Chereads / Kamal Hayat / Chapter 8 - Hutan Larangan

Chapter 8 - Hutan Larangan

"Itu baru namanya perempuan, sudah cantik, terpelajar pula." 

Meskipun tengah mengambil jarak sambil menunggu Mikayla meninggalkan rumah, tapi sejak tadi diam-diam Kamal bermonolog, memuji kesempurnaan yang ada pada diri Mikayla. Dalam hati Kamal berkata, andai si Mikayla ini menjadi warga baru di desa ini, maka sudah barang tentu dia akan menjadi primadona desa. Selain cantik, Mikayla juga sangat mungkin berasal dari keluarga berada. "Ah, betapa beruntungnya gadis itu," gumam Kamal untuk yang kesekian kalinya.

Lama menunggu, tetapi Mikayla tidak memperlihatkan tanda-tanda bahwa ia akan beredar, pada akhirnya Kamal mengalah, menghampiri rumah. Namun demikian, Kamal tidak langsung masuk ke dalam rumah, tidak pula menyapa orang rumah. Di sini, Kamal memilih membelah-belah kayu bakar.

Sekira tiga puluhan menit kemudian.

"Mal, sudah malam, Nak! Kamu ndak mandi dulu, ya?" Bu Senia membuyarkan konsentrasi Kamal. 

"Iya, bentar, Ma!" sahut Kamal dari halaman samping rumah.

Sesaat kemudian, Kamal menyudahi membelah-belah kayu bakar, lalu beringsut ke bagian belakang rumah. Baru beberapa saat berada di sini, tiba-tiba saja Bu Senia mendongak dari pintu dapur.

"Perempuan itu mau nginap di sini. Kamu bisa pergi cari sayur di pasar? Kita ndak ada apa-apa," bisik Bu Senia.

"Nginap di sini?" Dahi Kamal mengkerut seketika. 

"Iya," sahut Bu Senia. "Ndak apa-apa. Pergilah carikan dia sayur. Pulang baru mandi." Bu Senia sambil menyodorkan sejumlah uang.

"Jalan kaki, Ma?" tanya Kamal.

"Carilah ojek," cetus Bu Senia. "Atau tunggu sebentar." Bu Senia langsung berbalik, kembali ke dalam rumah.

Sialan itu si Mikayla! Pantas saja dia tidak kunjung pulang. Kamal mulai menggerutu.

Tidak berapa lama kemudian, Bu Senia kembali bersama Mikayla.

"Mas mau ke mana?" tanya Mikayla. "Bareng, yuk!" 

Kamal melirik Bu Senia, wanita paruh baya ini menaikkan bahunya. Diam-diam Kamal mendengus. "Jangan-jangan perempuan ini sudah 'mencuci otak' Mama? Mencurigakan," gerutu Kamal dalam hati. 

Pun, dengan menggunakan sepeda motor matic milik Mikayla, Kamal dan Mikayla berboncengan menuju pasar di kecamatan sana untuk mendapatkan sayur-mayur.

"Tolong tangannya, Nona!" ucap Kamal. Mereka sudah melaju di jalan raya. "Ini tidak baik dilihat orang," tambah Kamal coba mengingatkan.

Diingatkan, Mikayla pura-pura tidak dengar, tidak menggubris ucapan Kamal. Bahkan, Mikayla justru memperat tangannya yang ia lingkarkan di pinggang Kamal.

"Gadis kepala batu!" Kembali Kamal menggerutu dalam hati. Kamal kesal, tetapi tidak berkeras.

"Sok, nolak," batin Mikayla juga.

Tiba di pasar, hari sudah senja. Di sini, Mikayla kembali 'berulah'. Tanpa permisi terlebih dulu, sesegera itu juga dia menautkan tangan di lengan Kamal. Mikayla sengaja tidak ingin memberi kesempatan pada Kamal.

Sedangkan Kamal, meskipun risih, tetapi sejujurnya suka. Wangi parfum yang menguar dari tubuhnya, itu yang membuat Kamal merasa tenang. Ada kedamaian yang membersamai wangi tubuh Mikayla.

Pulang dari pasar, saat Mikayla dan Mala sibuk di dapur, diam-diam Kamal membisiki Bu Senia.

"Mikayla itu keliatannya orang baik. Bantulah dia," ucap Bu Senia ketika Kamal menyinggung Mikayla. "Apalagi, dia minta ditemani itu bukan ditemani cuma-cuma."

