Chereads / Terjebak Pernikahan yang Salah / Chapter 47 - Nostalgia 27 Tahun lalu

Chapter 47 - Nostalgia 27 Tahun lalu

"Biasa aja, kok, Ma. Aku besok mau ke Singapura lagi," jawab Selina.

'Loh, kok, enggak biasanya. Baru juga kemarin, apa jangan-jangan mau menjenguk Revan, ya?' tebak Bu Rosma.

"Mama tahu aja, tadi Tante Regina nelepon aku dan minta aku menjenguk Revan," jawab Selina dengan senyum mengembang.

'Kayaknya ada yang kasmaran lagi, nih,' ucap Bu Rosma menggoda anaknya.

Ia tahu benar kalau sejak setahun lalu, anaknya itu tak lagi membuka hati pada lelaki manapun. Ditinggalkan oleh kekasih yag sudah berjanji menikahi memang rasanya pasti menyakitkan. Hingga Selina sempat tak percaya lagi dengan yang namanya cinta dari seorang lelaki.

"Belum sampai tahap kasmaran, lah, Ma. Baru sekedar kembali kenal," ujar Selina menimpali ucapan ibunya.

Mereka memang akrab layaknya adik-kakak, sehingga sering curhat dan mengobrol hangat seperti itu.

Setelah hampir satu jam berbincang-bincang hangat lewat telepon. Panggilan pun berakhir.

Selina mulai berhaap lebih pada Revan, apalagi menurut ibunya keluarga Revan itu dari dulu baik sejak bertetangga. Ditambah menurut cerita dari Bu Regina kalau Revan terlalu fokus berkarir dan belum memiliki pasangan hingga sekarang.

Mungkin memang begitulah cara takdir menyatukan dua insan yang pernah saling menyayangi. Bahkan dulu Selina menangis keras ketika Revan akan pindah ke Indonesia samapai tak bisa sekolah beberapa hari.

Selina jadi sering senyum-senyum sendiri mengingat masa kecilnya dengan Revan.

Keesokan harinya Fira dan ibunya telah bersiap untuk berangkat ke Singapura. Tak banyak barang yang mereka bawa hanya beberapa helai baju ganti untuk beberapa hari di sana.

Tak ada tujuan lain juga selain menjenguk Revan di rumah sakit dan melihat patung Merlion yang jadi kebanggaan negara itu.

Baju dan keperluan mereka berdua pun telah disatukan dan cukup di satu koper. Mereka mendapat jadwal penerbangan menjelang siang sekitar setengah sepuluh.

Jadi bisa sedikit tenang di pagi hari. Sarapan bersama Pak Ferdi yang seperti biasa hendak pergi ke kantor. Ia tak bisa memercayakan kantor ke sekretarisnya lagi.

Bahkan ingin segera membongkar kebusukan Anita dan Deni, tapi waktunya belum tepat. Jika kurang bukti dan saksi, mereka pasti dengan mudah berkelit.

"Pagi, Papa," sapa Fira saat sampai di meja makan untuk sarapan bersaa kedua orang tuanya.

"Pagi, Sayang. Nanti biar kalian diantar Pak Parmin saja ya, Papa ke kantor sendiri saja," ujar Pak Ferdi pada anak dan istrinya.

"Enggak usah, lah, Pa. Kan, banyak taksi online juga zaman sekarang, nnti Papa pegel dan kecapekan kalau nyetir ke kantor," ucap Fira yang khawatir dengan papanya.

Orang yang terbiasa memakai supir dan jarang menyetir pastilah akan merasa pegal dan tak nyaman jika tiba-tiba kembali menyetir. Apalagi biasanya waktu pagi adalah jam macet di mana semua orang yang punya aktivitas di luar akan berangkat kerja atau sekolah ke tempat masing-masing.

"Nurut saja sama Papa, kalau taksi online enggak percaya, mereka kan, orang lain. Bagaimana kalau bawa mobilnya ngebut atau ugal-ugalan." Pak Ferdi kekeuh dengan pendapatnya.

"Ya, enggak akan kali, Pa. Untuk apa ada polisi lalu lintas kalau di jalan kota aja bisa ugal-ugalan." Fira tak mau kalah dengan argumen ayahnya itu.

"Diantar Pak Parmin atau tidak berangkat sama sekali?" Kali ini Pak Ferdi bertanya tapi dengan ancaman tidak mengizinkan mereka pergi.

