Chereads / Moonlight in Your Arms / Chapter 1 - Terhubung kembali

Moonlight in Your Arms

🇮🇩Joe_Marie_Tarjan
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 65.2k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Terhubung kembali

"Laura, beri kesempatan kedua, aku akan membahagiakanmu sepanjang hidup," kata Ken.

Aku menatap matanya yang hitam, dalam dan bersinar tajam. Bekas tunanganku ini sudah mengkhianatiku. Ketika dulu dia menikahi Marina apakah juga memakai kata-kata manis yang sama?

Dia menikahi perempuan lain di saat aku siap untuk menjadi istrinya, Ken meninggalkanku terpuruk dalam keputus-asaan, tersakiti dan tidak percaya diri. Sekarang di kala luka-luka batinku belum tertutup sepenuhnya, Ken mendatangiku untuk memintaku kembali kepadanya.

"Atau kamu tidak mau karena aku statusku?" tanya Ken lagi.

Bukan karena statusmu... gumamku.

Aku bukan yang dulu lagi! Sekarang aku bukan perempuan lemah yang dulu kamu campakkan. Aku bisa memberimu kesempatan kedua, tetapi jangan salahkan aku bila kamu nanti menderita sepanjang hidupmu. Sanggupkah kamu? kataku di dalam hati.

-----------------------------------

Perjalanan selalu menghubungkan kita dengan rumah, apakah kita meninggalkan rumah untuk menuju ke suatu tempat atau pulang ke tempat orang-orang tercinta yang menanti kedatangan kita.

Ibu memegang cangkir kopi tanpa meminumnya, gerak tubuhnya gelisah menyaksikan berita televisi tentang pesawat yang hilang di atas laut sesaat sebelum mendarat di ibukota.

"Pasti tidak ada yang selamat," kataku pesimistis sambil mengunyah sepotong papaya yang membuat mulutku penuh rasa manis.

Ibu memandangku dari atas kacamata baca yang melorot turun ke hidung, ekspresinya sulit dilukiskan. Aku tahu bahwa dia kurang suka akan kata-kataku.

"Laura Arden, kamu kurang waras." kata ibuku.

Aku tertawa sumbang. Kami tinggal berdua di rumah ini, setelah ayahku meninggal dan adikku pindah ikut suaminya. Kami mewarisi perusahaan penerbitan milik ayah dan aku menjadi editor.

Kami bertatap mata dengan sengit membahas musibah pesawat dan orang-orang yang tidak bisa pulang atau mereka justru pulang ke alam baka?

Tidak seorang pun penumpang yang kami kenal, tetapi rasa pilu tidak dapat ditahan ketika mengikuti pemberitaan tentang pesawat dengan 239 penumpang yang hilang sepekan lalu, ditelan Samudra Hindia yang dalam, gelap dan dingin.

Tiba-tiba terdengar dering telepon rumah yang mengejutkan kami berdua. Ibu dan aku saling berpandangan.

Telepon itu hanya dipakai ibu untuk memesan air mineral, gas elpiji dan menelepon rumah makan langganan yang memberi layanan pesan-antar. Sudah bertahun-tahun tidak ada telepon masuk karena kami lebih banyak memakai HP.

Aku meminta ibu mengabaikannya karena menduga itu telepon tidak penting, misalnya penipu atau seseorang yang menawarkan dagangan.

Namun deringnya berulang membuat ibu menyeret langkah mendekati meja kecil tempat telepon itu dan mengangkatnya. Dia menyapa penelpon dan mendengarkan suara di seberang.

"Oh Ken? apa kabar?" ibu menengok padaku dengan wajah heran. Ibu mengisyaratkan agar aku mendekat.

Jantungku berdegup kencang, darah naik ke ubun-ubun membuat kepala dan wajahku terasa hangat. Ken, nama yang sudah lama tidak kudengar kini disebut di depanku.

Ibu menekan speaker sehingga aku pun bisa mendengar percakapan mereka. Diawali dengan saling menanyakan kabar. Ibu juga menanyakan kabar orang tua Ken.

"Bunda, saya ingin bicara dengan Laura, apa dia ada?" ujarnya segera setelah menjawab pertanyaan ibu.

