Naulida Ambriaksi bingung mengenai perasaan aneh dalam dirinya ketika Bapak Harry menyebutkan nama Alexander Perdana. Ia tidak pernah merasakan perasaan aneh bak tersengat aliran cinta yang disampaikan oleh Bapak Harry Perdana.
Berpuluh tahun, Naulida Ambriaksi tidak pernah merasakan perasaan aneh seperti tersengat aliran positif cinta karena ia sibuk dengan buku semasa sekolah dan laptop selama ia bekerja bahkan kini, usia Naulida sudah terbilang cukup untuk menemukan pasangan seumur hidupnya dan melanjutkan ke jenjang pernikahan.
Namun, Naulida harus fokus ke pekerjaan karena ia harus membiayai kuliah adiknya yang masa kuliah sisa satu tahun. Itulah prioritas Naulida sehingga ia tidak pernah memikirkan dirinya. Bagi Naulida, Nurlida dan keluarga adalah prioritas utama dalam hidup meskipun, ia sering dipanggil dengan nada keras, tidak mendapatkan kasih sayang dari orang tua dan selalu mendapatkan tekanan dari orang tuanya.
Pandangan Naulida pun menjadi berkaca-kaca karena ia teringat masa kecil sampai dewasa dan bingung mengenai perasaan dan langkah yang harus diambil untuk selanjutnya.
"Ya Allah," keluh Naulida dengan pelan sambil mengusap seluruh wajah dan meletakkan kedua tangan di wajah sambil duduk dan diletakkan di meja.
Naulida lelah dengan kehidupannya yang harus menjadi anak sulung dengan beban tidak sedikit. Ia hanya bisa bersabar, pura-pura tidak terjadi apa-apa dalam hidupnya sehingga ia bisa melanjutkan hidup dengan santai dan terbuka.
Suara langkah kaki terdengar dalam pendengaran dan Naulida reflek mengalihkan tangan dari wajahnya lalu, ia melihat sosok teman satu jabatan beda divisi berdiri di depannya sambil menatap dan kedua tangan berada di pungungg.
"Kamu," kata Naulida."Kenapa? Ada apa? Kamu mau minta pena lagi?" tanya Naulida sambil membuka laptop dan menghidupkan layar laptop.
"Enak saja. Aku tidak selalu meminta pena kalau ke sini, Nau," sanggah laki-laki itu.
"Aku kira kamu meminta pena lagi," ledek Naulida."Bahkan aku lupa nama kamu karena kamu keseringan meminta pena dengan beribu alasan," ucap dan sindir Naulida."Siapa nama kamu?" tanya Naulida.
"Namaku, Satrio Saulino Sanjaya, si tukang peminta pena kepada Ibu Naulida Ambriaksi, si tukang pemberi pena secara gratis dan baik sekali," jawab Satrio.
Naulida terkekeh."Haha, aku memang baik dan melihat kamu kasihan jadi, aku memberinya secara cuma-cuma," ucap Naulida sembari mengetik laporan di laptop.
Naulida sengaja membuka laptop karena ia harus bekerja dan tidak ada yang menerka-nerka tentang kondisinya saat ini. Sekalipun, teman dekatnya bernama Satrio, si tukang peminta pena.
"Dasar, kepedean!" umpat Satrio.
"Aku memang harus percaya diri karena aku harus melanjutkan hidup," sahut Naulida.
"Iya iya," kata Satrio."Apakah kamu sibuk hari ini?" tanya Satrio.
Naulida berdehem."Hmm, aku sepertinya tidak sibuk," jawab Naulida dengan pandangan ke layar laptop.
Satrio berdehem panjang dan masih berdiri di depan meja dengan kedua tangan di belakang punggung. Ia menggerakkan kakinya sehingga badan ikut bergerak dan Naulida memperhatikannya.
"Kenapa? Ada apa denganmu?" tanya Naulida dengan intonasi sedikit tinggi.
Getaran kakinya berhenti dan ia menatap Naulida sambil menghela napas berkali-kali."Tidak apa-apa, aku hanya ingin mengajakmu makan malam di sebuah restoran," jawab Satrio.
Naulida tertawa kecil."Tidak mungkin," sanggah Naulida.
"Mungkin."
Naulida mengatupkan bibirnya dan sedikit membulatkan bola mata."Apakah kamu serius mengajakku makan malam?" tanya Naulida.
Satrio mengangguk."Iya, aku serius mengajakmu makan malam di restoran spesial dan romantis," jawab Satrio dengan tegas.
Naulida menggerakkan bola matanya ke segala arah sambil menggerakan jemari ke meja kerja selama beberapa detik. Satrio menempelkan kedua tangan di depan wajahnya kepada Naulida. Naulida pun mengangguk pelan sebanyak dua kali.
"Okay, aku menerima ajakan makan malam temanku, si tukang peminta pena," ucap Naulida dengan pelan.
"Yes!"
Satrio senang mendengar jawaban dari Naulida yang menerima ajakan makan malamnya. Satrio menghampiri Naulida dengan berlari dan hendak memeluknya, tetapi ia menjauh dan menangkis tangannya. Satrio menampakkan barisan giginya yang rapi. Naulida ikut tersenyum melihat teman kantornya bahagia.