"Papa kok, gitu sih. Ya sudah diantar Pak Parmin deh, dari pada enggak jadi berangkat," gerutu Fira yang sedikit kesal dengan ancamaan ayahnya barusan.

"Sudah-sudah, berdebat terus kapan selesainya itu sarapan?" tegur Bu Alin lembut.

Mereka akhirnya menikmati sarapan bersama tersebut. Tak banyak menu cukup roti dan selainya juga segelas susu berukuran besar.

Dulu, Pak Ferdi selalu protes jika harus minum susu. Tapi, seiring berjalannya waktu dan kebiasaan sekarang ia jadi terbiasa dan megaku baadannya lebih fresh dibanding sering mengonsumsi kopi.

Selesai sarapan, Pak Ferdi pamit pergi ke kantor, ia akan menyetir sendiri. Ia melangkah keluar dari rumah mewah itu. Di halaman Pak Parmin telah menunggu sambil mengelap-ngelap mobil yang sudah kinclong karena setiap hari dilapnya.

"Pak, hari ini saya berangkat ke kantor sendiri saja," ucap Pak Ferdi saat menuruni tangga teras.

Pak Parmin terbelalak kaget, ia takut dirinya dipecat dan majikannya itu tak mau mengunakan jasanya lagi.

"Kenapa Pak, mohon jangan pecat saya, Pak ...," ucap Pak Parmin sambil menangkupkan kedua tangan di depan dada.

Ia terlihat begitu memels dan meminta dikasihani.

"Siapa juga yang mau pecat kamu. Tugasmu hari ini, nanti antar istri dan anak saya ke bandara. Nanti pulangnya langsung ke kantor, ya," tutur Pak Ferdi menjelaskan tugas Pak Parmin.

"Oh, begitu. Siap, Pak," ucap Pak Parmin mantap.

Pak Ferdi mengangguk kemudian menaiki mobilnya dan melajukannyamenuju kantor. Sementara Pak parmin kini beralih memanaskan dan mengelap-ngelap mobil Fira yang baru saja ia keluarkan dari garasi.

Setengah jam menunggu Bu Alin dan Fira keluar rumah dengan membawa koper besar. Pak Parmin segera mengambil alih koper tersebut dan memasukannya ke bagasi.

"Ke bandara internasional, ya, Pak," ucap Bu Alin memberi perintah.

"Siap, Bu," ujar Pak Parmin mantap kemudian melajukan mobil.

Jalanan sudah mulai lengang karena sudah lewat jam pergi kekrja dan sekolah. Mereka melintasi jalanan dengan keecepatan sedang, berhati-hati lebih baik daripada harus celaka karena keteledoran sendiri.

"Aku enggak sabar pingin cepet sampai dan ketemu Revan, Ma," ujar Fira saat di dalam mobil.

Ia memerhatikan jalanan, matanya tak dapat terpejam saking antusiasnya dengan perjalanan kali ini. Padahal kalau soal liburan ke luar negeri ia sudah sering merasakannya.

"Sabar, dong, Sayang. Bentar lagi juga sampai," ujar Bu Alin dengan senyum tipis.

Perasaannya berkata lain soal perjalanan ini. Tak akan semenyenangkan apa yang anaknya bayangkan.

Setelah satu setengah jam perjalanan, mereka sampai di areal bandara. Pak Parmin mengantarkan sampai tempat keberangkatan.

Bu Alin dan Fira turun dan langsung menyusuri lantai menuju tempat menunggu penerbangan. Tak lama kemudian penerbangan menuju Singapura yang hendak mereka naiki telah siap dan para penumpang dipanggil menuju ruangan tunggu naik pesawat.

Tak lama berselang mereka telah ada di dalam pesawat dan melakukan perjalanan jalur udara ke Singapura. Tak memakan waktu lama, paling sekitar dua jam untuk sampai di negara tujuan itu.

Perjalanan pun sampai dengan mulus di bandara internasional Singapura. Mereka langsung menuju taksi untuk mengantar ke hotel yang sudah dipesan sebelumnya lewat aplikasi.

Tepatnya di daerah ibu kota Singapura. Perjalanan tak memakan waktu lama untuk sampai ke hotel yang dimaksud.

Bu Alin serasa bernostalgia ketika melewati jalan demi jalanan menuju hotel. Negara itu telah banyak berubah sejak terakhir kali ia ke sana 27 tahun yang lalu.