Chereads / Terjebak Pernikahan yang Salah / Chapter 45 - Khawatir dengan Perusahaan

Chapter 45 - Khawatir dengan Perusahaan

"Tadinya, aku ingin kita pergi bersama ke Singapura. Tapi, di sisi lain juga khawatir soal perusahaan yang sedang diincar Anita dan Deni. Jadi, kuputuskan untuk pergi sendiri sambil berlibur," jawab Fira panjang lebar.

Bu Alin yang telah lebih dulu mengetahui soal perusahaan hanya mengangguk-angguk.

"Oh ya, Ma, aku ke kamar dulu, ya, gerah pengen mandi," ucap Vira sambil berlalu menaiki tangga untuk ke kamarnya.

Bu Alin termenung menunggu suaminya pulang. Selang lima menit Fira memasuki kamarnya, Pak Ferdi datang ke rumah. Ia langsung menghambur menyalami tangan suaminya.

"Pa, ada yang mau mama bicarakan," ucap Bu Alin sambil mengambil alih tas kerja suaminya.

Pak Ferdi mengangguk. Kemudian, mereka berjalan bersama menuju kamar.

"Ada apa, Ma?" tanya Pak Ferdi pada istrinya itu.

"Fira ternyata sudah tahu bahwa Revan berada di Singapura," jawab Bu Alin dengan wajah sedikit cemas takut suaminya marah.

"Iya, Papa sudah tahu. Dia juga sudah minta izin untuk pergi ke sana," ujar pak Ferdi pelan.

"Lalu, tanggapan Papa bagaimana? Katanya dia ingin pergi sendiri, karena khawatir dengan keadaan perusahaan yang sedang terancam," tanya Bu Alin dengan khawatir.

"Iya, memang keadaan perusahaan sedang terancam. Papa khawatir jika manusia-manusia licik itu memakai tanda tangan palsu. Tapi, Papa juga sebenarnya belum sanggup untuk pergi ke sana," jawab Pak Ferdi lesu.

"Pa, kalau diizinkan biar Mama yang temani Fira ke Singapura." Bu Alin mendekati Pak Ferdi dan memegang tangannya.

"Mama beneran tak masalah dengan masa lalu kita di sana?" tanya Pak Ferdi seakan tak percaya dengan niat istrinya.

Bu Alin mengangguk. "Demi Fira, Pa."

"Baiklah, terserah Mama saja," ucap pak Ferdi.

Setelah itu Pak Ferdi pergi ke kamar mandi. Tubuh yang lelah juga gerah ingin diguyur dengan air dingin yang menyejukkan. Berharap hatinya pun ikut dingin sama seperti air tersebut.

Bu Alin termenung sendiri di sisi tempat tidur, sebenarnya ia pun tak ingin pergi ke rumah sakit itu lagi. Tapi, ia tak mungkin membiarkan Fira pergi sendiri ke sana. Apalagi sikap Bu Regina yang pastinya tak akan bersahabat, ia sudah tahu itu akan terjadi.

Bu Alin melangkah keluar kamar, kemudian menaiki tangga menuju kamar anaknya. Ia mengetuknya. Rupanya pintu tak dikunci, ia membukanya perlahan dan mendapati Fira yang sedang menatap fotonya bersama Revan.

"Putri Mama, pasti sudah kangen sekali dengan pangerannya," ucap Bu Alin sambil merangkul pundak putrinya.

"Lumayanlah, Ma, lama tidak bertemu, yang biasanya ketemu setiap hari. Pastilah ada kangen," ujar Fira dengan mata yang tak beralih dari pigura yang dipegangnya.

"Kalau begitu, secepatnya kita ke Singapura," bisik Bu Alin di telinga Fira.

Seketika Fira membelalakan matanya, ia seakan tak percaya dengan apa yang barusan dia dengar dari mulut ibunya.

"Ma—Mama, serius?" tanya Fira sambil menatap ibunya dengan mata berbinar.

"Apa Mama terlihat bercanda?" tanya Bu Alin dengan senyum mengembang.

"Terima kasih, ya, Ma," ujar Fira sambil merangkul ibunya.

'Tapi, kamu harus siap dengan semua yang akan terjadi nanti,' gumam bu Alin dalam hati.

Hatinya teriris, jika mengingat bagaimana Bu Regina memperlakukan Fira saat di rumah sakit. Ia merasa ketika bertemu nanti, sikap ibu dari kekasih anaknya tersebut tak akan jauh berbeda. Bahkan mungkin lebih parah, hal itu yang membuat dirinya khawatir dan tak tega membiarkan Fira pergi sendiri.

