"Oi, Jion!"
Aku mengerjapkan sebelah mataku yang sedikit buram. Kepalaku sedikit berat dan lidahku sedikit mati rasa. Aku mengangkat setengah badanku untuk duduk dengan tegak.
"Sepertinya kamu tidur nyenyak," ucap seorang lelaki di sebelahnya. Namanya adalah Seno, temanku satu-satunya di kelas ini. Dia sedang memakan roti dan sebuah minuman botol di kedua tangannya.
"Oh.. sepertinya aku tepat waktu."
"Hah? Apakah itu adalah hal yang wajar untuk dikatakan pertama kali saat kamu baru terbangun setelah tidur di kelas?"
"Ini wajar untukku. Lagipula aku tidak ingin sakit karena kurang tidur."
"Kalau begitu tidurlah di malam hari, dasar bodoh!"
"Aku tidak bisa, kemarin aku baru saja membeli produk kopi yang enak. Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak meminumnya lebih dari satu tegukan."
"Haaa... aku semakin tidak mengerti denganmu. Baru kali ini aku menemukan orang yang bisa bergadang semalaman dengan dua teguk kopi."
"Kamu mungkin tidak akan menemukannya dimana pun."
"Dan kamu bangga dengan itu?"
"Tentu saja tidak, tapi aku cukup terhibur melihat wajah jengkelmu."
"Dasar, hei tadi ada seorang senior yang bertanya padamu apa kau ingin gabung lagi ke ekskul pedang-pedangan itu? Dia sepertinya mencarimu. Seperti yang kau bilang, aku tidak memberitahu dia apa-apa."
"Haa... lagi-lagi dia melakukan itu."
"Apa-apaan itu.. bukankah kalian pacaran? Teman sekelas yang lain sering menggosipkan kalian, tahu. Bahkan mungkin siswa kelas lain juga membicarakannya."
"Ya ya ya, peduli amat sama orang lain. Tidak mungkin aku berpacaran dengan maniak pedang seperti dia. Sudahlah, aku akan pulang sekarang, mungkin sebentar lagi orang itu akan datang kesini."
Aku meregangkan tubuh dan meraih tasku untuk beranjak pergi. Namun, seorang perempuan dengan rambut bob pendek menghentikan gerakanku.
"Itu benar! aku ada disini dasar bocah tukang tidur! Jangan coba-coba lari dariku lagi kamu!"
"Ups, sepertinya ini akan jadi masalah besar," ucap Seno sambil menertawakan nasibku yang dalam bahaya.
"Oke-oke, tolong biarkan aku gabung dengan kemauanku sendiri, oke. Jika tidak, aku tidak akan mengajarkanmu satu gerakanpun."
"Benarkah? Jadi kamu akhirnya mau mengajariku?!"
"Ya, kak Gishel tolong tunggu di tempat itu saat pulang sekolah."
"Okee, awas kalau kamu sampai berbohong, ya. Aku akan memotong-motongmu sampai berkeping-keping."
Aku mengangguk pada ucapannya kemudian menjatuhkan diri di kursi. Sangat melelahkan hanya dengan berurusan dengan perempuan itu.
"Ahaha penampakkan Jion yang sekarat akhirnya muncul."
"Diam kau."
"Ya maaf maaf, tapi apa kau benar akan mengajarinya kali ini? Bukankah kau sudah sering menolak permintaannya?"
"Tentu saja tidak. Aku akan melarikan diri saat pulang sekolah nanti. Dan untuk eksekusi terakhir, aku serahkan padamu, kawanku."
"Sialan, lagi-lagi seperti ini. Bayarannya harus setimpal oke. Kupikir aku tidak akan bisa pergi tanpa beberapa luka sekurang-kurangnya."
"Bisa diatur."
***
"Kau sudah pulang Jion?" Ayah menyapa didapur, saat melihatku masuk kedai, em.. Lebih tepatnya rumah yang disulap menjadi sebuah tempat makan atau ya, sebuah kedai. Ya, ayahku bekerja sebagai koki, dia lebih dari pandai mengolah makanan daripada siapapun.
Saat kutanya, ayah cuma bilang, 'Jion, kalau kau ingin melakukan hal hebat yang tidak bisa orang lain lakukan, maka kau harus bertindak dua langkah setelah mereka. Dan berusaha 2 kali atau 3 kali lebih keras dari siapapun.' Aku termangu saat mendengarnya, bukan karena ucapannya yang hebat. Tapi, karena ayah jarang berkata serius, kecuali kalau soal pedang.