"Maksud, Mama, dia bayar, gitu?" Kamal coba memperjelas.

"Pokoknya, temani saja dia." Bu Senia sedang tidak ingin didebat.

Sampai di sini, Kamal tidak lagi menambahkan kecuali lagi-lagi menggerutu dalam hati, "Entah apa yang sudah dilakukan Mikayla hingga dalam sekejap mata, dia sudah berhasil merebut hati Mama? Dasar perempuan sialan!"

Dua hari kemudian, Kamal dan Mikayla pun berangkat.

Berdasarkan berita yang sudah mengakar pada masyarakat setempat, tempat yang mereka tuju ini, tidak seberapa jauh dari titik lokasi yang pada suatu masa dahulu menjadi pusat Pemerintahan sebuah kerajaan yang pernah ada di tanah ini. Kampung Mie Karorondo*, demikianlah masyarakat memberi nama untuk kampung yang mereka tuju.

Untuk sampai ke tujuan, Kamal dan Mikayla, mula-mula menggunakan jasa ojek hingga ke pinggir hutan. Kemudian, mereka harus berjalan kaki sejauh kurang lebih empat kilometer, melintasi hutan larangan. 

Jarak tempuhnya tidak terlalu jauh, tetapi medan serta kondisi hutannya yang sulit. Keadaan bertambah berat, karena hutan yang akan mereka lalui ini sangat jarang, bahkan nyaris tidak pernah dijamah manusia. 

Sebenarnya masih ada rute lain, dan bahkan tidak perlu susah-payah berjalan kaki sejauh rute alternatif ini. Hanya saja, itu butuh waktu yang cukup lama karena rute yang dimaksud, harus ke kota terlebih dulu yang jaraknya 60-an kilometer. Dari kota, masih harus mencari kendaraan lainnya yang menuju ke suatu lokasi wisata yang jaraknya dari kota sekitar 20-an kilometer. Dari lokasi wisata tersebut, barulah berjalan kaki sekian kilometer ke kampung yang dimaksud.

Pun, melangkah jugalah mereka di dalam hutan larangan. Mulai dari sini, Mikayla sudah mulai membuat Kamal merasa cemas.

"Mikayla!" desis Kamal dengan nada penuh penekanan. "Kalau kamu ingin kita sampai dengan selamat sampai tujuan, tolong jangan aneh-aneh! Ini hutan larangan, bukan tempat rekreasi!"

"Masa' foto-foto aja, gak, boleh, Mas?" protes Mikayla.

"Duh, Mikayla ... !" desis Kamal lagi. "Tidak ada yang larang kamu foto-foto, tapi kamu sudah ijin, belum?" tambah Kamal dengan mata memicing.

"Masa' harus izin segala, Mas? Ah, yang bener aja, deh!" sanggah Mikayla. "Lagian, masa'iya izin ama pohon-pohon ini?" Mikayla berkeras.

"Orang kota yang satu ini ternyata benar-benar keras kepala, ya?" Kamal memaki dalam hati.

Mikayla yang sangat sulit untuk diperingatkan ini, semakin Kamal berusaha, semakin membuat Kam cemas sendiri. Sedangkan Mikayla, wanita modern ini, tidak seberapa yakin dengan hal-hal yang berbau tahayul. Itulah kenapa dia tidak mengindahkan ucapan Kamal.

"Hey, Mikayla!" Di sini, selain ketus, nada bicara Kamal juga sudah mulai meninggi. "Kamu mau lanjut, tidak?"

"Iya, Mas, bentar," sahut Mikayla acuh tak acuh. "Ini background-nya bagus banget, lho! Sayang banget kalau dilewatkan," tambahnya, tanpa menoleh sembari terus memotret ke sana-sini.

"Ya, sudah!" gerutu Kamal dan langsung beredar.

Kamal berjalan dengan tergesa-gesa lalu bersembunyi di balik sebatang pohon, sekira dua puluhan meter dari tempat Mikayla yang belum beranjak dari tempatnya. 

Beberapa saat kemudian, saat menyadari bahwa Kamal telah menjauhi dirinya, barulah Mikayla memanggil-panggil.

"Mas! Mas Kamal! Kamu di mana? Tolong jangan tinggalin aku, dong!" 

