Chereads / Kamal Hayat / Chapter 4 - Lika-liku

Chapter 4 - Lika-liku

"Allah, Allah, Allah ...," bisik Kamal dalam hati secara berterusan.

Kamal memang dalam keadaan memejam, raga bersila tenang, tetapi telinga dan batinnya tengah dalam kondisi siaga penuh.

Konon, dari sekian banyak penyebab Jin atau setan dapat merasuki pikiran seorang anak manusia, yang paling umum itu dikarenakan adanya peluang bagi mereka (Jin) untuk menguasai manusia tersebut.

Seingat Kamal, tempo hari saat masih di bangku sekolah dasar, kurang lebih sedemikian itulah kata Bu Siti Saodah, seorang guru agama, memberitahu perihal makhluk astral tersebut.

Selain itu, masih berdasarkan apa yang Kamal ingat dari pelajaran yang Bu Siti Saodah berikan, kekalutan mental yang menyebabkan tersanderanya pikiran oleh suatu titik atau dimensi tertentu, kononnya lagi, hal tersebutlah yang menyebabkan manusia berhalusinasi secara tidak wajar. 

Pada kondisi yang demikian, umumnya manusia akan lalai dalam mengingat Tuhan-nya. 

Kondisi mental seperti itu, akan memudahkan Jin untuk masuk ke dalam diri, lalu mengendalikan alam bawah sadar manusia. 

Cara menangkal agar tidak dikuasai atau kerasukan jin adalah dengan banyak-banyak mengingat dan menyebut nama Tuhan. Begitu menurut Bu Siti Saodah, dan hal itulah yang tengah Kamal lakukan. Kamal sadar, dirinya juga tengah dalam kondisi mental yang sangat terpuruk.

Meskipun berniat untuk berjumpa dengan penunggu atau penghuni pohon beringin ini, tetapi Kamal tidak ingin dirasuki apalagi sampai dikuasai oleh makhluk astral apa pun.

"Allah, Allah, Allah ...." Kamal masih terus melafaz dalam hati.

Selain itu, sambil pula sesekali membuka mata meskipun hanya dalam serupa memicing, demi memastikan bahwa sekeliling masih dalam kondisi aman. Terus begitu, tanpa terasa siang telah pun berganti malam.

Hari berangsur-angsur gelap.

Pada satu hingga sekira dua jam pertama, Kamal masih bisa duduk bersila dengan tenang. Namun, ketika lewat dari pada itu, selain persendian, dan tulang ekor yang mulai terasa kram, ketidakbersahabatan nyamuk-nyamuk yang ada di sekitar sini, serta bayang-bayang pertengkaran mama dan bapaknya di siang hari tadi, benar-benar sangat menggangu laku tapa yang sedang dijalani oleh Kamal. 

Terus diusik oleh ini dan itu, konsentrasi Kamal pada akhirnya buyar juga. Alhasil, upayanya di sepanjang hari ini, hanya menghasilkan nyeri di seputaran pinggang, serta rasa gatal di beberapa bagian tubuh akibat dari gigitan nyamuk. 

Akan tetapi, Kamal belum menyerah. Sesaat setelah itu, tanpa pikir panjang, Kamal nekat meraba dalam gelap, hati-hati memanjat, mencari tempat yang nyaman, lalu duduk diam di salah satu dahan pohon beringin ini.

Di sini, dengan niat ingin bertemu dengan penunggu pohon beringin, Kamal fokus, membangun konsentrasi, duduk diam dengan mata memejam sambil memeluk dahan pohon.

Bersamaan dengan itu, perlahan tapi pasti, jarum jam terus berputar, menggiring malam menuju ke kepurnaannya. Kamal tahu, malam kian menua. Itu bisa Kamal pastikan dengan bulir-bulir mega yang menyapa tubuh. Namun, hingga sejauh ini, makhluk gaib atau apalah itu, tidak kunjung datang menyapa. Padahal, pria remaja ini sudah sangat siap.

Dalam pada ini, ada yang ingin Kamal 'tanyakan' pada mereka, andai mereka sudi menemui Kamal.

Hinggalah terdengar suara 'krasak-krusuk' yang cukup riuh di bawah sana. 

Menahan napas seraya mempertajam pendengaran.

Dalam sekilas terka, sumber bunyinya berasal dari daun kering yang terinjak oleh sesemakhluk, atau sekumpulan makhluk. Berpikir mungkin merekalah yang tengah ia nanti, Kamal melancarkan menyebut nama Tuhan agar tidak dicelakai oleh makhluk yang entah apa, atau siapa. Semakin ke sini, suaranya semakin riuh. 