"Iya, Yah." Aku bergegas meletakkan tasku kedalam kamar.
"Kalau begitu bantu ayah masak, nih! Lagi banyak pelanggan, nih."
Sejujurnya kalau menuruti ego, aku lebih baik tidur. Tapi, karena itu perintah dari ayah, aku tidak bisa menolak.
Aku melangkah ke kedai, memakai celemek lalu mengambil sebuah buku catatan kecil dan bolpoin. "Yah, kali ini aku yang layani saja, ayah yang masak." Aku melangkah ke salah satu pelanggan.
"Sip!" Ayah mengacungkan jempol kirinya sedangkan sedang tangan kanannya sibuk memasak.
***
"Huh.. Akhirnya kedai tutup juga."
Aku mengusap keringat di wajah sambil beristirahat disalah satu kursi kedai. Sementara itu..
"Ah haha.. Ya, terimakasih sudah makan disini.. Hei, Nek! Datang lagi besok nanti aku buatin nasi goreng spesial... Woi, kau jangan lupa traktik teman-temanmu disini.."
Ayah mengantar semua pelanggan saat keluar, sambil menyapa dan promosi.
Aku tersenyum melihat ayahku begitu bersemangat, tapi aku tersenyum bukan hanya karena itu. Tapi terlebih karena setelah ini, aku akan berlatih pedang dengan Ayah.
"Ada apa, Jion? Kenapa kau senyum-senyum ga jelas, gitu? liatin ayah kayak liat cewek cantik aja." Ayah ikut duduk dikursi kedai, meletakkan dua piring nasi goreng spesial yang baru ia sebutkan ke salah satu pelanggannya tadi. Lalu kami mulai melahap makanan masing-masing.
"Benarkah? Ah.. Mungkin aku terlalu bersemangat buat latihan pedang kali ini, Yah." Aku meminum kopi yang aku sediakan khusus untuk latihan kali ini.
"Bagus kalo gitu, ayah akan keluarkan jurus terbaru ayah. Pastikan kau tidak mematung saat ayah menghentikan gerakanmu."
"Kalau begitu, aku harus meminum kopi lebih banyak. Kali ini aku pasti menang, pedang ayah akan aku dapatkan kali ini."
Aku meminum kembali kopiku. Jujur, aku jarang minum kopi lebih dari satu kali tegukan. Karena aku tidak suka terjaga kalau tidak ada hal penting yang bisa aku lakukan. Jadi, tidur pilihan terbaik menurutku.
"Hahahah.. Kau yakin sekali, ya! Baiklah, mari kita mulai!"
Kami bersiap-siap, mengganti baju lalu mengambil sebilah pedang kayu. Raut wajah Ayah berubah menjadi serius. Begitulah watak ayah, humoris, menyenangkan, ramah.
Tapi, sekali memegang pedang, sikapnya berubah drastis. Mungkin bagi yang belum terbiasa, ketika melihat Ayah, mereka akan menganggap ayah akan membunuh mereka karena raut wajahnya sangat menyeramkan.
"Waktunya 2 menit, karena kau belum pernah imbang dengan ayah, maka kali ini ayah anggap imbang sebagai kemenanganmu jika kau bisa bertahan selama dua menit"
"Ayah baik sekali, tapi tidak! Aku hanya ingin kemenangan mutlak!"
Ayah meletakkan jam alarm dilantai. Aku masih fokus dengan bilah pedang yang kupegang erat. Aku selalu mengingat nasehat ayah setiap kalah darinya. Yang terakhir, 'Jion, pedang tidak bisa bicara, melihat, apalagi mendengar. Tapi, dia bisa menyakiti. Maka kau tidak perlu kejam, jahat, dan keras. Kau hanya perlu melengkapi hal yang tidak dimiliki pedang itu.'
Aku menghembuskan napas, saatnya mengalahkan Ayah! Mataku terfokus pada pedang ayah. Tak akan kubiarkan pedangku patah kali ini. Dua menit akan terasa lama bagiku.
Perlahan, Aku mendekati ayah yang sejak tadi menatapku dingin seperti siap menerkamku. Aku mengangkat pedangku. Melangkah sedikit demi sedikit kemudian siap menghunuskan pedangku. Aku melirik jam alarm, waktuku tinggal satu menit lima puluh detik.
