Chereads / Kamal Hayat / Chapter 11 - Kelepasan

Chapter 11 - Kelepasan

Baki berisi cangkir dan ceret air yang melayang di udara dengan sendirinya, hal itulah yang membuat Mikayla membenamkan wajah di dada Kamal.

"Sudah, tidak apa-apa," bisik Kamal sambil mengelus pelan punggung Mikayla. "Itu yang punya rumah, kok," tambah Kamal coba menenangkan Mikayla.

Mikayla terdiam. Ia masih coba menenangkan dirinya sendiri. Beberapa saat kemudian, diam-diam Mikayla mengintip baki yang melayang di udara barusan. Baki tersebut sudah berada di samping mereka. Perlahan Mikayla menarik wajah.

"Ini memang begini," ucap Kamal lagi. "Intinya, seperti yang saya katakan sejak awal, kita hanya bisa merasakan keberadaan mereka, tapi tidak bisa melihatnya. Tapi biarpun begitu, mereka ini manusia biasa seperti kita, jadi berlakulah sebagaimana mestinya. Kalau mereka berkenan, mereka akan berbicara dengan kita."

Mikayla menatap Kamal, lalu mendeham kecil. Dia tidak berkata-kata, tetapi ketika Kamal menuang segelas air putih untuknya, Mikayla memberanikan diri untuk meminumnya.

"Aman aja, rupanya," batin Mikayla.

Sekira satu jam kemudian, kembali mereka disuguhkan pemandangan yang hampir sama. Baki berisi keranjang nasi dan lauk pauk melayang menghampirinya mereka. 

Mereka tidak melihat ada siapa-siapa yang membawanya, tetapi mereka bisa mendengar dengan jelas bunyi lantai seiring baki melayang setinggi pinggang orang dewasa tersebut. 

Lalu, ketika sang empunya rumah mengajak Kamal berbicara dengan menggunakan bahasa setempat, meskipun hanya suara mereka saja yang bisa terdengar, pada akhirnya Mikayla sudah bisa sedikit tenang.

Mikayla bahkan sudah lebih dari sekadar tenang. Ia ikut mengucapkan terima kasih meskipun tidak ada sesiapa yang menyahutinya. 

***

Pagi-pagi sekali Kamal dan Mikayla sudah berkemas dan bersiap untuk pamit. Kali ini Kamal yang mengambil alih semuanya. Dari mohon pamit hingga mengucapkan terima kasih pada empunya rumah, Kamal yang melakukannya. 

Setelah itu, Kamal berencana membawa Mikayla ke ujung kampung. Menurut informasi yang pernah didengar oleh Kamal, di ujung kampung Orang Gelap ini ada sebuah pasar tradisional.

Tidak berapa lama kemudian, mereka sudah menatap jalan raya. Sampai di sini, Mikayla belum puas dengan apa yang ia saksikan. 

"Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan, otak kita tidak akan mampu menalar bagaimana sampai bisa. Kapan-kapan nanti saya jelaskan," ujar Kamal. 

"Mas ini ternyata tidak kalah ajaibnya dengan kampung gaib ini," gumam Mikayla.

"Ha ha ha. Mikayla ... Mikayla! Saya ini manusia biasa seperti kamu. Kok, ajaib, sih?" Kamal coba mengurai kekusutan pikiran Mikayla. "Ayo, di pasar kamu bisa mendapatkan banyak hal. Yuk! Mumpung matahari belum terlalu panas."

"Bantuin, ya!"

"Iya, tentu!" sahut Kamal.

Mereka pun mengayun langkah. Di sini, barulah terlihat dengan jelas. Di kiri dan kanan jalan raya yang lebih mirip jalan setapak, hanya ada semak belukar, juga pepohonan dengan aneka rupa dan ukuran. Tidak ada satu rumah penduduk pun yang terlihat. Jika pun ada satu dua yang berdiri di tepi jalan raya, itu hanyalah kios-kios khas pedalaman.

Bentuk kiosnya sama, tembus pandang dan hanya menjajakan aneka hasil bumi, yang didominasi oleh buah-buahan. Buah pisanglah yang paling dominan.

Pun, tiba jugalah mereka di suatu lokasi yang bernama pasar. Sampai di sini, pada akhirnya mereka bisa berjumpa dengan manusia biasa pada umumnya. Kondisinya tidak ramai, tetapi pasar yang berada di ujung kampung ini, tetap ada kegiatan jual beli.

