Jalan raya sedang ramai-ramainya dilintasi oleh anak sekolah, sedangkan Kamal yang tengah setengah berlari dengan air mata berderaian, sambil menahan perih di perut, juga di leher, mau tidak mau terpaksa harus berpapasan dengan mereka-mereka yang baru pulang sekolah. Sedikit dari mereka adalah teman sekolah Kamal.
Orang-orang itu, ada yang menatap, saling bisik, dan ada juga yang coba menghentikan Kamal seraya bertanya, kenapa?
Kamal bungkam, bergeming, dan terus saja menjauhi keramaian.
Usia Kamal boleh saja masih belia, tetapi diperlakukan dengan secara kasar, yang mana kata sebagian orang, perlakuan Pak Rajimin terhadap Kamal itu sudah masuk dalam kategori tak manusiawi, jika ingin menghitung seberapa sering Pak Rajimin menyakiti fisik dan psikis Kamal, maka sungguh tiadalah yang sanggup sesiapa membilangnya.
Anak kepala batu, anak durhaka yang tidak tahu diuntung, itu adalah sedikit kata yang sekonyong-konyong menjadi pembenaran bagi Pak Rajimin untuk menyakiti lahir dan batin Kamal.
Karena semua itu, membuat Kamal menjadi seseorang yang tidak lagi punya urat malu. Jika pun masih ada, Kamal dapat memastikan urat malu tersebut sudah putus.
Kamal sudah kebal malu, tidak ada hal apa pun lagi yang bisa membuatnya merasa malu.
Lalu, sadar diri setelah ini Pak Rajimin akan kembali menjadi bahan gunjingan tetangga, maka pada suatu kesempatan, segera saja Kamal berbelok jalan, membelakangi jalan raya, selanjutnya mengambil arah menuju hutan yang kata sebagian orang adalah hutan larangan.
Langkah kaki Kamal terhenti pada rumpun pohon pisang hutan. Melihat buahnya yang tampak kekuning-kuningan, perutnya yang sedang kosong tidak sabar untuk segera diisi. Kamal pun tidak menunda-tundanya lagi.
Pisang hutan yang tengah dilahap Kamal saat ini, selain bergetah dan tidak manis sebagaimana pisang pada umumnya, biji-bijian yang ada dalam buahnya pula, jumlahnya jauh lebih banyak dari dagingnya.
Karenanya, butuh dua sisir barulah Kamal merasa kenyang.
Usai makan, Kamal beredar menuju sebatang pohon, duduk bersandar sambil menjiwai baju seragam sekolahnya yang telah bolong di bagian depan.
Betapa pilunya Kamal. Kamal berpikir, andai Pak Rajimin tahu betapa Kamal sangat membutuhkan baju ini.
Tidak berapa lama kemudian, masih dalam posisi duduk menyandarkan punggung ke batang pohon sambil memeluk baju dan buku tulisnya, tanpa sadar, Kamal tertidur.
"Mal, Kamal! Bangun, Nak!"
Gaung suara seseorang membangunkan tidur Kamal. Perlahan Kamal membuka mata. "Mama? Bagaimana caranya Mama tahu kalau saya berada di sini?" batin Kamal.
Saat menatap wajah, Kamal tertegun mendapati wanita ini yang juga balas menatap dengan tatapan sendu.
"Ayo pulang, Nak!" ujar wanita ini lagi.
"Tidak, Ma! Saya takut bapak nanti dia pukul saya lagi," tepis Kamal sambil menjatuhkan pandang ke kaki beliau.
"Tidak, Nak! Bapak sudah menyesali perbuatannya. Pulanglah bersama mama."
Tunggu dulu! Siapa wanita ini? Kamal merasa ada yang aneh dengan wanita ini. Jari kaki di kaki kanan Bu Senia berjumlah enam, bukan lima. Selain itu, Bu Senia tidak pernah mengenakan sandal mahal.
"Ada yang tidak beres, siapa wanita ini?" batin Kamal.
Lalu, sesegera itu juga Kamal menjumput segenggam tanah, lalu melemparkannya ke wajah wanita aneh ini.
Wush!
"Siapa kamu? Kamu bukan mamaku!" cecar Kamal.
"Mataku, mataku ...."
Wanita ini meraung-raung sambil memegangi matanya. Kamal, alih-alih menghiraukannya, ia justru berdiri lalu menendang bokong wanita ini.
Bug!
Wanita ini terjerambab seketika. Pada saat yang bersamaan, suaranya perlahan berubah. Dari meringis berubah menjadi suara desisan yang tidak terbaca.
Hanya dalam sekejap mata, wanita ini sudah menjelma seekor anak ular. Ular dengan panjang sekira lima puluhan centimeter, dengan besar badan kurang lebih jempol kaki orang dewasa.
Selain itu, bumi berangsur-angsur gelap. Ini malam hari, bukan siang hari sebagaimana sesaat barusan.
Sampai di sini, Kamal begitu ketakutan sehingga buru-buru berlindung, lalu mengintipnya dari balik sebatang pohon.
