"Itu orangnya, Tante!" ujar salah satu dari empat orang anak usia Sekolah Dasar sambil mengarahkan telunjuk pada Kamal.
Merasa sedang dibicarakan, Kamal yang hendak menuju ladang, sontak menjeda langkah.
"Itu, ya?" balas lawan bicara anak barusan. "Terima kasih, ya, adek-adek!" tambah gadis berpenampilan menarik, yang tidak lain adalah Mikayla. Seorang gadis kuliahan dari kota, yang tengah melakukan Kuliah Kerja Nyata di daerah sini.
"Sama-sama, Tante," balas anak barusan.
Sesaat kemudian, Mikayla merogoh tas kecil yang tersampir di pundaknya, mengeluarkan beberapa lembar uang kertas, lalu membagikannya kepada empat orang anak tersebut. Masing-masing anak mendapatkan satu lembar uang kertas senilai lima puluh ribu rupiah.
"Nih, buat jajan adek-adek!" ujar Mikayla.
Sigap para anak tersebut menyambut bagian mereka masing-masing. Sedetik setelah itu, kompak mereka berjingkrak-jingkrak kegirangan.
"Hore ... dapat uang, dapat uang!"
Anak-anak ini benar-benar gembira. Itu bisa dilihat dari bagaimana mereka menari-tari sambil memamerkan uang yang ada di tangan masing-masing. Saking gembiranya, mereka sampai abai pada Mikayla, si pemberi uang.
Tidak berapa lama kemudian, salah satu dari anak tersebut tiba-tiba terdiam, lalu berucap, "Teman-teman, kita belum bilang terima kasih, bukan?"
Ucapan si anak berhasil menghentikan euforia ke-tiga temannya. Kini mereka terdiam dalam posisi saling pandang. Sesaat setelah itu, barulah mereka beramai-ramai beralih pada Mikayla, lalu kompak mengucap, "Terima kasih, Tante!"
Mikayla menyunggingkan senyum, manis. Lalu, membalas dengan ramah, "Sama-sama, adek-adek."
Tidak berapa lama kemudian, anak-anak itu pun berlalu dengan wajah riang gembira, meninggalkan Mikayla yang kini mematung di tempatnya.
Lima puluh ribu rupiah per anak, siapa yang tidak gembira? Bahkan Kamal sekalipun pasti akan merasakan hal yang sama jika ketiban rezeki nomplok seperti itu. Ini pedesaan, uang sebegitu besar, butuh waktu dan tenaga yang tidak sedikit untuk mendapatkannya. Kamal hanyut sendiri dengan lamunannya.
Setelah itu, Kamal membagi pandang. Sesaat pada punggung sekumpulan anak-anak yang kian menjauh di sana, lalu beralih pada 'si wanita asing'. Siapa wanita ini? Kamal bertanya-tanya dalam hati.
"Mas Kamal, ya?" Mikayla sudah berdiri tepat di hadapan Kamal.
"Um, iya, betul," sahut Kamal. "Ada apa, ya?"
"Perkenalkan, nama aku Mikayla," ujar Mikayla sambil menjulurkan tangan.
"Mikayla, ya? Ada yang bisa saya bantu?" balas Kamal.
Kamal membalas ucapan Mikayla, tapi tidak untuk uluran tangannya. Sedangkan Mikayla, merasa uluran tangannya diabaikan, sesaat kemudian, ia menjatuhkan tangan dengan wajah muram. Mikayla sedikit kecewa
"Boleh kita bicara sebentar?" tanya Mikayla kemudian.
"Bukankah saat ini kamu sedang bicara?" balas Kamal, datar dan dingin.
"He he he, iya, benar." Mikayla terkekeh kecil. Sumbang. "Di sini terik. Maksud aku, kita ke bawah pohon sana," tambah Mikayla sembari mengarahkan telunjuk ke sebatang pohon tepi jalan yang daunnya cukup rimbun.
Kamal mengarahkan pandang searah telunjuk Mikayla, tetapi hanya sebatas melirik. Setelah itu, Kamal diam.
Sedangkan Mikayla, ia mulai mengayun langkah menuju pohon yang dimaksud. Merasa ada yang penting, Kamal membayangi Mikayla.
"Apakah kamu sedang terburu-buru?" Mikayla langsung membuka percakapan.
"Kami orang desa memang selalu begitu," jawab Kamal dengan nada yang tidak bersahabat. Kamal sengaja memberi kesan tidak bersahabat dengan harapan Mikayla akan segera 'to the point', atau membiarkannya pergi.
"Baiklah," ujar Mikayla. "Aku tidak akan lama-lama menahan kamu," tambah Mikayla. Kamal mendiamkannya.
"Jadi begini, Mas," ujar Mikayla lagi. "Aku mahasiswi yang lagi KKN di desa sebelah. Aku tidak sendirian, kami ada beberapa orang. Kami numpang nginap di rumah pak Stefanus, kakeknya Reggina. Kabarnya, Mas temannya Reggina, ya? Aku juga teman kuliahnya Reggina, tapi dia tidak KKN di sini."
Reggina? Diam-diam Kamal mengernyit. Semenjak kelulusan SMA, Reggina yang diboyong oleh orang tuanya ke kota, tak pernah lagi berkabar. Mendengar namanya disebut, ada rasa gembira sekaligus sedih dalam dada Kamal. Kamal berpikir, andai dirinya seberuntung mereka, mungkin saat ini Kamal juga tengah mengenakan jas almamater seperti Mikayla.