"Tidak apa-apa kalau aku tidak bisa memelukmu."
"Aku tidak terbiasa dipeluk oleh orang lain."
"Okay, aku akan menjemputmu nanti malam, si tukang pemberi pena gratis," ucap Satrio.
Satrio ke luar dari ruangan Naulida sambil menggerakkan pinggulnya ke kanan dan kiri. Lalu, ia melambaikan tangan kepada Naulida dan kebanyakan orang kantor melihat tingkah anehnya. Naulida hanya menggeleng pelan sambil tersenyum dan berharap tidak marah atas aksi menolaknya untuk dipeluk.
Naulida tidak bisa menolak ajakan temannya apalagi teman dekat dan akrab meskipun itu seorang lelaki.
Ia melanjutkan pekerjaannya di depan laptop selama berjam-jam sehingga makanan yang diberikan oleh Bapak Harry belum dimakan olehnya. Naulida meregangkan badan secara perlahan sambil menggerakkan pinggul ke kanan dan kiri.
"Astaga, nasi kotak dari Bapak Harry tadi pagi," ucap Naulida.
Naulida melihat nasi kotak di meja kerja dan ia pun segera meraih dan mengambil nasi kotak itu. Ia menghirup aroma makanan sembari menutup mata sekilas.
"Ah, aroma ayam dan pecelnya masih harum dan bisa dimakan," kata Naulida.
Naulida mulai makan nasi pemberian Bapak Harry dengan lahap tanpa mengeluarkan perkataan apa pun dari mulutnya. Selain, rasa enak dari bumbu pecel dan ayamnya yang menyatu dalam lidah dan tenggorakkan.
Naulida menghabiskan makanan selama lima belas menit. Lalu, ia pun melanjutkan pekerjaannya karena setengah jam lagi adalah jam pulang kantor.
Naulida mengerjakan laporan yang menumpuk di meja sebelah kiri dan tersisa satu laporan belum terselesaikan. Ia pun mengambil laporan itu dan mengerjakannya sebelum jam lima sore. Ia harus pulang tepat waktu karena ada janji dengan Satrio.
Jemari Naulida mengetik cepat dengan kecepatan kilat dan laporan itu terselesaikan dalam waktu sepuluh menit.
"Ah, akhirnya aku bisa pulang cepat," ucap Naulida yang lega sembari meregangkan badan.
Naulida mematikan dan memasukkan laptopnya ke dalam tas. Ia merapikan semua berkas di sisi kiri meja kantornya. Naulida bergegas ke luar dari ruangannya.
Ia terus melangkahkan kaki sambil menyapa dan membalas sapaan dari teman-teman kantor sembari melontarkan senyuman kepada mereka.
"Selamat sore, Bu," sapa banyak karyawan.
"Selamat sore, Pak, Bu," balas Naulida dengan senyuman.
"Sudah pulang, Bu?" tanya salah satu rekan kerjanya.
"Iya, Bu," jawab Naulida.
Naulida masuk ke dalam lift dan menekan lantai paling bawah untuk ke luar dari ruangan dan menuju mobil. Pintu lift hendak tertutup, kaki seorang perempuan menghadang pintu lift. Perempuan dengan jas berwarna kuning dan rok yang senada dengan jasnya dan berukuran di atas lutut masuk ke lift sambil membawa dokumen.
"Naulida?" sapa perempuan itu.
Naulida membelalakkan matanya sekilas."Ibu Martha?" balas Naulida.
"Iya," jawab Martha.
Pintu lift tertutup dan kami pun satu lift dan berbicara selama beberapa detik.
"Mau pulang, Bu?" tanya Martha.
"Iya, Bu," jawab Naulida."Hmm, bagaimana dengan kondisi Bapak Alexander?" tanya Naulida.
Martha tersenyum."Bapak Alexander tidak sakit parah. Beliau hanya sakit perut karena tadi pagi makan nasi pecel dengan sambal yang banyak," jawab Alexander.
"Apa? Nasi pecel?" sontak Naulida."Berarti Pak Alexander tadi sempat ke kantor atau tidak?" tanya Naulida.
"Bapak tidak sempat ke kantor karena ketika makan di depot pecel sudah sakit perutnya dan saya diberi perintah untuk membatalkan meeting," jawab Martha.
"Astaga. Apakah Bapak Alexander meminta saya untuk ke rumahnya?" tanya Naulida.
"Tidak."
"Apakah Anda mengantarkan berkas ke rumahnya?" tanya Naulida.
"Iya, Bu."
Naulida ke luar dari lift bersama asisten Alexander dan sorotan mata rekan kerja yang berada di lantai satu menatap kami dengan pandangan yang berbeda-beda. Ia dan Martha menuju parkiran mobil dan berpisah karena mobil terparkir di lokasi yang berbeda.
Naulida masuk ke mobil dan mengendarai mobilnya dengan kecepatan normal sambil satu tangan di sebelah dahi kanannya dan menusuk keningnya menggunakan jari telunjuk secara perlahan karena heran dengan penyakit yang diderita oleh seorang CEO. Ia mengendarai mobil dari kantor dan tiba di rumahnya hanya lima belas menit.