Apakah dia siluman Wambeleu*?
Tidak salah lagi, dia memang siluman. Tanpa menunggu lagi, Kamal bergegas menjauhinya.
Kamal sudah menjauh sekira dua ratusan meter kala tiba-tiba pula terpikir buku tulis yang lupa ia bawa serta. Kamal sangat cemas, tetapi tidak punya pilihan, ia kembali mengambil buku tulisnya.
Saat kembali, Kamal mendapati ular ini masih dalam keadaan bergulingan sambil merintih-rintih. Di sini, tanpa pikir panjang, begitu Kamal mendapatkan kesempatan, sigap Kamal menangkap, lalu menyentaknya.
Sret!
Hanya dengan sekali sentakan, di seketika itu juga kepala ular tersebut terpisah dari ekornya.
"Hiks hiks hiks. Kenapa kamu berusaha untuk membunuhku, Kamal?"
Ular ini belum mati? Kamal menjatuhkan ekornya, lalu menyandera, menggenggam kuat-kuat potongan kepalanya.
"Saya mau diapakan lagi, Kamal?"
"Diam!" bentak Kamal. "Kamu ini siluman! Saya akan membunuhmu!"
"Saya memang siluman, tapi demi Tuhan, saya tidak punya niat menyakiti kamu." Ular ini coba membela diri.
"Kamu siluman, mana ada siluman yang ngerti Tuhan!" tukas Kamal.
Ular siluman ini masih terus berkata-kata, memelas-melas agar Kamal membebaskannya. Akan tetapi, Kamal tidak menghiraukannya sama sekali. Malahan, saat ini Kamal tengah mencari batu, berniat untuk meremukkan kepala ular ini agar benar-benar mati.
"Kamal, kalau saya ada niat mencelakakan kamu, sudah dari tadi saya lakukan. Saya hanya ingin minta bantuan kamu untuk bertemu Lahia." Ular ini masih berusaha.
Lahia? Lahia adalah seorang pawang ular. Sampai di sini, Kamal mulai sedikit tersentuh.
"Kamal ...." lirih ular ini lagi.
"Diam!" Kamal kembali membentaknya. "Saya tidak kenal siapa Lahia!"
"Hiks hiks hiks. Saya hanya sebatang kara, Kamal. Tapi biarlah, tolong tanam kepala saya biar saya bisa pergi dengan tenang." Nada bicara ular semakin lirih.
Kamal diam sejenak. Dalam kegelapan malam, Kamal masih bisa melihat bagaimana kilauan di mata ular ini yang tampak sembab akan air mata.
"Baiklah," ucap Kamal juga akhirnya. "Saya akan kabulkan permintaanmu."
Lalu, dengan menggunakan patahan kayu, mulailah pula Kamal menggali lubang dengan dalam secukupnya, kemudian meletakkan potongan kepalanya ke dalam lubang, bersiap untuk menguburnya.
"Kamal, saya punya permohonan terakhir? Bisakah kamu mengabulkannya?"
"Permohonan terus!" gerutu Kamal dalam hati. "Ya, sudah, katakan!" seru Kamal kemudian.
Ular ini meminta Kamal untuk membalaskan dendamnya pada pembunuh kedua orangtuanya.
Menentang Lahia sang pawang ular adalah permintaan tak masuk akal, tetapi Kamal berpura-pura menyanggupinya.
"Iya, pergilah dengan tenang!" ucap Kamal berdusta.
Lalu, Kamal meraih potongan ekor ular ini, kemudian perlahan menimbunnya bersama potongan kepalanya. Usai menimbunnya, Kamal menancapkan patahan ranting ke gundukan tanah tempat di mana aku mengebumikannya. Setelah itu, Kamal menjumputi buku tulisnya, kemudian beredar.
Sembari melangkah satu-satu, sesekali Kamal mengintip ke belakang. Kamal khawatir ular tadi masih hidup lalu mengikutinya. Akan tetapi, tampaknya aman-aman saja.
Setibanya di kampung, Kamal bertahan di sebuah pos kamling tua yang tidak lagi terpakai. Di sini, ia menunggu pagi menjelang.
***
"Hey hey! Ngapain ke sini? Keluar keluar!" Pak Tarman, satpam sekolah, mengadang Kamal, beberapa langkah setelah Kamal membelakangi gerbang sekolah.
"Mau sekolah, Pak!" sahut Kamal ragu.
"Jangan bohong, keluar!" hardik Pak Tarman. "Kalau mau ngemis, jangan di sini! Sana sana!"
Dituduh sebagai seorang pengemis, Kamal tergugu. Kamal bungkam dengan perasaan yang sukar tergambarkan.
"Hey, kamu dengar, tidak?" Sorot mata Pak Tarman semakin menyeramkan.
"Saya murid di sini juga, Pak! Sumpah, saya bukan pengemis." Kamal coba membela diri.
__
Note : Wambeleu adalah nama yang disematkan pada salah satu spesies ular yang tidak kalah berbisanya dari ular Cobra.