada Jayden dengan kasar Tak lama setelahnya, sambungan itu pun di akhiri sepihak oleh ibu Naren dan membuat lelaki ini kembali menatap tajam kearah Jayden.

"Curang!" gertak Naren yang kini dapat meluapkan rasa amarahnya.

"Ok, aku minta maaf. Tapi ini nggak disengaja. Ibumu menelepon dan meminta hal seperti itu kepadaku. Sayangnya, Aku tidak bisa menolak," sahut Jayden menjelaskan alasannya.

"Tapi aku janji, tidak akan memberatkanmu. Jangan disesali, setidaknya pekerjaan ini bisa menjadi pengalaman kamu kedepannya," imbuh Jayden lagi yang membuat Naren memutar bola matanya asal.

"By the way, semalam ibumu juga sempat meneleponku. Dia memintaku untuk membantu mengawasimu selama disini."

"Aku udah besar. Nggak perlu diawasin!" balas Naren tajam. Bukannya tersinggung, Jayden justru tersenyum maklum.

"Aku tahu, tapi ibumu sangat khawatir. Dia mengadu kepadaku, kalau beliau sering merasa cemas dengan salah satu hobimu," ungkap Jayden yang membuat Naren mengernyitkan keningnya heran.

"Ibumu khawatir karena kamu punya hobi balapan dan sampai sekarang masih sering kamu lakukan," ucap Jayden yang membuat Naren berdecik kesal karenanya.