"Aku pesen tiket pesawat online dulu, deh, ya Ma?" tanya Vira dengan mata berbinar.

Bu Alin menganggukan kepala. Fira kemudian mengambil ponselnya dan mengutak-atiknya. Mencari tiket pesawat untuk besok berangkat ke negara di mana kekasihnya berada. Juga tak lupa dengan tiket hotel yang dekat dengan rumah sakit di mana Revan dirawat.

Sementara itu di rumah sakit Changi Hospital, Revan tengah berbahagia karena dapat berkumpul dengan keluarganya dan keadaannya telah jauh membaik.

"Kak, kayaknya kesembuhanmu karena adanya aku, ya?" tanya Rania dengan dengan wajah ceria.

Gadis cantik itu memang selalu nampak ceria dan bicara ceplas-ceplos. Semuanya tersenyum mendengar pertanyaan Rania.

"Bisa dibilang begitu," jawab Revan sekenanya.

"Kalau begitu, kapan Kakak akan pulang?" tanya Rania lagi.

"Kakak juga enggak tahu, semoga secepatnya."

"Ketika Kakak sadar. Apa yang pertama kali diingat?" tanya Rania lagi, seakan detektif yang sedang menyelidiki orang terduga.

"Hanya satu, seorang gadis kecil yang memberi penghapus pada Kakak ketika kecil. Tapi, juga lupa namanya siapa, hanya itu yang aku ingat," jawab Revan sambil tersenyum.

Ia mengira gadis itu adalah orang yang sangat berarti dalam dirinya, sampai-sampai mengingatnya ketika sadar.

"Ma, ada yang ngasih penghapus waktu Kakak kecil. Tahu enggak siapa?" tanya Rania pada ibunya.

Bu Regina menerawang ke masa lalu di saat Revan kecil dan sudah sekolah. Saat itu ia adalah anak yang pendiam dan jarang berteman dengan anak laki-laki. Bahkan ia lebih senang jika berteman dengan anak perempuan.

Ada satu anak perempuan yang sangat dekat dengan Revan yaitu Selina. Itupun karena mereka juga bertetangga, sehingga setiap pergi, pulang, dan di sekolah selalu bersama dengan Selina dan ibunya.

Bu Regina ingat dulu Revan pernah menunjukkan sebuah penghapus kecil padanya. Revan kecil bilang kalau itu dari Selina, diam-diam ia tersenyum berharap anaknya itu benar-benar melupakan Fira dan mencintai Selina.

"Bagaimana kalau kita minta Selina kemari? Siapa tahu dengan begitu ingatan Revan akan cepat pulih, apalagi Mama juga senang dengan Selina," tanya Bu Regina pada suaminya.

"Papa tak masalah. Silakan Mama telepon saja Selina, kalau tidak sibuk biar dia ke sini," jawab Pak Andi.

Bu Regina segera mengambil ponselnya dan menelepon Selina yang berada di Indonesia.

"Halo, Sel, apa kabar?" tanya Bu Regina setelah sambungan telepon terhubung.

"Baik, Tante, bagaimana kabar Revan sekarang?" tanya Selina di seberang telepon.

"Revan sudah sadar dan keadaannya mulai membaik. Kamu tahu siapa yang pertama kali diingatnya ketika sadar?" tanya Bu Regina membuat Selina penasaran.

"Memangnya siapa, Tante?" tanya Selina.

"Gadis kecil yang dulu pernah memberi penghapus padanya," jawab Bu Regina dengan semringah.

"Ya ampun, padahal itu udah lama banget, loh, Tante," ucap Selina sambil tertawa kecil.

Ia ingat kalau itu adalah dirinya yang memberi penghapus ketika TK dulu.

"Makanya, Tante telepon kamu. Kalau lagi enggak sibuk tolong jenguk Revan ke sini, ya," ucap Bu Regina lembut pada gadis itu.

"Kebetulan aku lagi cuti, sih, Tante. Nanti, usahain secepatnya ke situ, deh, ya," ucap Selina di seberang telepon.

"Tante tunggu, ya?"

Setelah berbincang hangat, telepon pun diakhiri dengan menutup sambungannya.

"Pa, Selina bakalan ke sini," ucap Bu Regina dengan semringah.

"Syukurlah, kalau dia mau ke sini," jawab Pak Andi dengan senyum.

Mendengar percakapan orang tuanya, Rania penasaran kemudian mendekati mereka. Penasaran dengan gadis bernama Selina itu.

"Ma, memang Selina itu siapa, sih?" tanya Rania penasaran.