Pasar ini adalah pasar yang sangat-sangat tradisional, yang mana bangunannya hanya berupa dua puluhan gubuk kecil tanpa dinding dan beratapkan anyaman daun Alang-Alang, dan sebagiannya anyaman daun kelapa. 

Barang-barang yang dijajakan pun hanyalah hasil bumi seperti Jagung, Ubi Kayu, Beras Merah yang biasanya ditanam di ladang, bukan sawah karena tidak ada sawah di daerah ini. Aneka buah-buahan, serta sayur-mayur. Tidak ada lagi selain itu.

Cara jual-belinya pun sangat unik, dan mungkin tidak akan ditemukan di daerah lain. Inilah yang ingin ditunjukkan Kamal pada Mikayla, selain untuk membuktikan sendiri apa-apa yang selama ini hanya pernah ia dengar dari cerita orang-orang.

"Tunggu sebentar, biar saya cari orang yang bisa kamu wawancarai," cetus Kamal.

Mikayla mengangguk, Kamal beredar mencari seseorang. Mikayla sedang beruntung. Sebab tidak seberapa lama kemudian, Kamal sudah menemukan seseorang yang bersedia menjadi narasumber bagi Mikayla. 

Meskipun begitu, ini tidak gratis. Kamal memberi sejumlah uang kepada pria lima puluhan yang bersedia diwawancarai ini. Memang tidak besar, hanya lima puluh ribu rupiah, sekadar untuk pembeli rokok si bapak.

Pun, sedang Mikayla melakukan tanya-tanya, Kamal beredar mencari tempat bernaung di bawah pohon.

Satu jam kemudian.

"Sudah, Mas!" Mikayla membuyarkan lamunan Kamal.

"Sudah, ya? Apa yang kamu dapatkan?" 

"Unik, Mas," sahut Mikayla. "Aku suka."

Mikayla menuturkan, barang dagangannya, ada, tetapi penjualnya tidak kasat mata. Penjualnya tidak kelihatan sama sekali, tetapi calon pembeli meyakini mereka ada. Patokannya, jika barang dagangannya ada, itu artinya orangnya juga ada.

Cara membeli dagangan mereka, calon pembeli bebas menentukan apa, dan berapa banyak barang yang hendak dibeli. 

Karena di sini hampir tidak ada dialog antara calon pembeli dan penjual, maka usai memilih barang yang hendak dibeli, calon pembeli akan meletakkan sejumlah uang di hadapannya. 

Jika uangnya tidak menghilang, itu artinya harganya masih kurang dari barang yang akan dibeli. Maka harus ditambah sampai uang itu menghilang dari penglihatan.

Jika uang yang diletakkan pembeli melebihi harga barang yang akan dibeli, calon pembeli tidak perlu takut, karena penjualnya meskipun tidak terlihat dan tidak tersentuh, tetapi belum pernah ada kabar yang mengatakan bahwa mereka curang dalam berdagang. 

Berapapun jumlah uang kembalian calon pembeli, para pedagang itu akan mengangsurnya.

Di sini, calon pembeli tidak ada yang berlaku curang, atau coba mengambil dengan cara yang tidak benar. Karena ada kejadian seseorang menghilang, disembunyikan oleh orang gelap. Lama, baru dikembalikan. Itupun setelah keluarga orang yang disembunyikan itu datang minta maaf.

Para calon pembelinya di sini adalah penduduk dari desa sekitar. Rata-rata yang datang melakukan transaksi jual-beli adalah para Papalele. 

Papalele adalah sebutan untuk pedang yang membeli dagangan orang lain dalam jumlah besar, yang selanjutnya akan dijual kembali ke pedagang eceran di pasar-pasar.

"Para pedagang ini tidak kasat mata, atau tidak mau menampakkan diri pada orang lain, tetapi pada waktu yang bersamaan, mereka juga butuh uang. Lalu, untuk apa uang tersebut?"

"Itu yang belum tuntas terjawab hingga saat ini," jawab Mikayla. "Ada banyak versi untuk hal yang terakhir ini, tapi hanya berdasarkan asumsi pribadi orang-orang."

"Gitu, ya?" sambut Kamal.

"Menurutku, begitu," jawab Mikayla. "Oh, ya, Mas, apakah Orang Gelap ini tidak berbaur sama sekali dengan masyarakat umum? Seperti melakukan perkawinan dengan orang diluar bangsa mereka, misalnya?"

