"Tolong duduk dulu!" Kamal sudah lebih dulu duduk bersila saat mempersilakan Mikayla untuk ikut mengambil tempat duduk. Mikayla panut, mengambil tempat sedikit di belakang Kamal.
Duduk diam.
Sesaat setelah itu, Kamal mengeluarkan tembakau bambu dari sakunya, lalu menggulung dua linting tembakau sekaligus. Kemudian, menyulut dua-duanya. Linting pertama, Kamal mengisapnya sendiri, sedangkan linting kedua, ia letakkan begitu saja di hadapannya.
Sesaat kemudian, sesuatu yang dalam sekilas pikir tidak masuk akal, terjadi di depan mata. Hanya dalam hitungan kedipan mata, linting tembakau yang ada di hadapan Kamal tinggal menyisakan abu. Padahal, linting yang ada di bibir Kamal sendiri, baru dua kali isap, baru ujungnya yang terlalap bara api.
"Terima kasih, Ama, Ina," ucap Kamal lega.
(Ama = Bapak, Ina = Ibu. Bahasa daerah setempat)
Setelah itu, Kamal bangkit dari duduknya, kemudian mengajak Mikayla untuk melanjutkan perjalanan.
Kamal juga lega karena setelah apa yang ia saksikan barusan, Mikayla tidak lagi banyak bicara. Menurut hemat Kamal, ini artinya Mikayla sudah percaya bahwa ada makhluk lain selain mereka di hutan ini. Sedangkan Mikayla sendiri, ia memang mulai percaya dengan apa yang diucapkan oleh Kamal.
"Kita sudah sampai. Di sebelah pohon itu kampungnya," ucap Kamal sambil menjulurkan telunjuk ke arah sebatang pohon Cendana yang ukuranya sangat mencolok.
Mikayla menjeda langkah, lalu meluruskan pandang searah dengan telunjuk Kamal. Lalu, diam hingga beberapa saat lamanya. Setelah itu, barulah Mikayla bertanya, "Yang mana satu pohonnya, Mas?"
"Itu, pohon yang tinggi sendiri," ucap Kamal lagi. Mikayla terdiam, Kamal menambahkan, "Sudah lihat?"
"Kok, hutan semua, Mas?" jawab Mikayla balas bertanya.
"Lha, memang hutan!" sambung Kamal.
"Lho! Bukannya kampung? Katanya, perkampungan? Lha, mana kampungnya?" cecar Mikayla.
"Iya, memang kampung, kok! Tapi sekitar lima ratusan meter lagi baru kita sampai di perkampungannya," terang Kamal.
"Yah ... masih jauh, dong," gumam Mikayla. "Istirahat dulu, Mas, ya!" Sampai di sini, Mikayla mulai kurang bersemangat.
Kamal tidak menimpali, Mikayla buru-buru menjatuhkan bokong, duduk bersandar pada pohon yang berada di sampingnya.
"Mas!" sapa Mikayla kemudian. "Rokoknya tadi itu, itu sesajen, bukan?" Mikayla sudah sejak tadi ingin menanyakan hal ini.
"Entah," jawab Kamal sekenanya. "Atau, iya, mungkin sesajen, tapi bukan seperti berhala yang banyak diperdebatkan oleh orang-orang."
Mikayla menatap Kamal. "Emang beda sesajen ama berhala?"
"Menurutku, beda," jawab Kamal. "Tadi saya tidak minta apa-apa, kok, selain jangan ada yang mempersulit perjalanan kita. Rokok itu hanya sebagai pelengkap dalam bermediasi, tidak lebih. Intinya, tidak perlu risau, saya juga sedikit ngerti apa itu berhala."
Mikayla terdiam. Ia malu sendiri saat sadar bahwa Kamal mengerti makna dibalik pertanyaannya.
Lalu, setelah merasa sudah cukup waktu beristirahat, Kamal mengajak Mikayla untuk melanjutkan perjalanan. "Kalau kamu tidak capek, kita lanjut, mumpung masih terang."
"Hum ... iya, deh! Tapi pelan-pelan saja jalannya, ya, Mas! Udah mau copot, nih, tulang-tulang aku," rengek Mikayla. Kamal tak menimpali.
"Ayok!" Mikayla sudah mengambil ancang-ancang.
"Tunggu dulu!" Kamal merasa masih ada yang perlu dibicarakan. "Biar saya jelaskan dulu apa yang boleh, dan apa yang tidak boleh kita lakukan selama kita berada di sini. Demi keselamatan kita, tolong dicerna, dan dipahami baik-baik. Jangan seperti di belakang tadi, bisa?"
"Tentu, Mas," sahut Mikayla. "Maaf, tadi aku terlalu bersemangat." Mikayla mulai menyesali apa yang ia lakukan di belakang barusan tadi.