Ayah sebaliknya, dia tetap berdiri dengan kuda kudanya. Aku menghunuskan pedangku ke perutnya. Ayah membungkuk bersiap, pedangnya diayunkan dari bawah keatas bersiap mematahkan pedangku.
Mataku terus menatap pedangnya, sebenarnya aku tidak bermaksud menyerang Ayah, aku hanya menunggunya melakukan gerakan ini. Tanganku mengubah arah serangan, aku mengayunkan pedangku ke pedang ayah, mengambil sisi pipihnya.
Ayah tidak sempat mengelak atau memang sengaja begitu. Ia sedikit terkejut melihat seranganku. Pedangnya patah. Namun, ia tidak mundur, karena itulah ciri khasnya. Ia mengubah pegangan pedangnya menjadi seperti ninja. Aku melompat dua langkah kebelakang. Waktuku tinggal satu menit dua puluh detik. Saatnya melancarkan serangan selanjutnya.
Ayah melompat menerkamku dengan setengah pedangnya seperti seorang ninja. Pedangnya dengan cepat menebas setiap titik pertahananku. Aku sudah terbiasa dengan serangannya. Tapi, kali ini dengan teknik berbeda aku sedikit kesulitan. Tadinya aku kira akan mudah menang setelah mematahkan pedangnya. Namun, ayah terus melancarkan semua serangannya dengan cepat dan rapih. Tidak ada cela bagiku untuk menyerang.
Waktu tinggal dua puluh detik, tapi serangan ayah tidak mengendur sedikitpun. Ini diluar perkiraanku. Tak bisa kuhindari, tubuhku terus terdorong ke pinggir ruangan.
Aku mengeluh dalam hati, bisa-bisanya jadi begini. Aku kehilangan kesabaran, aku mengayunkan pedangku. Aku berani melakukanya karena mustahil mematahkan pedangku yang masih utuh dengan pedang yang patah, bahkan Ayah sekalipun.
Aku tahu itu tidak akan berhasil aku cuma mengulur waktu. Tapi tidak, Ayah tidak menghindarinya ataupun menangkisnya. Ia menangkap tanganku lalu tangan yang satunya lagi mengarahkan pedangnya ke leherku.
"Ting!"
Tepat, satu detik setelah gerakanku terkunci, waktu habis.
Ayah memasukkan pedang kedalam sarungnya. Kemudian, meletakkannya ditempat biasa. Aku masih dengan napas tersengal. Masih merasa kesal rencanaku gagal total. Aku memasukkan pedang kesarungnya lalu menyimpan ditempat biasa.
"Bagus sekali, Jion! Ini pertama kalinya kau bisa mematahkan pedang Ayah. Tapi, sayangnya gaya bertarungmu belum cukup untuk menghadapi Ayah. Kau harus lebih banyak berlatih. Dengan umurmu yang sudah menginjak 18 tahun, kau tidak lebih baik dari ayah dulu."
Ayah duduk dilantai. Walau tak terlihat diwajahnya, aku tahu tangannya pasti luka-luka. Dia terlihat seperti sedang mengingat-ingat semua gerakan itu saat melakukannya. Pertama kalinya aku melihat ayah seperti.
"Apa tangan Ayah baik-baik saja?" Aku tidak mendengarkan ocehannya. Ikut duduk disampingnya.
"Hah? Oh, Ini bukan apa-apa. Ayah hanya belum terbiasa lagi dengan teknik ini." Ayah melihat tangannya yang lecet dengan ceroboh sambil sesekali memamerkan senyumnya. "Ngomong-ngomong, bagaimana sekolahmu tadi?"
"Ayah, walaupun aku kalah, bolehkah aku melihat pedang Ayah itu?" Aku balik bertanya, tidak tertarik dengan pertanyaan Ayah.
"Hahahah.. Kau memang selalu berterus terang, ya! Kalau soal itu, maaf saja. Sebelum kau mengalahkan Ayah. Jangan harap kau bisa melihatnya."
"Baiklah, hoam.. Yaudah, aku ngantuk. Tidur duluan ya, Yah!"
"Dasar, dia mirip sekali dengan Jenny," Ayah bergumam setelah melihatku pergi, "Hoam.. Sebaiknya aku tidur juga."
***