"Kami pahami masalah kamu, Kamal, tapi ini peraturan." Untuk yang ke-tiga kalinya Bu Sri Mariani, guru Bimbingan Konseling, mengulang kalimat yang ada kata Peraturan di dalamnya.
"Tolonglah kasian, Bu," balas Kamal juga untuk yang kesekian kalinya. "Kalau saya sudah dapat uang, saya pasti beli sepatu baru. Sepatu saya hilang, kasian, Bu."
"Kamu ini, ya!" Bu Sri mendengus sambil geleng-geleng kepala. Wanita setengah abad, guru yang terkenal dengan ke'killer'annya di sekolah ini, mulai hilang kesabaran. Sampai di sini, nyali Kamal mulai sedikit ciut.
"Atau, begini saja, Kamal," ucap Bu Sri kemudian. "Minta orang tua kamu urus surat keterangan tidak mampu, biar kami ajukan beasiswa untuk kamu."
Kamal diam sejenak. Ini seperti angin segar setelah barusan lidah Kamal tanpa sengaja tergelincir, mengadukan ketidakberdayaan diri dan keluarga. Namun, di sisi lain, Kamal sangsi ayahnya akan bersedia untuk memenuhi permintaan Bu Sri.
"Kalau kalian merasa kesulitan mengurusnya, biar ibu yang datang ke rumah kalian untuk ...."
"Tidak perlu, Bu, tidak perlu," potong Kamal. "Bapak saya pasti bisa urus sendiri," tambah Kamal dengan nada yang dipantas-pantaskan.
Guru Bimbingan Konseling adalah seorang guru yang dibekali dengan ilmu jiwa yang mumpuni. Bu Sri Mariani, hanya dengan menatap wajah Kamal, beliau sudah sanggup membaca pikiran Kamal.
Bu Sri mengernyit, buru-buru Kamal menambahkan, "Iya, Bu, nanti saya sampaikan sama bapak. Terus, sekarang, apakah saya sudah boleh ikut belajar?"
"Kamal!" Bu Sri mulai membentak. "Peraturan sekolah ini diterapkan untuk dilaksanakan! Kalau kamu kami biarkan ikut proses belajar mengajar dengan kondisi compang-camping seperti ini, bagaimana nanti kalau ada siswa lain yang ikut-ikutan? Kamu paham, tidak, apa yang ibu bicarakan?" tambah Bu Sri berapi-api.
Sudah final. Tidak ada lagi celah bagi Kamal untuk dapat mengikuti jalannya proses belajar mengajar di pagi hari ini. Pun, dengan kepala terkulai lesu, Kamal beredar dari ruang BK, selanjutnya memberanikan diri untuk pulang ke rumah.
***
Kepulangan Kamal di rumah, alih-alih menemukan solusi dari masalah yang tengah mengadang, ianya justru menciptakan pertengkaran hebat antara Pak Rajimin dan Bu Senia.
Upaya Bu Senia yang coba membela, ianya tidak cukup mampu menjinakkan gelegar Pak Rajimin yang bersikukuh tidak menginginkan keberadaan Kamal di rumah, bahkan di kampung ini.
"Kamu jangan terlalu keras seperti itu, Rajimin!" Sampai di sini, Bu Senia sudah punya keberanian untuk melawan, dan bahkan menyerang balik Pak Rajimin. "Seharusnya kamu mikir, kenapa dia nekat mencuri? Kenapakah kamu tidak pernah mikir apa masalahnya? Itu semua karena kita juga, Rajimin! Kita mau mengadopsi anak orang, tapi tidak mau membiayainya! Seharusnya, sampai di sini kamu sudah bisa mikir, Rajimin!"
Seumur-umur, selain menyebut nama secara langsung, bukan lagi Bapak sebagaimana biasanya, ini adalah yang pertama kalinya Kamal melihat Bu Senia bisa sedemikian batu karang di hadapan Pak Rajimin.
Kenapa? Diam-diam Kamal mendesau. Selain takjub tapi sekaligus resah, Kamal juga mulai bertanya-tanya, apakah Bu Senia sudah berubah menjadi seorang wanita pembangkang?
"Kamu malah bela anak durhaka ini, Senia? Kamu tidak pikirkan bagaimana aib yang dia diciptakan untuk kita? O, baguslah kalau kalian sudah sekongkol begitu! Biar saya saja yang pergi dari rumah ini," ancam Pak Rajimin.
"Pergi saja, Rajimin, pergi! Tidak usah ngancam-ngancam kami terus." Bu Senia membalas dengan tidak kalah sengitnya. "Kalau kamu tidak pergi, biar kami yang pergi!" tambah Bu Senia berapi-api.
Bu Senia cetar membahana, kemudian, hening. Pak Rajimin terdiam, Bu Senia membuang muka. Aura dalam rumah ini begitu tegang.
