"Se—selamat, ya, aku enggak tahu kamu suka sama Revan, sejak kapan? Bukanya waktu itu sama Adit?" selidik Anita dengan nada ceria seperti bisanya, menyembunyikan luka yang baru saja ditorehkan.
"Iya, sih, waktu itu ... Cuma tiba-tiba Revan nyatain perasaannya dan aku bener bener seneng banget, apalagi dia berani langsung ke orang tuaku," jawab Fira dengan rona wajah bahagia yang sangat kentara.
"Bagus, kalau gitu, nih, berkasnya aku taruh di sini ya." Anita berdiri sambil menyimpan berkas yang tadi dibawanya.
"Ih, kok, gitu sih, mau ke mana?" tanya Fira yang melihat Anita hendak pergi.
"Aku masih banyak kerjaan," jawab Anita singkat.
"Hem ... gitu ya, enggak mau ngucapin selamat gitu, atas hubungan aku sama Revan?" tanya Fira tanpa rasa bersalah sedikitpun.
"Se—selamat ya, atas hubungnnya," jawab Anita dengan terbata.
Ia berlalu ke ruangannya, air matany telah penuh di kedua netranya tinggal meluncur bebas ke pipi mulus Anita.
Keesokan harinya ia benar-benar sakit dan tak mau bekerja. Orang tuanya tak keberatan, mereka tak tahu masalahnya apa. Berpikir anaknya itu hanya sakit biasa, demam dan pusing. Seperti yang dikeluhkannya.
Siang hari di jam istirahat kantor, tiba-tiba datang seorang pria ke rumah Anita untuk menjenguk. Berpakaian perlente ala orang kantoran, kulit sawo matang tapi terlihat terawat.
"Bu, boleh saya bertemu Anita?" tanya Deni saat pintu rumah dibuka oleh ibunya Anita.
"Anita sedang sakit, biar saya tanyakan dulu," jawab Bu Rukmi sambil berlalu ke kamar anaknya.
Membuka pintu kamar yang tak dikunci danmendekati tempat tidur Anita. Ia membelai pucuk kepala anaknya dengan penuh kasih sayang.
"Nak, ada seseorang yang mencarimu," ujar Bu Rumi lembut pada anaknya.
"Siapa, Ma, bilang aja aku lagi sakit," jawab Anita yang berpikir bahwa Fira yang menengoknya.
"Mama juga enggak tahu, laki-laki, baru lihat juga," ucap Bu Rukmi.
Anita terbangun mendengar yang mencarinya laki-laki, seingatnya ia tak pernah dekat dengan lelaki manapun apalagi sampai mau menengok kala sakit begini.
"Ya sudah, aku temui dulu ya, Ma." Anita bangkit dari tempat tidurnya dengan lemas, tenaganya telah terkuras saat mendengar kenyataan pahit kemarin.
Saat tiba di ruang tamu, ia menyipitkan mata melihat yang menjenguknya adalah asisten Revan di kantornya.
'Apa dia ke sini disuruh Revan atau Fira, ya,' gumam Anita dalam hati.
Ia duduk dan tersenyum canggung, sebenarnya ia juga tak begitu mengenal tamunya tersebut. Hanya pernah beberapa kali bertemu dan makan siang bersamaFira dan Revan.
"Maaf, ada perlu apa ya, Pak?" tanya Anita sopan setelah beberapa saat terdiam.
"Jangan panggil Bapak dong, kan, bukan di kantor. Panggil saja saya Deni," ucap Deni pada Anita.
Deni menatap tajam Anita, ada rasa yang menelusup ke dalam hatinya. Gadis itu nampak begitu cantik di matanya.
"Ah, rasanya tidak sopan jika saya tidak memanggil Bapak," ucap Anita dengan malu-malu.
Ada rona merah di wajahnya, ia tersipu malu. Hati yang terluka sedikit riang karena adanya Deni. Sejak saat itu Anita dan Deni menjadi dekat.
Anita tersadar di ruangan kerjanya dari lamunan masa lalu ketika ia kenal dengan Deni. Hatinya masih perih jika mengingat kejadian itu ketika Fira memberi kabar tentang hubungannya dengan Revan. Padahal ia juga sudah memiliki Deni sebagai kekasihnya.
"Aku harus mendapatkan kekuasaan kantor ini, untuk balas dendam atas sakit hati yang waktu itu aku rasakan," ucap Anita dengan penuh penekanan karena amarah.