Kenny Williams, bekas tunaganku, yang telah berkhianat dan menikah dengan orang lain di saat kami sebenarnya bersiap untuk menikah. Aku menjadi tunangannya selama tiga tahun, tiba-tiba terdepak begitu saja!

"Ya ada, ini dia," jawab ibu kepada Ken sambil mengangsurkan gagang telepon yang terpaksa aku terima dengan ragu.

"Hai..." sapaku dengan suara tercekat. Perasaanku antara marah, benci dan gelisah.

" La … Maaf kalau aku mengejutkanmu. Bagaimana kabarmu?"

Aku tidak membalas sapaannya, mulutku terasa berperekat. Untuk apa dia menanyakan kabarku? setelah lima tahun mengapa baru sekarang bertanya.

"Laura?" dia memanggil lagi dengan lembut.

"Aku baik-baik, mengapa bertanya? " Kataku dengan jawaban ketus.

"Mama menanyakanmu, ingin bertemu," kata Ken berbisik, tedengar suaranya seakan tanpa jarak, begitu dekat. Arghhh mengapa dia memakai suara mesra seperti ini??? aku terdiam dan merenungkan kata-katanya.

"ehmmm... Mama sakit. Maukah kamu menjenguknya?" Ken mendesak.

Tanganku gemetar, basah dan dingin. Rupanya suara Ken mempengaruhiku. Aku terkenang saat kami masih bersama-sama. Merasakan kembali telapaknya yang lebar dan hangat saat menggenggam tanganku. perutku terasa berputar.

Ibu mematikan speaker telepon lalu meninggalkanku keluar ruang.

Teringat percakapanku terakhir dengan Ken di rumah Amy, saat kusadari bahwa tunanganku memilih perempuan lain dan mengabaikanku. Lima tahun telah berlalu.

"Sakit apa?" aku balik bertanya dan mencoba mengabaikan kenangan yang menyeruak.

" Datanglah, dan melihat langsung," suara Ken bersemangat dan percaya diri seperti biasa.

Panas matahari serasa menembus dinding rumah membuatku berkeringat. Ken berbicara seolah-olah peristiwa perpisahan yang menyakitkan itu tidak pernah terjadi.

Kami sudah bertunangan dan seharusnya membahas rencana pernikahan, tetapi Ken malah menikah dengan muridnya dan mengabaikan aku yang terluka.

"Aku … aku ehh, maksudku," pikiranku tidak mau bergerak.

" Datanglah untuk mama, aku cemas waktunya tidak lama lagi," Ken menegaskan.

Tenggorokkanku terasa semakin kering.

Kalimatnya menyudutkanku, tentang mama yang disebutnya mungkin tidak punya banyak waktu lagi untuk melanjutkan hidupnya. Bagaimana jika aku mengabaikan keinginan mama untuk bertemu denganku? Jika mama meninggal sebelum aku menemuinya akankah aku merasa bersalah?

Pada saat Ken dan aku bertunangan, ibunya yang kami panggil Mama, menyayangiku bagai anak kandung sendiri. Sejak kami berdua putus, aku pun memutuskan hubungan dengan seluruh keluarganya. Kami tidak berhubungan sama sekali.

Kini ketika mendengar perempuan tua itu sakit, hatiku bimbang.

"Hmm… aku… aku…entahlah," kataku tanpa menyembunyikan kegugupan.

Mengapa aku harus peduli pada ibunya? Jika demi kemanusiaan, apakah aku akan mampu mengunjungi rumah mereka lagi setelah terakhir kali yang sangat menyakitkan. Pada saat itu bahkan aku tidak bisa membayangkan untuk menginjakkan kaki kembali ke kota tempat tinggal mereka.

"Laura…"

Aku terdiam memejamkan mata, wajah Ken terbayang kembali dan aku merasa ada ratusan jarum yang mencucuk-cucuk di dalam tubuhku.

Mengapa ketika ibunya sakit Ken mengingatku? Lima tahun berlalu tanpa sepotong kabar pun darinya.

"La… please," dia mengulang dan caranya menyebut namaku dengan aksen L yang tegas, hanya Ken yang melakukannya, tidak ada orang lain yang seperti itu.

"Apa … apakah … apa kehadiranku ada artinya… bagi mama, seperti yang kamu katakan?"