"Iya, tidak apa-apa," balas Kamal. Setelah itu, barulah Kamal menjabarkan pemantang-pemantang yang tidak boleh dilanggar. Sedang Kamal menerangkan panjang lebar, Mikayla diam menyimak. Kamal suka, Mikayla tidak mendebat, tidak pula bertanya atau sekadar menyela.
"Bisa, 'kan?" Kamal memperjelas di penghujung tuturnya.
"Iya, Mas, insya Allah, bisa," sahut Mikayla. "Tapi Mas tidak akan meninggalkan aku seperti tadi lagi, kan?"
Kamal mengernyit. "Kamu mulai meragukan saya?"
"Aku hanya ingin memastikan!" balas Mikayla.
"Kamu ingin memastikan apa? Apa sekarang saya terlihat seperti orang yang akan menjahati kamu?"
"Manalah tau, 'kan, Mas? Siapa tahu saja kamu akan menjadikan aku sebagai tumbal."
"Astaghfirullah, Mikayla? Ha ha ha." Untuk pertama kalinya Kamal bisa tertawa-tawa di hadapan Mikayla. "Kamu tidak boleh berburuk sangka begitu, Mikayla! Kami ini orang desa. Harga diri kami lebih bernilai daripada nyawa kami sendiri."
"Sekali kami bersedia melindungi seseorang, hanya kematianlah yang bisa mengehentikan kami."
"Saya sudah menyanggupi melindungi kamu selama kamu berada dalam perjalanan ini. Saya tidak ingin membual di hadapan kamu. Tapi percaya pada saya, yang di atas sana menjadi saksi atas apa yang saya ucapkan. Apalagi, mama yang minta saya untuk jagain kamu." Kamal menegaskan sikapnya.
"Maaf, Mas, aku tidak bermaksud." Mikayla sambil menundukkan wajah.
"Sudah, tidak apa-apa," ujar Kamal. "Terus, ini bagaimana, mau lanjut, atau pulang?"
Kamal berhasil menggoda Mikayla. Sebab bersamaan dengan itu, Mikayla langsung mengangkat wajah seraya mengucap dengan intonasi melaju. Kata Mikayla, "Nggak, Mas, nggak! Kita tetep lanjut. Kita udah nyampe, kok!"
"Ya, sudah, ayo jalan kalau gitu!" sambung Kamal.
"Oke!" ujar Mikayla juga.
Suasananya sudah lebih baik dari sebelumnya, Kamal mulai tenang. Begitupula dengan Mikayla, ia semakin yakin bahwa Kamal akan melindunginya. Setelah itu, mereka pun melanjutkan langkah.
"Jangan lupa bersalam." Kamal menyempatkan diri berbisik serius sebelum mendahului Mikayla. "Tabea, Ama, Ina." (Baca : Permisi, Bapak, Ibu) "Saya sama teman saya ini, izin bertamu. Tolong diterima. Maksud kedatangan kami untuk hal-hal yang baik saja," ucap Kamal dengan intonasi yang jelas.
Kali ini Kamal sengaja mengucap dengan intonasi yang jelas, berharap Mikayla akan mendengarnya. Sesaat setelah itu, ia pun membuka langkah.
Kamal sudah melangkah lima atau enam langkah, membelakangi pohon Cendana barusan, tetapi Mikayla belum membuka langkah. Menyadari itu, Kamal menoleh.
"Lho? Tunggu apa?" tanya Kamal serius.
"Anu, Mas," sahut Mikayla. "Bagaimana lafal salamnya barusan?" Hal inilah yang memasung langkah Mikayla.
Kamal diam sejenak, lalu beringsut menghampiri Mikayla. "Kamu bersalam sajalah. Bersalam saja sesuai keyakinan yang kamu anut," cetus Kamal.
Mikayla merengut. "Aku juga seorang muslim, Mas! Masa' Mas nggak tahu, sih?"
"Ya, sudah!" sambung Kamal. "Ucapkan saja assalamu'alaikum."
"Assalamu'alaikum. Aku, Mikayla, izin bertamu, mohon diterima, jangan dipersulit."
Jangan dipersulit? Diam-diam Kamal tersenyum.
"Ayok, Mas!" seru Mikayla.
Kali ini, Mikayla mendahului Kamal. Tidak berapa lama kemudian, mereka sudah meninggalkan area hutan belantara. Tiba di sini, Mikayla terheran-heran.
"Kok, di sini ada jalan raya?" gumam Mikayla sembari melempar pandang jauh ke ujung sana.
Kamal tak menimpalinya. Kemarin Kamal sudah memberi tahu Mikayla bahwa ada jalan lama yang membelah kampung misterius ini. Memang jalannya dipenuhi semak liar, tetapi masih bisa dikenali jika ini adalah jalan raya.