Sampai di sini, Kamal merasa, dirinyalah sang petaka yang menjadi penyebab gempa bermagnitudo mega dalam keluarga ini. Ini buruk, Kamal kian terpuruk.
"Baiklah! Saya kabulkan permintaanmu, Senia! Saya akan pergi!" Pak Rajimin akhirnya buka suara setelah barusan beliau hanya diam. Lalu, tampak beliau membalikkan badan. Ketika Pak Rajimin berancang-ancang untuk beredar, sigap Kamal mengadang, merebut lalu memeluk salah satu kaki Pak Rajimin. "Tolong jangan pergi, Pak, biar saya saja yang pergi!" Kamal mengiba dengan begitu lirihnya.
Selain memeluk erat kaki Pak Rajimin, Kamal juga memelas habis-habisan agar ayah angkatnya ini mengurungkan niat. Akan tetapi, alih-alih tergugah, Pak Rajimin justru menampar tengkuk Kamal.
Plak!
Bugh!
Kamal nyaris terjerambab.
"Mulai sekarang, kalian jangan lagi panggil saya Bapak! Saya bukan bapak kalian. Kalau kalian menganggap saya sebagai Bapak, seharusnya kalian menghargai saya, mengikuti apa yang saya bicarakan."
Pak Rajimin menukas tajam, Kamal justru gegas bangkit, lalu kembali merebut kaki beliau. "Tidak, Pak, tidak! Saya berjanji mulai sekarang saya akan turuti kemauan Bapak!" ucap Kamal.
"Lepaskan!" hardik Pak Rajimin.
Plak plak!
"Argh ...." Kali ini tamparan Pak Rajimin jauh lebih kuat dari sebelumnya, Kamal meringis tertahan.
"Bunuh saja, Rajimin, bunuh saja kami semua, biar kamu puas! Hiks hiks hiks," serang Bu Senia sambil berderai air mata.
Kamal sudah tidak sanggup. Refleks ia bangkit lalu berucap lantang. "Cukup ... cukup! Saya mohon, cukup! Tolong jangan bertengkar lagi kasian, saya mohon, cukup! Sudah, biar saya yang pergi!"
Sedetik kemudian, Kamal sudah berlari keluar rumah.
"Kamal ... ! Jangan pergi, Nak ... !"
Gaung suara Bu Senia itu, ianya lebih sembilu dari panah-panah api yang menyasar sukma. Akan tetapi, Kamal tidak punya pilihan lain selain mengabaikan dan semakin mempercepat langkah. Kamal tidak sanggup membayangkan jika sesuatu yang lebih buruk akan terjadi di antara ayah dan ibu angkatnya tersebut.
Seumpama suatu infeksi pada bagian tubuh manusia, agar tidak menjalar lebih jauh, Kamal rela menjadi bagian yang diamputasi. Tidak apa terbuang, asalkan Pak Rajimin dan Bu Senia masih tetap dalam satu kesatuan yang utuh.
Lalu, pergi dari rumah?
Itu hanyalah sebaris kalimat putus asa yang bersekutu dengan kondisi ketidakberdayaan. Hendak pergi ke mana, sedangkan Kamal seumur-umur belum pernah meninggalkan desa ini?
Hutan yang kata sebagian orang adalah hutan larangan, hingga detik ini masih belum tergantikan sebagai satu-satunya tempat yang paling bisa menerima kehadiran Kamal.
Sepasang kaki yang tengah menyangga raga dengan jiwanya yang hampa, telah menuntun langkah tanpa arah Kamal, merangsek jauh ke dalam hutan, hutan yang sangat jarang dijamah oleh manusia.
Hinggalah sebatang pohon beringin berukuran besar yang menjentik pikiran Kamal untuk menjeda langkah.
"Ini sudah kayaknya," gumam Kamal dalam hati.
Lalu, sekali lagi Kamal coba menjiwai pohon beringin yang ukurannya sangat tidak biasa. Rumbai-rumbainya lebat menjuntai, ujung pohonnya entah berada di mana.
Menurut rumor yang Kamal dengar, rumbai-rumbai yang sangat padat begini, ini adalah tangga naik turun bagi para penghuni beringin. Saat Kamal mencermatinya, ianya sudah sangat mirip dengan ciri-ciri yang diceritakan oleh banyak orang. Satu yang tidak terasa, aura mistisnya. Padahal, beringin ini berada di tengah hutan larangan. Akan tetapi, mungkin belum terasa.
"Baiklah, saya akan mencobanya," batin Kamal.
Lalu, dengan posisi duduk bersila, mata memejam, tapak tangan tegak saling tumpu di depan dada, Kamal berbisik : "Wahai penghuni pohon beringin, siapa pun kalian, saya, Kamal Hayat, mohon izin bertemu."