"Pa, Rania akan ke sini," ucap Bu Regina pada suaminya dengan semringah.
"Alhamdulillah, ya, Ma," ujar Pak Andi menimpali ucapan istrinya.
Rania tak pernah tahu kalau Revan adalah kakaknya beda ayah. Pasalnya, Pak Andi selalu memerlakukan mereka sama dan tak berat sebelah.
Setelah selesai sarapan, mereka menunggu jadwal MRI untuk melihat kondisi terkini otak Revan. Luka luar yang ada di dahinya sudah mulai mengering dan hampit sembuh. Juga dengan luka du tangan dan badan yang yang terkena serpihan kaca mobil semuanya sudah mengering.
Tinggal pikirannnya yangbelum pulih sepenuhnya, ia lebih banyak diam ketimbang mengungkapkan apa keinginannya. Bahkan, tatapan matanya pun sering terlihat lurus ke depan seperti orang linglung.
Ketika bias matahari semakin panas, waktu beranjak siang. Rasa lelah seorang ibu tak akan terasa demi kesembuhan anaknya. Bu Regina dengan telaten melayani kebutuhan Revan termasuk ke kamar mandi.
Baru dua hari ini Revan pulih dan bisa berjalan ke kamar mandi. Suatu kemajuan besar baginya karena saat kemarin-kemarin ia masih menggunakan pispot untuk keperluan buang air.
"Ma, a—ku bisa sendiri," ucap Revan saat akan memasuki kamar mandi.
"Bener kamu sudah bisa, Sayang?" tanya Bu Regina lembut.
Revan mngangguk pelan kemudian menutup pintu kamar mandi. Ia bukan anak kecil sungguhan sehingga lebih mudah menangkap dibanding anak kecil. Sedikit-sedikit ingatannya pulih soal apa yang sering dilakukannya.
Bu Regina kembali duduk di sofa, ruangan rawat Revan merupakan kelas terbaik di rumah sakit tersebut. Ada tempat tidur yang nyaman, sofa, televisi dan kamar mandi di dalam seperti kamar hotel.
Revan keluar dari kamar mandi dan kembali duduk di tempat tidurnya, menatap sekelilingnya berusaha mengumpulkan bagian demi bagian dari kepingan ingatannya. Sayang, kamar itu tak memiliki kenangan berarti baginya, tak ada ingatan yang kembali ke kepalanya.
Seorang suster berjalan memasuki ruangan dengan membawa kursi roda. Memberi tahukan kalau sekarang jadwal Revan untuk periksa MRI. Bu Regina dan Pak Andi mengikuti ke mana Revan akan diperiksa.
Pak Andi mendorong kursi roda sementara Bu Regina membawa infusan. Mereka berjalan menyusuri rumah sakit menuju lantai empat. Kemudian memasuki sebuah ruangan yang di dalamnya adadinding kaca, anatara sebuah alat besar dan tempat melihat keadaan otak.
Revan dibaringkan di alat besar tersebut, kemudian seorang dokter paruh baya mengutak-atik tombol di ruangan yang terhalang dinding kaca. Tampaklah beberapa gambar otak di monitor, dengan seksama sang dokter memerhatikan gambar yang menunjukan bagian otak dari berbagai sisi tersebut.
"Mulai ada pergerakan ingatan, soal hal-hal yang biasa dan sering dilakukan, ya. Tinggal, ingatan-ingatan yang sifatnya jarang dilakukan, seperti mengingat teman dan yang lainnya. Sepertinya akan segera pulih apalagi jika bertemu dengan orang-orang terdekat seperti adik-kakak atau bahkan kekasih," papar sang Dokter menjelaskan keadaan Revan yang sudah membaik.
Bu Regina berkali-kali mengucapkan syukur atas kemajuan pesat yang dialami Reva. Setelah selesai proses pemeriksaan mereka kembali ke ruang rawat Revan. Setibanya di ruang rawat ponselnya kembali berdering, ada panggilan masuk dari Rania yang rupanya sudah sampai di lobi rumah sakit.
Menanyakn ruang rawat kakaknya, setelah tahu. Rania bergegas ke lantai dua di mana kakaknya di rawat.
"Siang, Ma, Pa, aku pulang ...!" ucap Rania dengan semringah sambil memeluk kedua orang tuanya.