"Masih jauh perkampungannya, Mas?" tanya Mikayla kemudian. Kamal tak menyahutinya, Mikayla mengulang dengan nada yang sedikit lebih tinggi. "Mas ... !"
Kali ini Kamal menjeda langkah, lalu menatap Mikayla. "Mikayla!" ucap Kamal, "kita sudah sepakat untuk tidak membahas hal yang tidak perlu dibahas. Saya sudah bilang, di sinilah kampungnya! Lalu, apa lagi yang perlu saya jelaskan?"
"Tapi, Mas?" balas Mikayla.
Kembali Kamal menatap lekat Mikayla. Dari sorot matanya, Kamal tahu jika Mikayla butuh penjelasan lebih. Akan tetapi, Kamal mengabaikannya. Setelah itu, Kamal kembali melangkah.
"Mas! Tungguin, dong, Mas ... !" Mikayla yang berada beberapa langkah di belakang Kamal, mulai melakukan protes. Akan tetapi, Kamal benar-benar tak mengindahkannya, dah terus saja melangkah. Kesal, tetapi Mikayla tidak punya pilihan selain terus melangkah sambil menggerutu.
Hari sudah sore. Sekira lima puluhan meter kemudian, tepat di simpang empat yang juga hanya berupa jalan raya yang ditumbuhi rumputan liar, barulah Kamal menjeda langkah.
"Alhamdulillah," gumam Kamal. Akhirnya ketemu juga apa yang ia cari.
Di sini, di salah satu sisi jalan raya, tampak sebuah kios kecil tak berdinding dan hanya menggunakan atap berbahankan anyaman daun alang-alang. Ada pisang yang menggantung di kios kecil ini. Akan tetapi, kios ini tidak ada orang yang menungguinya.
"Kenapa, Mas?" tanya Mikayla yang sudah berdiri di samping Kamal.
"Ayok, mampir!" Kamal langsung beringsut ke kios-kiosan ini, sedangkan Mikayla hanya mematung di tempatnya. "Ayo, sini!"
Setelah diyakinkan oleh Kamal, barulah Mikayla menurut.
"Kamu punya uang receh?" tanya Kamal.
"Buat?"
"Beli pisang ini," sahut Kamal.
Mikayla tak berkedip menatap Kamal. Mikayla tidak mengerti dengan apa yang diucapkan oleh Kamal. Mikayla diam tanpa kata. Mendapati itu, Kamal merogoh saku, mencari-cari pecahan uang yang ada dalam sakunya. Kebetulan sekali, Kamal membawa sedikit uang.
Lalu, Kamal memamerkan dua lembar uang kertas, masing-masing bernilai dua ribu, dan lima puluh ribu rupiah.
"Lihat!" pinta Kamal. "Kamu bisa mendokumentasikan ini," tambahnya serius.
Sesaat kemudian, Kamal meraih satu sisir pisang yang menggantung di kios yang tak ada penjualnya ini.
"Permisi, Ama, Ina! beli pisangnya satu sisir," ucap Kamal sembari meletakkan uang kertas senilai dua ribu rupiah, ke para-para kios.
(para-para = lantai menggantung)
Satu detik, dua detik, hingga beberapa saat kemudian, uangnya tidak bergerak. Setelah itu, Kamal menukarnya dengan uang lima puluh ribu rupiah.
Hanya dalam sekejap, uang lima puluh ribuan itu langsung menghilang. Lalu, tidak berapa lama kemudian, terlihatlah uang lainnya yang entah muncul dari mana, tetapi itulah uang kembalian milik Kamal. Kamal menjumput, lalu menghitungnya.
Empat puluh empat ribu rupiah, itu artinya pisangnya seharga enam ribu rupiah.
"Terima kasih, Ama, Ina!" ucap Kamal.
Seperti barusan, tidak ada yang menyahut, tetapi Kamal yakin, orang gelap penghuni kampung ini mendengar ucapan Kamal. Setelah itu, mereka pun beredar.
Sekira tiga puluhan meter menjauh dari kios barusan, Mikayla merebut tangan Kamal. Mikayla sudah tidak sabar ingin bertanya. "Mas," kata Mikayla, "apakah kios tadi ada orangnya?"
Kamal menjawab, "Kita sudah berada di tengah kampung, di kiri dan kanan kita ini ada banyak orang. Mereka melihat kita, tetapi kita tidak bisa melihat mereka."
"Ih, ngeri, Mas! Ini memang seperti cerita orang Bunian."
Orang Bunian? Sontak Kamal memutar wajah, lalu menatap tajam Mikayla.
"Mikayla," desis Kamal dengan nada penuh penekanan. "Berapa kali harus saya bilang, jangan bicara sembarangan! Kamu ngerti bahasa, tidak, sih?"