"Tadi kamu tidak tanyakan itu?" jawab Kamal balas bertanya.

"Tidak sempat," jawab Mikayla.

"Kabarnya ada, tapi jarang. Mungkin satu dari seribu," ucap Kamal juga. "Mungkin karena kabarnya, kalau mereka ini menikah dengan orang diluar dari bangsa mereka, mereka tidak akan pernah bisa kembali lagi ke tengah-tengah keluarganya." 

"Orang yang tidak menikah dengan sesama mereka, itu dianggap sudah keluar dari bangsa mereka. Hanya sebatas itu yang pernah saya dengar," papar Kamal panjang lebar.

Mikayla hanya sampai di situ. Setelah itu, dia mengajak Kamal untuk beredar.

"Sekarang bagaimana, apakah kita boleh pulang?"

"Tunggu dulu, Mas," sambung Mikayla sambil melangkah. "Mas bilang, di sini ada tempat wisata, ya?"

"Iya, ada," sahut Kamal, "kenapa?"

"Jalanannya tembus ke kota, 'kan?"

"Iya," sahut Kamal lagi.

"Bagaimana caranya untuk sampai ke sana?"

"Jalan kaki, bisa, naik mobil juga, bisa," jawab Kamal lagi.

"Mobil? Emang ada mobil yang ke sana?"

"Itu!" Kamal sambil melempar pandang ke arah pick up milik para pedagang.

"Bukan itu," sanggah Mikayla. "Tapi semacam angkutan umum gitu."

"Kabarnya ada, tapi kita harus jalan kaki sampai di jalan Provinsi sana."

"Jauh?" 

"Dengar-dengar, sih, sekitar satu kilometer dari sini."

"Jalan raya yang Mas maksud ini adalah jalan raya yang tembus ke kota juga, 'kan?"

"Kabarnya begitu" sahut Kamal lagi. "Ke kotamu, bisa, ke kota sebelah juga, tembus. Informasinya, tembus-menembus."

"Mas belum pernah ke sana?"

"Ke mana?" 

"Ke pantai wisata."

"O ... belum, belum pernah," jawab Kamal apa adanya. "Terus, ini kita mau ke mana?" tanya Kamal kemudian.

"Pantai." 

Sontak Kamal menghentikan langkah. "Tapi saya mau pulang, Mikayla!" ujar Kamal.

Kamal tidak mungkin ke tempat wisata, dia tidak punya uang yang cukup.

"Udah ... biar cuman semalam aja, deh, Mas. Setelah itu, Mas boleh pulang," bujuk Mikayla, Kamal terdiam. 

"Mau, Mas, ya!" Mikayla mulai memelas.

"Tapi kalau kita ke sana, pulangnya makin jauhlah, itu," ujar Kamal juga akhirnya.

"Ayolah, nggak usah mikirin itu." Kini Mikayla bahkan sudah merebut tangan Kamal. "Mas bisa bareng aku ke kota. Lepas tu, Mas bisa cari bus untuk pulang ke kampung, Mas. Iya, 'kan?"

"Ke kota?" gumam Kamal dengan kening mengerut.

"Sudah, ah!" potong Mikayla sambil mulai menuntun tangan Kamal. "Kelamaan di sini, bisa gosong, aku."

"Tapi ... ini tidak masuk dalam pembicaraan kita, lho, Mikayla."

Mikayla tak mengacuhkan. Ia terus saja menuntun Kamal.

****

Satu malam menginap di penginapan tepi pantai, Kamal dan Mikayla kelepasan. Mikayla mabuk berat, sedangkan Kamal, dia juga tidak tahan dengan godaan kecantikan Mikayla. 

Pada akhirnya, mereka melakukan sesuatu yang tidak seharusnya dilakukan. 

Kamal sangat menyesali apa yang telah mereka lakukan, tetapi semuanya sudah terlambat. 

Pagi sekira pukul lima, usai menulis pesan pada secarik kertas lalu meletakkannya dalam tas Mikayla, diam-diam Kamal meninggalkan kamar penginapan, lalu berjalan menuju pulang.

Saat Mikayla terjaga dari tidurnya, ia hanya mendapati kesunyian. "Tega kamu, Kamal, ya?" gumam Mikayla dengan mata berkaca-kaca.