Sebenarnya ide untuk mengambil alih kekuasaan kantor berasal dari Deni. Tapi, semakin ke sini dengan hasutan kekasihnya itu Anita ikut terjun ke dalamnya.
*******
Fira termenung di dalam ruangannya. Ia tak menyangka sahabatnya bisa setega itu untuk mengambil kantor yang telah ia bangun dengan ayahnya.
'Salah apa aku sama kamu, hingga kau tega berbuat seperti itu,' gumam Fira dalam hati.
Ia menatap ayahnya yang masih duduk di sofa ruang kerjanya.
"Papa, kenapa kita tidak membawa kasus ini ke ranah hukum?" tanya Vira pada ayahnya.
Pak Ferdi menatap anaknya, sebenarnya ia kasihan melihat Fira. Soal kekasihnya belum beres ditambah lagi sahabatnya yang mengkhianatinya.
"Kita belum cukup bukti, Nak," ucap Pak Ferdi pelan.
"Apa tidak cukup dengan video dan berkas tersebut?" tanya Fira.
"Nanti ada waktunya, Nak. Papa, kembali ke ruangan dulu." Pak Ferdi bangkit dan melenggang pergi keluar dari ruangan kerja anaknya.
Fira hanya terdiam, ia masih mencerna apa yang terjadi barusan. Kemudian, ia mengambil ponsel yang berada di meja kerjanya. Dalam hati ia masih berharap bisa menemukan kabar Revan saat ini. Ia rindu ketika ia menghadapi masalah Revan selalu siap untuk menjadi pendengar yang baik.
Ia men-scroll beranda aplikasi birunya, tiba-tiba menemukan status Rania, adik Revan sedang berada di Singapura. Seketika Fira berpikir pasti Revan berada di sana juga atau mungkin memang dipindahkan berobat ke negara itu.
Fira kembali mengamati status Rania, tercantum tempat sedang berada di Changi Hospital Singapore.
'Akhirnya, aku bisa bertemu dengan Revan. Yakin pasti dia dirawat di sana,' ucap Fira dalam hati, ia bertekad akan menemui Revan ke Singapura meskipun sendiri.
Fira bangkit dari duduknya, ia ingin memberi tahu kabar gembira ini pada ayahnya. Bergegas ia ke ruangan kerja ayahnya. Ia membuka pintu, rupanya Pak Ferdi sedang sibuk dengan pekerjaan.
"Papa ... aku punya kabar gembira!" ucap Vira dengan senyum semringah.
"Ada apa, ini? Sepertinya, anak Papa gembira sekali," tanya Pak Ferdi penasaran.
"Aku tahu keberadaan Revan sekarang, Pa," jawab Fira dengan senyum mengembang.
Kebahagiaan terpancar jelas dari wajahnya. Seketika wajah Pak Ferdi terlihat kaget, hal yang berusaha ia sembunyikan akhirnya diketahui juga.
"Dari mana kamu tahu?" tanya Pak Ferdi tanpa ekspresi.
Andai saja yang memberi tahunya adalah ah Bu Alin, Pak Ferdi akan marah besar pada istrinya itu. Ia masih tak ingin menginjakkan kaki di negara tersebut.
"Aku tadi lagi scroll beranda, tiba-tiba ada status Rania. Ia sedang berada di Singapura tepatnya di Changi Hospital, pasti Revan juga dirawat di sana, Pa," jawab Fira dengan senyum yang tak pudar dari wajahnya.
Pak Ferdi menghela napas dalam. Tak bisa marah pada putrinya, karena ia pun salah menyembunyikan kenyataan itu dari Fira. Sekarang Fira telah mengetahuinya. Ia yakin, Fira akan nekat untuk menemui kekasihnya itu di Singapura.
Tak terasa waktu istirahat pun tiba, Fira mengajak ayahnya untuk makan siang bersama. Rona bahagia terpancar jelas dari wajahnya, Pak Ferdi menurut.
Ia mengikuti langkah anaknya menuju restoran yang biasa ya kunjungi untuk makan siang.
"Hari ini ini Fira bakal temenin, Papa, makan siang. Sekalian, ada hal yang ingin aku bicarakan, ya, Pa," ucap Vira sambil berjalan mengiringi langkah ayahnya.