"Apa ada siswa yang bapak lewatkan?" tanya Pak Hermanus, usai mengabsen para siswa-siswi baru.
"Ada, Pak!" sahut Reggina dengan begitu cepatnya.
Di meja guru sana, dengan dahi mengkerut, Pak Hermanus melempar tatap pada Regina. "Siapa?" tanya beliau kemudian.
"Kamal Hayat, Pak!" jawab Reggina, siswi yang duduk di sebelah Kamal.
"Yang mana satu yang namanya Kamal Hayat?" tanya Pak Hermanus lagi.
Kini Kamal yang menyajikan jawaban sambil mengangkat telunjuk tinggi-tinggi. "Saya, Pak!"
"O, kamu? Siswa baru, muka lama, ya?" ucap Pak Hermanus.
Sontak beberapa orang siswa tertawa-tawa. "Ha ha ha, ups!"
Kamal tahu, mereka semua hanya coba menggoda. Seperti biasa, Kamal hanya diam. Kamal yang mulai terbiasa dengan keadaan ini, tidak lagi mempermasalahkannya.
Siswa-siswa masih tertawa-tawa, sedangkan Pak Hermanus hanya mengutas satu senyum simpul. Bersamaan dengan itu, Pak Hermanus menggerak-gerakkan bolpoinnya pada buku yang ada di hadapannya. Lalu, tidak berapa lama kemudian, beliau pun memulai mata pelajaran yang akan ia ajarkan.
Pak Hermanus Soebagja adalah guru yang kesekian saat melakukan absensi kehadiran siswa, melewatkan nama Kamal. Kamal sedikit heran, entah apa penyebabnya sehingga namanya belum terdaftar dalam daftar siswa-siswi baru di buku absensi para guru. Padahal, Kamal sudah melakukan daftar dan daftar ulang, sebagaimana yang dilakukan oleh para calon siswa baru di tahun ajaran baru ini.
Sedangkan Reggina Crull, dia adalah seorang siswi yang sangat banyak membantu perkara absensi. Reggina begitu vokal ketika nama Kamal terlewatkan oleh guru-guru yang masuk ke kelas mereka.
Bahkan, ketika Kamal sudah diabsen sekalipun, terkadang Reggina akan memperjelas, bertanya kepada guru apakah Kamal sudah masuk dalam buku absensi mereka atau belum.
Reggina, selain beda agama, dia dan Kamal juga berasal dari desa yang berbeda. Mereka baru saling kenal di sekolah ini. Itupun karena bangku mereka bersebelahan. Reggina hanya teman sekelas, tetapi perhatian serta kepedulian yang ia berikan, Kamal belum pernah mendapatkannya dari siapapun.
Bagi Kamal, Reggina sangat istimewa.
Hari berganti, kebersamaan mereka pun semakin erat.
Seiring berjalannya waktu, Kamal dan Reggina semakin membuka diri. Reggina yang belakangan Kamal ketahui sebagai putri tunggal di keluarganya, semakin ke sini, semakin dihormati sekaligus disukai oleh Kamal.
Selain berkepribadian baik lagi menarik, Reggina juga adalah seorang siswi yang memiliki otak encer. Untuk masalah yang terakhir ini, Kamal dan Reggina bersaing ketat.
***
"Sebagai wali kelas kalian, bapak sangat bangga dengan prestasi yang kamu capai, Kamal," puji Pak Bahamid, wali kelas 7-8, beberapa hari setelah ulangan semester ganjil usai digelar.
"Terima kasih, Pak," sahut Kamal. "Tapi maaf, Pak, boleh saya tau, kenapa saya disuruh menghadap ke sini?" tanya Kamal kemudian.
Pak Bahamid memulainya dengan derai tawa-tawa. "Ha ha ha, bapak suka dengan feeling-mu, Kamal. Iya, memang, bapak panggil kalian di sini, untuk membuktikan sesuatu."
Kalian? Kalian siapa yang beliau maksudkan? Untuk membuktikan sesuatu, membuktikan apa? Kamal bertanya-tanya dalam hati.
Sampai di sini, ada rasa was-was bermekaran di dada Kamal. Tidak angin, tidak ada hujan, tiba-tiba saja diminta datang menghadap di ruang guru, ini cukup mencemaskan, kesalahan apa yang sudah diperbuat?
Sampai di sini, Kamal mulai cemas akan kembali dikeluarkan dari sekolah ini.
Tidak berapa lama kemudian, Pak Bahamid menyodorkan beberapa lembar kertas, meletakkannya di hadapan Kamal. Kamal mengernyit. Apakah ini permasalahannya? Kembali Kamal bertanya-tanya dalam hati.
"Bapak yakin kamu bisa. Waktumu seperti biasa, tiga puluh menit," ucap Pak Bahamid.
Kamal mengamati isi kertasnya. Ini soal-soal ulangan semester ganjil kemarin lalu. Beliau meminta untuk dikerjakan kembali? Kenapa?
"Banyak yang meragukan kamu, Kamal," bisik Pak Bahamid kemudian. "Sekarang kesempatan kamu untuk memupus semua keraguan itu. Ayo buktikan!" tambah beliau sembari menepuk pundak Kamal.
Lalu, Pak Bahamid beredar ke salah satu sudut ruangan, duduk bergabung dengan guru-guru lain yang juga kebetulan tengah berada di sini. Salah satu di antara guru-guru ini dia adalah Bu Sri Mariani, sang guru Bimbingan Konseling.
