Chereads / Wrong Feeling / Chapter 10 - Chapter 10

Chapter 10 - Chapter 10

Kini hujan yang melanda kota Jakarta sejak siang tadi mulai reda. Meskipun begitu, di beberapa titik jalan raya masih terendam oleh genangan banjir. Karena hal ini pula mobil tesla milik Jayden baru tiba di depan sebuah rumah minimalis modern yang menjadi kediaman Anin pada pukul sembilan lebih lima belas menit.

Wanita yang mengenakan pakaian kerjanya ini segera membuka sabuk pengaman yang melilit tubuhnya lalu menatap ke arah Jayden yang sudah bersusah payah mengantarnya hingga sampai di depan rumah.

"Payungnya bawa aja Nin biar kamu nggak kehujanan pas keluar nanti," tawar Jayden sembari memberikan payung silver yang sempat mereka gunakan saat hendak masuk ke dalam warung makan tadi.

"Nggak usah kak, lagian habis ini aku langsung bebersih juga. Kena air hujan dikit nggak masalah," tolak Anin diselingi gurauan yang membuat Jayden tersenyum tipis.

"Baiklah kalau begitu. Dan maaf ya karena baru bawa balik kamu jam segini."

"Eh jangan minta maaf kak, justru aku yang harus terima kasih. Udah dianter, diajak makan, malah di bayarin juga. Mestinya tadi aku aja yang bayar tagihan makannya," tutur Anin sembari memperlihatkan rasa tidak enak.

"Nggak apa-apa. Next time kalau kita bisa makan bareng lagi, kamu bisa traktir aku," sahut Jayden sungguh-sungguh.

"Janjinya aku pegang loh kak. Kalau kita punya kesempatan makan bareng lagi harus aku yang bayar," jawab Anin seakan keduanya sepakat dengan perjanjian itu. Jayden hanya mengangguk dan tak melunturkan senyum yang berkembang di atas wajahnya.

Setelahnya Anin membuka pintu mobil dan mengucapkan terima kasih sekali lagi sebelum dia benar-benar keluar dari dalam sini.

"Aku masuk duluan ya kak, hati-hati di jalan," ucap Anin lalu membalik tubuhnya dan berjalan memasuki pintu pagar yang mengamani tempat tinggalnya.

Meskipun Anin sudah keluar dari mobilnya, lelaki ini tak buru-buru untuk pergi. Ia menunggu sejenak sampai wanita itu masuk ke dalam rumahnya, setelah itu barulah ia menginjak pedal gas untuk pergi dari tempat ini.

Setelah mengenal Anin lebih dalam lagi, ternyata ia dan wanita itu cukup nyambung saat berbincang bersama. Terlebih saat ia tahu Anin adalah sosok wanita yang humble dan cukup menyenangkan.

Di mata Jayden, Anin termasuk tipikal wanita yang dapat membawa energi positif disekitarnya. Apalagi mereka memiliki hobi yang sama yaitu suka mencicipi kuliner tradisional tanpa memandang tempat.

Bagi wanita itu, selagi murah dan bersih, tidak salah untuk dicoba. Sangat jarang ada wanita yang memiliki sikap seperti Anin, pikir Jayden.

Disisi lain, selepas Anin masuk ke dalam pagar rumahnya, netranya melihat Range Rover milik sang suami terparkir rapi di halaman rumah mereka. Ternyata Tendra sudah pulang, namun mengapa lelaki itu tak sekalipun mencoba menghubunginya kembali?

Anin berdecik kesal memikirkan hal itu. Sekarang ia sudah tidak bisa lagi berharap lebih kepada suaminya itu.

Ia pun kembali melangkahkan kedua kakinya untuk masuk ke dalam rumah dan mendapati ruang tamu terlihat gelap. Wanita ini pun segera melepas sepatunya dan menggantinya dengan slipper lalu berjalan lebih dalam lagi, menaiki tangga lalu menuju kamar yang berada di lantai dua.

Sebelum kedua kakinya sampai ke pintu kamar, Anin melewati ruang kerja milik suaminya dan secara tak sengaja mendengar suara Tendra yang sibuk berbicara.

Beruntung pintu tersebut terbuka sedikit hingga ia bisa mendekatkan salah satu telinganya ke sisi tersebut dan menguping perbincangan Tendra yang terdengar mesra dan begitu lembut.

"Yes honey, aku udah bersih-bersih juga. Istirahat gih, pasti capek kan habis jalan?"

Anin mengatupkan kedua rahangnya kuat mendapati hal ini.

"Iya, besok lagi. Apa? Anin? kayanya dia belum pulang. Hp aku baru di charger pas baru sampe tadi. Habis mandi langsung telepon kamu."

