"Apakah ada ucapan aku yang salah, Mas?"
Wanita ini masih bertanya? Kamal menyipit lalu mengucap dengan tenang. "Mikayla, dari kemarin saya sudah bilang, penduduk kampung ini bukan orang Bunian!"
"Lha, memang bukan!" balas Mikayla. "Aku, 'kan cuman bilang mirip. Emang, salah? Kok, Mas malahan ketus kayak gitu, sih?"
"Aduh, Mikayla ... ! Bagaimana kalau mereka dengar?"
"Dengar? Siapa yang Mas maksud? Bukan ada siapa-siapa di sini!" Mikayla sambil celingak-celinguk.
Sampai di sini, Kamal kembali kesulitan. Akan tetapi, demi kenyamanan mereka, Kamal berpikir, tidak ada pilihan lain selain bersabar.
"Tolong lihat itu, itu, dan itu!" Kamal sambil mengarahkan telunjuk tertekuk ke beberapa titik, ke kiri dan kanan jalan raya yang sudah lebih mirip dengan jalan setapak.
Telunjuk tertekuk.
Sudah menjadi adab, bagi sebagian besar warga setempat, tentang daerah-daerah mistis. Mereka tidak terbiasa meluruskan jari telunjuk, karena meluruskan telunjuk saat menunjuk ke sesuatu, ada yang beranggapan itu tidak sopan, atau tidak menghargai orang lain. Itulah yang tengah dipraktekkan oleh Kamal.
"Itu ada asap, ada nyala api. Di situ ada orangnya, Mikayla! Kita saja yang tidak bisa melihat keberadaan mereka. Jadi, tolong! Jangan asal bicara!"
"Mereka ini ... ah, sudah, sudah! Pokoknya, kamu tidak boleh asal bicara tentang mereka, jangan sampai mereka tersinggung, lalu mereka menawan kita di sini."
"Mau kamu seperti itu? Mau kamu seumur hidup tinggal di kampung ini?"
"Duh, Mas ... aku jangan ditakut-takutin, dong ... !" rengek Mikayla.
"Ya, Allah, Tuhan ... ! Kamu ini tidak ada ngerti-ngertinya, ya?" Kesabaran Kamal kian teruji. "Mikayla! Ini bukan perkara nakut-nakutin, tapi diingatkan! Saya harus bagaimana lagi, sih, Mikayla biar kamu bisa, ngerti?"
"Biar saya ulangi lagi! Penduduk kampung ini, hanya Mie Karorondo, Orang Gelap, orang yang tidak ada tapi ada, tapi bukan orang Bunian seperti yang kamu bilang. Mereka ini dari bangsa manusia, bukan Jin! Mereka hanya belum mau berbaur dengan masyarakat."
"Tolong, Mikayla! Jangan sampai penghuni kampung ini tidak sudi disamakan dengan bangsa Jin! Jadi, tolong jaga bicara dan sikap kita! Sudah paham, kamu?"
"Iya, deh, paham," sahut Mikayla.
Lagi-lagi Mikayla memasang mimik memelas, Kamal membuang muka. Dalam hati Kamal mengomel, apakah ini jurus andalan perempuan? Setiap kali mereka berbuat kesalahan akan memasang wajah mengiba seperti ini supaya mereka dimaafkan?
"Mas ... !" rengek Mikayla lagi. "Tolong aku dimaafin, dong ... !" Mikayla mulai merasa tidak nyaman dengan mimik wajah Kamal.
"Maaf, sih, maaf, Mikayla! Tapi apa artinya kata maaf kalau kali-kali, sebentar-sebentar, kamu sudah ulangi lagi!" Kamal sudah kelepasan.
Bersamaan dengan itu, Mikayla menaikkan kedua tangan, memegangi telinganya seraya mengucap, "Iya, deh ... aku janji, gak bakalan ngomong yang enggak-enggak lagi. Dimaafin, ya? Please ... !"
"Iya, tapi ingat! Ini yang terakhir!" Kamal pura-pura galak. "Kalau kamu masih seperti ayam petelur, kebanyakan berkotek yang tidak jelas, saya akan lepas tangan. Ingat itu!"