Saat Kamal coba memperjelas situasi, Kamal dapati, selain dirinya, ternyata Reggina pun ada di ruangan ini. Reggina duduk terpisah jauh di sana.
Tanpa Kamal ketahui, Reggina pun tengah mendapatkan kertas yang sama.
Yang tengah Kamal dan Reggina hadapi ini adalah soal-soal ulangan Matematika. Soalnya sama persis dengan yang mereka dapatkan saat ulangan semester ganjil berapa hari yang lalu.
Lima belasan menit kemudian.
"Sudah, Pak!" ucap Kamal. Sontak para guru menolehi Kamal. "Ini, mau diantar ke mana, Pak?" tanya Kamal kemudian.
"Tiga belas menit? Cek cek cek, wow! Kalian lihat sendiri, 'kan bagaimana kecepatan berpikir murid saya yang satu ini?" decak Pak Bahamid sambil melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. Beliau tampak semringah di hadapan teman-teman gurunya.
"Diperiksa dulu," sela Pak Amir Machmud, guru Biologi, salah satu mata pelajaran yang sangat digemari Kamal. Beliau mengedipkan mata. Kamal membalasnya dengan senyum simpul.
"Tentu, tentu," ucap Pak Bahamid.
Lalu, Pak Bahamid beringsut ke arah Kamal. "Sekarang kamu boleh keluar," pinta Pak Bahamid sambil menjumput kertas yang ada di hadapan Kamal.
"Terima kasih, Pak," balas Kamal, lalu berdiri dari tempat duduknya.
"Sama-sama," balas Pak Bahamid juga.
****
"Kamal! Tunggu saya, Kamal!"
Kamal sudah menjauh dari ruang guru kala terdengar suara Reggina memanggil. Kamal menjeda langkah.
"Ke kantin, yuk!" ajak Reggina.
Ke kantin? Seumur-umur Kamal belum pernah menjejakkan kaki di kantin. Bukan karena alergi atau semacamnya, tetapi Kamal adalah salah satu siswa yang tidak pernah membawa uang jajan ke sekolah.
"Maaf, Reggina, saya ...."
"Ayok!" potong Reggina sambil merebut pergelangan tangan Kamal. "Jangan maaf terus! Saya yang traktir," tambah Reggina sembari membuka langkah.
"Tolong, tangannya," ucap Kamal.
"Oh, ups, maaf," balas Reggina tersipu-sipu.
"Terima kasih, ya, Reggina atas bantuan kamu selama ini," ucap Kamal dengan nada yang sangat terukur.
Reggina mengernyit. Kamal dan Reggina sudah berada di kantin sekolah. Kebetulan suasananya sedang lengang. Reggina melepaskan sedotan yang baru saja ia selipkan di antara bibirnya yang tipis, lalu menatap Kamal.
"Maaf, Kamal," ucap Reggina kemudian. "Saya kurang jelas dengan apa yang kamu bicarakan," tambah Reggina.
Kamal yang duduk tepat di hadapan Reggina, buru-buru menggeser pandang sedikit lebih ke samping. Kamal sedikit gugup. Setelah sekian lama menjadi teman satu kelas, ini adalah yang pertama kalinya Kamal mendapatkan sedikit keberanian untuk menyampaikan ucapan terima kasih secara langsung di hadapan Reggina.
"Kalau dihitung-hitung, banyak, Reggina. Kamu sudah sangat banyak membantu saya. Es, ini misalnya. Kalau bukan karena kamu ...."
"Lho ... kok, kamu hitung-hitungan kayak gitu, sih?" potong Reggina. "Kecuali kamu tidak lagi menganggap saya sebagai teman kamu."
Kamal terdiam, tidak mampu mendebat Reggina.
Hari berganti, waktu penerimaan buku Rapor pun tiba. Lagi-lagi, Kamal dan Reggina menjadi pusat perhatian teman-teman. Nilai kepandaian mereka nyaris sama, hanya dibedakan oleh Koma.
Reggina peringkat satu, sedangkan Kamal berada di peringkat dua. Reggina mengalahkan Kamal di bagian ekstra kokorikuler.
Selain itu, nilai kepandaian mereka tidak ada yang menandinginya di sekolah ini. Kata Pak Bahamid, mereka berdua adalah pemecah rekor nilai terbaik untuk semester ganjil kelas 7 di sepanjang sejarah sekolah ini.
Pak Bahamid sangat bangga. Pada kesempatan kali ini, beliau menyampaikan kenapa Kamal dan Reggina diminta untuk mengerjakan kembali tugas ulangan semester yang sudah mereka kerjakan. Ternyata alasannya adalah karena nilai pertama mereka, sama persis, sama-sama 100. Saat diminta untuk mengulanginya, nilai mereka tetap sama, yaitu 100.
Hari berganti. Tidak terasa, waktu telah menggiring Kamal hingga sejauh ini.
"Ma, kami sudah selesai pengumuman. Saya lulus, Ma." Pulang-pulang seusai pengumuman kelulusan SMP, Kamal langsung menyampaikan kabar gembira ini pada mamanya.
"Alhamdulillah ...." Bu Senia begitu berbinar-binar.
"Setelah ini, saya masih bisa lanjutkah, Ma?"
Sejarah kembali berulang. Sampai di sini, perlahan wajah Bu Senia berangsur-angsur muram. Kamal yang langsung tanggap dengan perubahan air muka ibunya, tidak dapat menyembunyikan rasa sedih. Akan tetapi, Kamal bisa apa selain berusaha keras untuk menutupi debur pilunya?