Meskipun mengacuhkannya, tetapi diam-diam Kamal mengawasi Mikayla. Kondisi hutan yang ditumbuhi aneka pepohonan berukuran purba ini, memungkinkan Mikayla untuk tidak mudah terlihat oleh Mikayla. 

Kamal tterus begitu, sedangkan Mikayla terus saja juga berteriak-teriak mencari. Menyangka Kamal sudah benar-benar meninggalkannya, pada akhirnya Mikayla menangis ketakutan. Mikayla sesenggukan, barulah Kamal keluar dari tempatnya mengintai.

"Makanya jangan bawel, kamu!" Kamal langsung mengomelinya apabila ia telah pun berdiri di samping Mikayla.

"Bawel apaan, sih, Mas? Mas tega, ya, sama perempuan?" Mikayla melakukan protes di sela-sela isak tangisnya.

Mendapati Mikayla yang berderai air mata, Kamal mulai tidak tega. Dibiarkannya sampai Mikayla merasa tenang. Sekian menit kemudian, barulah Kamal meminta Mikayla untuk kembali melanjutkan perjalanan. Mikayla bergeming, merajuk. Itu berlangsung hingga sepuluhan menit.

"Kalau kamu tidak ingin kemalaman di tengah hutan ini, sebaiknya kita lanjutkan perjalanan," ucap Kamal.

Tangis Mikayla sudah reda, tetapi alih-alih menyahuti Kamal, dia justru kembali sibuk dengan ponselnya. 

"Mikayla!" Kamal mulai jengah pada Mikayla. Kamal benar-benar heran, kenapa Reggina 'mengirim' gadis keras kepala seperti ini. "Kamu dengar, 'kan, apa yang saya bilang barusan?" 

"Tunggu sebentar, Mas!" Meskipun masih tetap fokus pada ponselnya, pada akhirnya Mikayla buka suara juga. "Ada yang aneh dengan hutan ini," tambah Mikayla.

Mikayla bangkit dari duduknya, menghampiri Kamal, lalu memamerkan ponselnya. "Mas, coba lihat ini! Kok, bisa, ya?" tanya Mikayla.

Sesuai dugaan Kamal, 'yang punya' hutan larangan ini, tidak mengijinkan hutan ini diambil fotonya. Dalam layar ponsel Mikayla, bukan lagi hutan ini yang terekam kamera, tetapi sebuah pemandangan yang entah pada zaman kapan. 

"Ini seperti pemakaman massal, ya?" gumam Mikayla lagi sambil terus menjiwai foto yang ada pada layar ponselnya. "Ih, merinding aku, Mas."

Pada akhirnya, diam-diam Mikayla mulai percaya dengan apa yang diucapkan oleh Kamal. Sedangkan Kamal, dia menahan napas. Apa yang terlihat dalam ponsel Mikayla, seperti bernyawa.

"Tolong jangan lagi ceroboh. Setidaknya, berlakulah seperti peribahasa, di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Bisa?"

"I-iya, Mas, bisa," sahut Mikayla.

Kamal lega mendengarnya. "Ayo, perjalanan kita masih lumayan jauh." seru Kamal dan langsung memulai langkah. 

Mikayla pun demikian, ia tak lagi banyak bicara, dan langsung mengekor di belakang Kamal.

Sekira tiga puluhan menit kemudian.

"Mas!" Mikayla mulai merasa ada yang aneh. "Katanya sudah dekat, kok, gak nyampe-nyampe?" 

Perlahan Kamal menjeda langkah. Lalu, menatap wajah kusut Mikayla. "Kita tersesat," ucap Kamal sambil menjiwai sekeliling.

"Tersesat?" tiru Mikayla.

"Iya," tegas Kamal. "Lihat pohon itu!" tambahnya seraya mengarahkan pandang, tetapi tidak dengan telunjuknya. 

Sesaat kemudian, Mikayla pada akhirnya paham dengan apa yang dimaksudkan oleh Kamal. 

"Lho? Itu, 'kan, pohon ...."

"Iya," potong Kamal. "Kita belum ke mana-mana, masih mutar-mutar saja di sekitar sini."

Pohon yang mereka bicarakan ini adalah pohon tempat dimana Mikayla duduk menangis barusan tadi. Setengah jam berjalan, mereka hanya berputar untuk kembali ke tempat di mana mereka memulai langkah.

"Gimana, nih, Mas?" tanya Mikayla dengan nada berbisik. Mikayla mulai merasa cemas.

__

Mie Karorondo = Orang Gelap.