"Iya, iya ... ! Jangan galak-galak gitu, dong, Mas," sahut Mikayla. "Mas, 'kan udah janji jagain aku. Kok, lepas tangan, sih?" tambah Mikayla dengan wajah sendu.
"Hum!" deham Kamal.
Di sini, Kamal hanya bisa geleng-geleng kepala. Sampai di sini, akhirnya Kamal sadar, ternyata perempuan selalu punya seribu satu cara untuk menutupi kesalahan yang mereka lakukan. Kamal menyerah.
"Baiklah, ayo!" seru Kamal sembari membalikkan badan, dan langsung melanjutkan langkah.
Beberapa menit kemudian.
"Mas, tungguin, dong!" Mikayla mulai kelelahan.
Kamal menoleh. "Astaga!" ucap Kamal saat menyadari Mikayla berada jauh, sekira lima puluhan meter di belakang sana.
Pun Kamal, menjeda langkah sambil melirik-lirik ke sekeliling. Senja sudah sangat menua. Tidak akan lama lagi hari akan berganti gelap.
"Mau ke mana, sih, kita ini, Mas?" tanya Mikayla yang kini sudah berada tepat di samping Kamal. "Jauh lagi, nggak? Udah mau putus, nih."
"Hus!" sambut Kamal. "Jangan ngomong gitu, pamali!"
"Tapi, Mas, apa kita nggak istirahat dulu?" Mikayla sudah tidak bisa menyembunyikan letihnya.
Intonasi Mikayla semakin melemah, Kamal mulai tak sampai hati. "Bertahanlah! Seharusnya ini tidak jauh lagi. Kalau tidak salah, beberapa ratusan meter di depan sana rumahnya."
"Rumah?" ulang Mikayla.
Kembali Kamal kelepasan. Buru-buru pula ia meralat. "Iya," ucap Kamal. "Semacam rumah."
"Semacam rumah?" tiru Mikayla lagi.
Kamal tak mengindahkannya. "Ayo! Tahan-tahanlah sampai kita dapat tempat istirahat."
Sampai di sini, Kamal tidak lagi bisa memaksa Mikayla. Sebab sebagaimana Mikayla, Kamal pun sebenarnya sudah kelelahan.
Apalagi, sebenarnya Kamal hanya mengandalkan petunjuk berdasarkan cerita orang-orang yang pernah datang ke kampung ini. Kamal sendiri, baru pertama kali datang ke sini.
Setelah berjalan sekira dua puluhan menit, akhirnya ketemu juga apa yang Kamal cari.
"Di situ tempatnya," ucap Kamal lega. Semringah. "Semangat! Ayok ke sana!"
Kamal langsung mengambil haluan ke jalan setapak yang sejak tadi ia khayalkan. Setelah berjalan kaki sekira seratusan meter dari jalan raya, tibalah mereka pada sebuah rumah panggung.
Kondisi rumah ini, bagian depannya ada teras yang cukup lapang. Dari ciri-cirinya, sama persis dengan yang Kamal bayangkan.
Sepuluhan meter sebelum rumah yang dimaksud, Kamal menjeda langkah, sekadar ingin memastikan kondisi Mikayla.
"Kamu lihat itu?" tanya Kamal sambil menjiwai Mikayla.
"Apaan, Mas?" jawab Mikayla balas bertanya. Mikayla sudah berada di penghujung letihnya.
"Rumah itu." Kali ini Kamal sambil mengarahkan telunjuk tertekuk ke suatu arah.
"Rumah?" Mikayla menjeda kalimatnya sembari menatap jauh searah telunjuk Kamal. "Jangan candain aku mulu, deh, Mas! Aku ini letih, lho!" Mikayla tidak melihat adanya rumah yang dimaksud.
Kamal terdiam. Ini artinya Mikayla belum mendapatkan persetujuan dari empunya rumah. "Boleh saya sentuh mata kamu?" tanya Kamal.
"Untuk?" balas Mikayla.
"Permisi!" ucap Kamal sambil meletakkan tapak tangan ke mata Mikayla.
Bersamaan dengan itu, diam-diam Kamal melafazkan sesuatu yang hanya bisa didengar oleh telinganya sendiri.
Usai yang demikian, Kamal membebaskan mata Mikayla seraya berkata, "Bagaimana sekarang?"