"Aku kira mama sangat ingin melihatmu." Ken menegaskan.

Aku membayangkan wajah ibunya yang memiliki mata lebar, tulang pipinya yang tinggi dan bibirnya yang selalu tersenyum. Tetapi sekaligus aku ingat tatapannya yang gelisah setelah pertengkaranku dengan Marina.

Mama waktu itu tidak menolong aku yang seperti anak ayam ditinggal induk. Aku kecewa dan merasa ditinggalkan. Sudah lima tahun yang lalu. Mengapa sekarang tiba-tiba Ken mencariku, atau mama yang mencariku?

Apakah dia ingin meminta maaf padaku? Mama tidak ikut bersalah, aku hanya merasa menjadi orang asing dan seorang diri, ketika Ken mencampakkanku.

Kini Ken memintaku menengok ibunya. Dadaku sesak.

Tiba-tiba perasaanku menggumpal dan mataku menjadi hangat membayangkan perempuan yang pernah memanjakanku. Waktu itu mama sering menemaniku di saat aku bersedih dan memerlukan pelukan-pelukannya.

" Aku ingin memeluk mama..." suaraku terdengar serak tertahan, aku tidak ingin membuat perempuan itu merindukanku tanpa tahu kemungkinan untuk bertemu kembali.

"Jadi kamu bersedia? Aku akan mengirim tiket ," kata Ken.

"Ohhh…beri aku waktu untuk berpikir." Berbicara dengan Ken membuatku sesak nafas.

"jangan menangis La …"

Kepalaku pening berdenyut. Pasti dari suaraku terbaca bahwa aku menangis.

"Aku… tidak aku tidak menangis, ehmm sudah lama kita tidak bertemu," kataku sambil mengusap mata dan merasakan kebohongan yang sia sia.

"Aku tidak ingin membuatmu sedih," kata Ken.

Ya Ampun! kamulah yang membuatku bersedih selama lima tahun, batinku.

Jika aku pergi ke Kota Baru maka aku bukan hanya akan bertemu mama, tetapi juga akan berhadapan dengan semua, Ken beserta Marina juga mungkin anak-anak mereka dan para kerabat. Aku tidak mampu memikirkannya, bagaimana aku akan sanggup menemui mereka semua.

Aku perlu waktu untuk memutuskannya maka berjanji akan memberi jawaban secepatnya.

"Maaf kalau aku mengejutkanmu." Ken mengulangi kata-katanya.

" Terimakasih sudah memberi kabar, setelah sekian lama." Aku tidak tahu apakah kalimat ini tepat, sebab meluncur begitu saja dari hati. Sejak hari itu aku memang tidak pernah berhubungan sama sekali dengannya. Kira-kira ada dua kali Ken mencoba menghubungiku namun aku tidak memberinya kesempatan. Aku tidak sanggup untuk bercakap cakap dengannya lagi. Aku sangat kecewa padanya.

Aku benar-benar ingin menangis sekarang.

"Ya, maaf," suaranya pelan. Lalu hening.

"Kapan kau bisa?"

"Ini nomor ponselku, hubungi aku lagi nanti malam, aku perlu berpikir," aku membacakan angka-angka nomor dengan cepat dan ingin segera mengakhiri percakapan dengannya.

"Baik nanti kuhubungi lagi."

"Sampai nanti."

Aku menutup telepon dengan segera dan menarik nafas dalam-dalam sambil memejamkan mata. Kurasakan titik air mata yang hangat bergulir di pipi dan aku merasakan kembali perasaan terabaikan serta ditinggalkan oleh orang yang sempat sangat aku percaya, tempat aku akan menggantungkan hidupku bersamanya. Apakah dia masih bisa kupercaya? Wajah Ken yang tampan, hidung tinggi dan mata di bawah bulu mata lentik serta bibir bawah yang agak tebal, terbayang jelas juga senyum dan gayanya berbicara.

Lima tahun aku berusaha keras melupakannya, mencoba menghapusnya dari memori di otakku, tetapi usahaku tidak pernah berhasil. Setiap hari aku terkenang kepadanya, selama lima tahun yang menyiksa. Aku tidak melupakannya, melainkan melepaskannya dari keinginanku untuk memilikinya.

***