Ah, ternyata seperti itu, lirih wanita ini dengan nada menyedihkan.

Anin tidak kuat lagi untuk mendengar kelanjutan perselingkuhan suaminya itu dan ia memilih untuk pergi dari sini. Hatinya begitu sakit mendengar pengakuan tak sengaja suaminya yang lebih memilih mengabari simpanannya dibandingkan mencari dirinya yang belum pulang.

Percuma saja sejak tadi ia mencoba membuang jauh-jauh pikiran negatif yang selalu merasuk ke dalam kepalanya. Nyatanya, apa yang ia khawatirkan memang benar terjadi. Suaminya bukan sibuk karena pekerjaan, namun Tendra begitu asik dengan selingkuhannya sampai lupa waktu, bahkan dirinya.

Bahkan ia sangsi Tendra membaca rentetan pesan yang tadi sempat ia kirim untuk meminta jemput. Dengan sengaja ia membuka serta menutup pintu kamar dengan nyaring agar Tendra sadar akan kepulangannya.

Segera saja ia langsung mengarah ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Mengunci pintu kamar mandi lalu menyakalan shower begitu deras agar ia dapat meluapkan kesedihan yang menyesakkan dada dengan tangisan agar merasa lebih lega.

Baru saja Anin pulang bekerja, ia sudah mendapati suaminya sedang berbincang mesra dengan wanita lain. Seharusnya rumah ini dapat membuatnya merasa nyaman, namun nyatanya yang ia dapatkan sangat jauh dari ekspektasinya. 

Bukannya kehangatan dan rasa nyaman yang ia dapat, melainkan rasa sakit yang begitu menyesakkan dada melihat suaminya lebih mementingkan wanita simpanannya dibanding dirinya, istri sahnya.

Disaat ia meratapi rasa perih yang membelenggu dada, samar-samar ia mendengar pintu kamar mandi diketuk. Suara berat Tendra pun terdengar memanggil namanya namun sengaja ia abaikan tanpa menyahut sedikitpun. Saat ini ia ingin menjernihkan isi kepalanya terlebih dahulu.

Setelah puas menangis, Anin pun keluar dari kamar mandi mengenakan piyama tidur, berjalan menuju meja rias dan sempat menatap ke arah suaminya yang sedang duduk bersandar di atas ranjang. Kedua tangan Tendra memegang ipad miliknya namun Anin begitu malas meladeni pria itu.

"Kok malem banget Nin pulangnya? lembur?"

Anin yang sedang duduk di depan meja rias hanya bergumam acuh sembari mengenakan skincare di atas wajahnya.

Tak mendapati jawaban dari sang istri, Tendra pun segera mendekatkan dirinya ke sisi ranjang yang jaraknya tak jauh dari meja rias. Menatap raut wajah istrinya yang terlihat datar dan ia berusaha untuk mengerti.

"Capek ya? mau aku pijitin?" tawar Tendra pelan tanpa mengalihkan tatapan matanya pada sang istri yang masih berjibaku dengan peralatan perawatan diri.

Namun Anin memilih untuk diam dan fokus menatap pantulan dirinya di depan cermin. Tendra yang bingung dengan sikap dingin Anin selepas pulang kerja, berusaha untuk turun dari ranjang dan mendekat ke arah Anin yang kini sedang mengaplikasikan night cream di permukaan wajahnya.

Tendra berdiri tepat di belakang sang istri lalu mensejajarkan tubuhnya dengan Anin, dibarengi dengan memberikan sentuhan lembut di atas tangan sang istri.

Merasa geli dengan tingkah suaminya, Anin pun berdecak kesal dan menyuruh Tendra untuk kembali naik ke atas ranjang.

"Sudah tau capek masih usil, mending kamu istirahat sana!" seru Anin ketus yang membuat Tendra semakin mengernyit heran. Meskipun begitu, ia tetap menuruti istrinya dan kembali ke atas ranjang.

"Kamu kenapa sayang? pulang-pulang moodnya jelek banget? ada masalah di kantor?" tutur Tendra mencoba memberi perhatian kepada istrinya.

Bukan kantor, tapi lo biang masalah buat gue! jawab Anin dalam hati. Ingin sekali ia berkata seperti itu di depan wajah sang suami, namun Anin tak kuasa untuk mengatakannya secara langsung kepada Tendra.

Setelah selesai dengan semuanya, Anin pun segera ikut bergabung di atas ranjang dan sengaja memunggungi suaminya lalu menarik selimut untuk segera pergi tidur.

Merasa masih diacuhkan istrinya, Tendra pun mencoba untuk ikut membaringkan tubuhnya dan memeluk sang istri dari belakang. Lelaki ini masih berusaha agar Anin mau berbicara kepadanya.