Reva hanya menatap kedatangan Rania dengan penuh tanya, hatinya berkata bahwa ia tak asing dengan gdis tersebut. Ia meraasa dekat dengan orang yang baru datang itu.
Rania kemudian mendekati Revan, ia sudah tahu kondisi Revan dari sebelumnya. Karena sering bertukar kabar dengan ibunya.
"Halo, Kak ... ingat aku, kan? Rania, adik kakak yang paling ... cantik dan lucu ini," tanya Rania pada kakaknya itu.
Kedua mata Revan menyipit, ia menatap Rania dengan seksama. Mengumpulkan potongan ingatan yang bercecer di keplanya. Ia kemudian teersenyum tipis, ia ingat Rania sebagai orang yang selalu bersamanya, bermain dengannya ketika kecil, dan dilindunginya ketika ada yang mau macam-macam padanya.
"Ra—Rania," ucap Revan terbata.
Ia ingat ada Rania di hidupnya masa lalu, tapi tak tahu pasti kalau gadis itu adalah adiknya.
"Ye ... Kakak, ingat aku." Rania bertepuk tangan dengan wajahnya yang selalu ceria, seperti tak ada beban dalam hidupnya.
Padahal hatinya juga sakit melihat orang yang sangat ia sayangi seperti itu. Tapi, ia yakin kalau kakaknya itu akan segera pulih. Sembuh seperti sedia kala.
Bu Regina tersenyum melihat kehangatan sikap Rania pada kakanya. Ia lebih aktif mengajak kakaknya bicara dan bercerita. Kadang Revan tersenyum dibuatnya, berbeda dengan Bu Regina yang lebih pendiam dan takut Revan kesakitan lagi bila mngingat terlalu keras.
"Kakak, ingat enggak? Waktu kecil kita sering main lari-larian di taman, kalau aku menang bakal dikasih hadiah balon-balonan yang dibuat dari sabun colek terus pakai air itu, loh." Rania bercerita sambil sesekali tertawa sendiri.
Revan sesekali ikut tertawa, entah apa yang ia tertawakan. Antara masa lalu yang sedikit-sedikit ia ingat atau menertawakkan Rania yang bercerita dengan semangatnya. Diselingi dengan canda tawa yang mengalir dari bibirnya.
Bu Regina sampai meneteskan air mata haru karena telah lama tak melihat Revan tersenyum apalagi tertawa. Sejak kecelakaan itu senyum seakan dilupakannya.
Sementara itu Fira sedang belajar tersenyum menghadapi kedua orang tuanya. Ia merasa pertengkaran orang tuanya disebabkan olehnya.
"Mama, masak apa hari ini?" tanya Fira pada ibunya yang sedang berada di dapur bersama asisten rumah tangganya.
"Masak nasi goreng seafood kesukaanmu, Sayang," jawab Bu Alin sambil mengaduk-ngaduknasi goreng buatannya.
"Hm ... baunya harum sekali, Ma." Fira memeragakan seperti mencium bau masakan.
Setelah matang Bu Alin menyiapkan nasi goreng tersebut ke atas meja makan. Fira segera beranjk memanggil papanya untuk sarapan bersama. Dalam hati ia masih bertanya-tanya kiranya ke mana Revan pergi bersama keluarganya.
Ia tak berani mengungkapkan pertanyaannya karena semenjak kembali berusaha tersenyum, ibu dan ayahnya pun nampak lebih bahagia. Kadang ia berpikir haruskah ia melupakan kekasih hatinya untuk selamanya.
Kadang ia juga berpikir siap melepas Revan, namun ingin hubungan pertemanan mereka tak boleh putus. Semua itu, berputar-putar dalam pikiran Fira dan belum menemukan ujung ataupun titik temu.
Sehabis sarapan bersama, Fira dan ayahnya pergi ke kantor dengan mobil masing-masing. Seperti biasa ia lebih senang menyetir mobil sendiri, berbeda dengan ayahnya yang menggunakan jasa supir pribadi.
Kantor bertingkat dengan tinggi menjulang itu nampak gagah, biasa disebut gedung pencakar langit. Fira tersenyum bangga melihatnya atas kerja kerasnya dan ayahnya meereka kini bisa mencecap hasilnya.
Pak Ferdi yang sampai tak lama setelah Fira memarkirkan mobil tersenyum, kala melihat anaknya sedang tersenyum manis menatap hasil kerja keras mereka.