Berdasarkan selintingan berita yang pernah didengar oleh Kamal, para Petapa, termasuk kabar tentang Lahia si pawang ular yang terkenal sakti mandraguna, konon dalam laku tapanya, sebelum diberi kesaktian, mereka lebih dulu diuji dengan berbagai macam cobaan yang berhubungan dengan keberanian, atau kebulatan tekad. 

Yang paling masyhur adalah tentang ujian yang dialami oleh Lahia. Kabarnya, dalam laku tapanya, Lahia dililit, dipatuk, hingga terakhir ditelan bulat-bulat oleh ular berkepala manusia, dengan ukuran tubuh super besar sebelum akhirnya Lahia dimuntahkan kembali oleh ular tersebut.

Lahia lulus, kesaktian pun didapatkan.

Malam ini, Kamal berpikir akan menjadi gilirannya. Kamal sudah sangat siap menerima cobaan atau ujian apa pun itu.

Krasak-krusuk krasak-krusuk!

Sudah sekira tiga puluhan menit bunyi itu terdengar di bawah pohon sana, tetapi belum ada sesemakhluk pun yang datang menguji. Hingga setakat ini, Kamal masih bersabar. Kamal menduga, ini adalah bagian dari ujiannya, yakni ujian kesabaran. 

Namun, ketika memperjelas pendengaran, ternyata yang krasak-krusuk di bawah sana hanyalah sekumpulan tikus hutan. Keberadaan mereka semakin jelas tatkala mereka saling baku hantam, entah memperebutkan apa, lalu memperdengarkan suara 'teriakan' khas makhluk-makhluk pengerat.

Keadaan mulai tidak memungkinkan, terlebih lagi bersamaan dengan ini, rasa kantuk semakin sukar dijinakkan. Meskipun ada sedikit rasa kecewa, tetapi tidak ada pilihan lain selain mengabaikan penyebab bunyi di bawah pohon sana. 

Kamal sudah tidak kuat. Benar saja, tidak berapa lama kemudian, Kamal sudah tertidur dengan begitu lelapnya.

Riuh suara kicau burung membangunkan tidur Kamal. Kamal sedikit terkejut dan sempat bertanya-tanya tengah berada di mana. Saat menyadari keberadaan dirinya, Kamal sangat bersyukur karena tidak sampai terjatuh ke tanah. 

Pun, Kamal coba membaca diri sekali lagi. Tenggorokannya kering. Ianya semakin paripurna kala berkolaborasi dengan perut yang juga tidak kalah kerontangnya.

Sesaat setelahnya, perlahan Kamal melorot turun ke tanah.

Setibanya di tanah, Kamal bergeser sekian langkah, lalu berbalik, mendongaki pohon beringin ini. 

"Hey, penghuni pohon ...."

"O, sial!" gerutu Kamal. Kamal seperti tengah menderita amandel. Kerongkongannya bukan hanya sekadar kering, tetapi sakit. Betapa terganggunya pita suaranya. 

"Hoy penghuni pohon beringin!" Kamal memaksakan diri untuk menggenapi ucapannya yang terputus barusan. "Kabarnya kalian ini sakti, seram, angker ... hah, apalah!" 

"Dasar bualan kosong!" 

"Seandainya saya ada korek api, pasti saya bakar kamu ini!" 

"Saya tidak akan percaya lagi dengan berita omong kosong tentang kalian!"

Kamal benar-benar jengkel, dan terus mengumpat. Puas memaki, tetapi tidak ada yang menggubris, ia pun beredar perlahan. Suasana bumi masih remang-remang, pagi hari belum sepenuhnya bertahta.

Lalu, Kamal mulai bertanya-tanya hendak ke mana?

"Ya, Tuhan ... berilah petunjuk pada hamba-Mu ini. Tolonglah kasian, Tuhan," bisiknya sembari melangkah satu-satu.

Dalam keadaan mata dan hati terbuka lebar seperti saat ini, barulah Kamal tersadar bahwa sesungguhnya ia tengah berada dalam kebingungan yang nyata. 

Hutan ini memang cukup luas. Akan tetapi, ke arah mana pun Kamal memalingkan wajah, yang terlintas dalam benak Kamal, hanyalah bayang-bayang ketidakpastian arah. 

***

Pelabuhan Ujung, beberapa bulan kemudian.

"Kota, kota, kota! Kurang satu, berangkat, kurang satu, berangkat! Ayo, ayo, yang mau langsung berangkat!"

"Kamal!" Seseorang mengagetkan Kamal. Kamal menolehinya, orang tersebut menambahkan. "Kamu, sopir atau kondektur?"

"O, Tuhan, kenapa harus beliau?" batin Kamal sembari refleks menjatuhkan pandang.