Mikayla terkesiap. Beberapa saat kemudian ia mengangguk kecil. "Iya, kok, bisa, ya?"
"Ayok!" ucap Kamal sembari berancang-ancang untuk membuka langkah.
"Tunggu, Mas!" sela Mikayla.
Kamal menjeda langkah, menatap Mikayla, tetapi tidak berucap.
"Mas nggak ngerjain aku, 'kan?" Mikayla khawatir Kamal tengah semacam bermain sulap dengannya.
"Maksudnya?" balas Kamal dengan dahi mengkerut.
"Ini, real, 'kan? Bukan fantasi aku doang, 'kan? Yang ada ada cahaya lampu itu emang rumah, 'kan?" berondong beruntun Mikayla.
Spontan Kamal menggeleng-gelengkan kepala. "Sudah, ah!" ucap Kamal. "Ini bukan waktu yang tepat untuk bercanda. Ayok!" tambahnya sembari membalikkan badan, lalu memulai langkah.
Mikayla, tanpa kata mengekor di belakang Kamal.
Dua meteran dari tangga yang berada tepat, sejajar dengan pintu utama rumah, kembali Kamal mengingatkan Mikayla tentang apa-apa yang tidak boleh dilanggar selama berada di sini. Mikayla, mengangguk pasrah. Mikayla begitu tegang di saat ini.
Setelah itu, Kamal mengucap salam dengan menggunakan bahasa setempat. Mikayla hanya mematung sembari berdoa dalam hati. "Lindungi hamba-Mu ini, Tuhan-ku." Mikayla benar-benar tegang.
Tidak berapa lama kemudian, terdengarlah suara serak dari atas rumah.
"Fonimo!" ucap orang yang entah siapa dia. (Baca : Naiklah)
"Syukurlah! Orangnya mengizinkan kita untuk ginap di sini," ujar Kamal. "Ayok!"
"Tunggu, Mas!" seru Mikayla sambil merebut kain baju Kamal yang bagian belakang.
Kamal menjeda langkah. "Kenapa lagi, sih?"
"Ba-barengan, Mas," bisik Mikayla. Mikayla begitu gugup.
"Seharusnya kamu tidak perlu takut secara berlebihan begini. Saya sudah menjelaskan bagaimana keadaannya, bukan?" ucap Kamal.
"I-iya, Mas, tapi tolong jangan tinggalkan aku." Mikayla semakin keder. Mikayla yang berdiri di hadapan Kamal saat ini, bukan lagi Mikayla dua hari lalu yang begitu bersemangat untuk datang ke sini.
Kamal tersenyum kecil lalu mengucap, "Tidak usah cemas, ada saya di sini."
Mikayla mengangguk lemah. Lagi, Kamal tersenyum kecil, menjulurkan tangan seraya berucap, "Pegang tangan saya kalau kamu kurang yakin!"
Mikayla mendongak, menatap Kamal, tetapi hanya mematung. Kamal mengangguk, coba meyakinkan.
Sesaat kemudian, barulah Mikayla meraih pergelangan tangan Kamal. Setelah itu, mereka pun menapaki anak tangga, naik ke rumah.
Di dalam rumah panggung yang tinggi lantainya dari tanah mencapai tiga meteran, Kamal langsung duduk bersila. Sedangkan Mikayla, meskipun belum mengucap, tetapi dia mulai sedikit tenang. Ia duduk di samping Kamal.
"Jangan selonjoran, tidak sopan."
"Aku letih banget, Mas!" protes Mikayla.
"Iya, saya tau," ucap Kamal lagi. "Bentar baru kamu rebahan," tambahku masih dengan nada berbisik.
"Nggak apa-apalah gini, Mas," Mikayla bersikeras. "Belum ada orangnya juga."
"Ada, Mikayla ...."
"Jangan bercanda mulu, deh, Mas!" pangkas Mikayla. "Aku lagi capek, nih!"
"Lho, kok, bercanda, sih? Saya ...."
"Mas ... !" jerit tertahan Mikayla dan langsung menyergap Kamal, menyembunyikan wajah di dada Kamal "Apaan tuh, Ma---s?" tambahnya memelas ketakutan.