"Kamu kenapa sih Yang? nggak mau cerita sama aku?" lirih Tendra pelan sembari menghembuskan nafasnya di belakang telinga sang istri dengan sengaja.

Anin tetap dalam pendiriannya dan menutup kedua matanya rapat-rapat.

"Sudah mau tidur? jni masih jam sembilan loh," tutur Tendra kembali dibarengi dengan menghirup feromon Anin yang cukup khas bagi lelaki ini.

"Kamu tadi pulang naik apa? kok nggak minta jemput? sudah makan malam belum?"

Merasa risih diganggu seperti ini, Anin membalikkan tubuhnya lalu memberikan tatapan tajam kepada Tendra.

"Nebeng sama orang lain. Soalnya nggak ada yang bisa dihubungi buat jemput termasuk kamu. Aku nggak lembur, tapi kejebak hujan. Untung klien boss ku baik dan nawarin buat nganter aku pulang dan juga nggak biarin aku kelaparan. Kalau nggak, mungkin aku sudah mati kedinginan di kantor sendirian. Puas?" jelas Anin panjang lebar sembari menekan setiap kata yang terucap dari mulutnya.

Tendra yang terkejut mendengar pengakuan Anin pun segera mengambil ponselnya lalu mencari nama sang istri yang memberinya begitu banyak pesan serta banyak panggilan tak terjawab dari Anin.

Ia pun merutuki kebodohannya yang begitu fokus kepada wanita selingkuhannya dan melupakan sang istri. Bodoh banget! rutuk lelaki tampan ini atas ulahnya sendiri.

"Astaga sayang, aku nggak tahu kalau kamu minta jemput. Hp aku lowbat dan baru aku charger pas sudah sampai rumah."

Basi! hubungi cewek lain bisa, istri sendiri malah dilupain! umpat Anin dalam hati dan kembali memunggungi Tendra.

Pria itu kembali memeluk Anin dari belakang sembari mengucapkan maaf berkali-kali namun Anin tak ingin menghiraukan hal itu.

"Sudah tidur, besok kerja!" gerutu Anin yang masih tetap pada posisinya.

"Belum ngantuk Yang. Balik badan dong, I want a hug," bisik Tendra tepat di depan telinga dan istri.

"Aku lagi capek bang, ngantuk. Nggak usah aneh-aneh," tolak Anin sinis dengan kedua mata yang terpejam.

"Mau aku pijat?" desis Tendra yang masih berusaha untuk berbaikan dengan sang istri sembari memberikan tatapan penuh arti yang hanya dapat diketahui oleh Anin.

Wanita ini menghela nafas jengkel dan menoleh kembali ke belakang dimana jarak wajah diantara mereka begitu dekat dan nyaris bertemu.

"Kamu ngerti aku lagi capek nggak sih? memangnya jatah kamu masih kurang apa?" desis Anin berang.

Tendra melonggarkan dekapanya sembari menjauhkan wajahnya lalu menatap intens manik mata coklat sang istri dengan tatapan tak mengerti.

"Apa maksud kamu? kurang apa? kita udah lama nggak ngelakuin loh Nin. Kamu nuduh aku main belakang lagi?" Tendra bersuara dengan nada tersinggung seolah Anin menuduhnya kembali bermain dengan wanita lain.

Anin berdecik sinis,

"Aku nggak ada nuduh kamu selingkuh loh Bang. Atau jangan-jangan penyakitmu kumat lagi?"

"Astaga, cuma karena aku nggak angkat telepon dan nggak jemput, kamu jadi bicara kayak gini?" Tendra langsung meninggikan suaranya seakan tak terima.

"Kalau nggak bener, ya nggak usah marah. Tapi kalaupun bener, siap-siap aja," ancam Anin dengan tenang.

"Siap apa? kamu mau nuntut aku lagi? nggak bakal bisa!" sahut Tendra tegas.

Keduanya tangannya terkepal kuat mendengar balasan sang suami. Ia menatap sesaat ke arah lelaki yang hidup bersamanya selama 4 tahun ini, lalu segera turun dari ranjang.

"Aku males debat, lagi capek. Aku mau tidur di bawah." Anin bersuara tanpa menatap Tendra.

"Loh? kok gitu?" ungkap Tendra tak terima.

Namun ia tak ingin menghiraukan panggilan atau decakan protes Tendra. Langkah kaki wanita ini begitu mantap keluar dari kamar mereka menuju ke kamar tamu yang berada di lantai 1.

Sedangkan Tendra sendiri menggeram marah karena untuk kesekian kalinya, ia harus bertengkar lagi dengan sang istri.