"Aku butuh bantuan kamu, semoga kamu tidak keberatan!" Mikayla menyela lamunan Kamal.
"Bantuan? Bantuan apa yang kamu maksudkan, Nona?" tanya Kamal.
"Jadi, begini, Mas," sahut Mikayla. "Kabarnya, di kampung kalian ini ada sekelompok orang yang jika di daerah Sumatera sana, mereka menyebutnya orang Bunian."
"Tunggu dulu." Kamal meminta jeda. "Kamu bilang apa barusan? Bunian?"
"Iya, Bunian," sahut Mikayla. "Kamu bisa membantu aku untuk menemui mereka? Maksud aku, aku berniat untuk menghimpun data tentang keberadaan mereka, jika mereka benar-benar nyata adanya."
"Maaf, Nona." Kamal merasa dibingungkan dengan ucapan Mikayla. "Tolong jelaskan dulu, Bunian itu apa?"
"Bunian itu sebangsa Jin yang menyerupai manusia biasa. Kabarnya orang begitu, ada juga di kampung kalian ini," papar Mikayla.
"'Ngawur' ini perempuan!" batin Kamal sambil mendelik, menatap tajam Mikayla.
"Kenapa kamu tatap aku seperti itu, Mas?" tanya Mikayla. "Apakah ada yang salah dengan ucapan aku?" Mikayla sedikit tersinggung dengan cara Kamal menatapnya.
"Kenapa kamu ingin cari mereka? Siapa yang suruh kamu?" selidik Kamal dengan nada penuh penekanan.
"Aku sudah bilang, aku berencana mengumpulkan data untuk melakukan riset tentang keberadaan mereka. Ini atas dasar kemauan aku sendiri," aku Mikayla.
Sekali lagi Kamal melesakkan tatapan, mencari jawaban lain dalam bola mata Mikayla.
Ditatap dengan sedemikian, Mikayla tak sanggup bersitatap dengan Kamal, buru-buru Mikayla membuang muka.
"Tolong, Mas! Jangan tatap aku seperti itu. Aku tidak punya niat apa-apa, kok, sumpah!" ujar Mikayla.
"Maaf, saya buru-buru," ujar Kamal. "Permisi!" tambah Kamal dan langsung membalikkan badan, lalu beredar dengan cepat.
"Kamal! Tunggu, Mas! Tolong tunggu sebentar, aku mohon!"
Mikayla coba mencegah, tetapi Kamal tidak mengindahkannya sama sekali. Kamal terus saja memacu langkah.
Sekira lima puluhan meter membelakangi Mikayla, barulah Kamal menoleh. Tampak oleh Kamal, Mikayla yang masih mematung sambil menatap dari sana. Sesaat kemudian, Kamal kembali melanjutkan langkah, gegas menuju ladang.
Setibanya di ladang, usai mengambil jeda sejenak, Kamal pun memulai aktivitas. Mengumpul lalu memecah-pecahkan bebatuan, membuatnya menjadi batu split. Setelah mengumpulkannya dalam jumlah yang cukup, batu pecah ini akan diangkut oleh Kamal menuju pinggir jalan raya di kampung, selanjutnya dicarikan pembeli.
Harga per kubik batu split ini, ianya tidak seberapa mahal, dan bahkan tidak sebanding dengan waktu dan tenaga yang dikeluarkan. Akan tetapi, bagi Kamal, cukuplah. Sebab dengan demikian, Kam sudah bisa mengambil alih tanggung jawab ayahnya pada keluarga.
Semenjak usai pengumuman kelulusan SMA empat tahunan lalu, beginilah adanya Kamal. Kerja serabutan demi mendapatkan sedikit rupiah. Bu Senia sudah berulang kali menyarankan Kamal untuk merantau, tetapi hingga saat ini Kamal belum ingin meninggalkan desa. Semula, Kamal berpikir, setelah menganggur setahunan, ia akan bisa mengumpulkan uang yang cukup untuk biaya kuliah. Namun, lisan nasib berkata lain.
Kenyataan kian mendera kala Mala menikah di tiga tahunan yang lalu. Tabiat asli suami Mala yang baru ketahuan setelah resmi menikahi Mala, kian memaksa Kamal untuk melupakan impiannya untuk kuliah.
Puncaknya, dua bulanan lalu, Muskidi, suami Mala, menceraikan Mala secara sepihak. Laki-laki itu pergi meninggalkan Mala dan anaknya yang baru berusia satu tahun lebih. Selain itu, saat ini Bu Senia bilang, Mala tengah hamil muda.
Sampai di sini, Kamal sangat bersyukur karena tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi. Sebab, sukar dibayangkan bagaimana jadinya Mala di ketika ini bila Kamal sedang menempuh pendidikan lalu tinggal di kota sana.
Siapa yang akan mengurusi Mala?
***
Astaga, perempuan itu?
Sore hari saat pulang ke rumah, kembali Kamal dikejutkan dengan adanya Mikayla. Dari kejauhan, tampak Mikayla, Mala, dan Shinta, putri Mala, tengah duduk santai di teras depan.
Sesaat kemudian, bahkan Bu Senia pun sudah bergabung dengan mereka.
"Mau apa perempuan itu di rumah kami?" gumam Kamal.