"Siapa? Hah?"
Aku terkejut dengan kedatangan orang didepanku. Namun, aku bersyukur tidak terkena bilah pedang si pencuri itu.
"Oh.. kau boleh juga dapat bertahan tanpa sihir penguatan tubuh melawan buronan kelas A."
Tunggu, jadi dia saat ini adalah buronan?
"Ngoceh apaan kau, hah?! Beraninya kau mengganggu pertarunganku dengan bocah itu!"
"Tenang dulu dong, Pak Buronan, orang yang suka marah-marah cepet tua, lho."
"Banyak bacot!!!"
Buronan itu melompat ke belakang lalu dengan kecepatan yang luar biasa melesat ke depan kami.
Lelaki dengan pedang ganda ditangannya mengeluarkan aura kuat dari tubuhnya dan menangkis serangan dari buronan itu. Aku bersiaga di belakangnya dan mencoba menyerang bahu kirinya namun buronan itu menyadarinya dan mundur.
"Kau masih bisa bergerak, orang asing?"
"Tentu saja! dan juga, panggil aku Jion, pendekar pedang ganda."
"Oke, Jion, panggil juga aku Jay."
Dengan ini, dua lawan satu. Tidak seperti sebelumnya, kini ada Jay yang bisa menangkis serangannya. Dan meskipun tidak sekuat dia, aku masih bisa melukai buronan itu jika menyerang dengan serangan yang kuat.
"Mencoba bekerja sama, hah?! Baiklah, akan kuladeni dengan serius kali ini."
Apa? Kupikir dia sudah serius selama ini.
"Wah.. gawat, nih."
Buronan itu menancapkan pedangnya di tanah lalu mengambil sesuatu dari saku bajunya kemudian mengatakan sesuatu yang tidak kupahami, tubuhnya bercahaya dan- tunggu, itu bukan cahaya. Eh, bola raksaksa?
"Menghindar! Itu sihir api tingkat menengah!"
"Apa?!"
Aku dengan panik melompat lalu berguling-guling di tanah. Sementara itu Jay berlari menuju buronan itu sembari menghindar dari api, dia juga sesekali menangkis bola api raksasa dengan pedangnya.
"Sial, dia berani sekali."
Aku bangkit lalu berlari di sekitar lautan api yang membakar pepohonan di hutan.
"Hahaha rasakan itu, akan kuhanguskan kalian dengan Bola Api Raksaksa-ku."
Jay melompat kesana kemari sambil meningkatkan kecepatannya menggunakan penguatan tubuh. Sementara, aku berlari dengan sembari memperhatikan sekitar agar terhindar dari jangkauan serangan bola api.
Pohon-pohon disekitarku terbakar oleh api dan kebakaran ini meluas ke bagian hutan lain. Aku agak khawatir soal itu tapi juga berharap ada orang yang menyadarinya dan membawa bala bantuan.
Setelah beberapa menit menjauh dari area tembakan bola api raksaksa itu, aku melemaskan otot-otot ku. Setelah dapat merasakan semua indera tubuhku dengan baik, aku berfokus pada pertempuran untuk mencari celah lalu melancarkan pukulan terakhir.
***
Kepulan asap tersebar dalam radius 100 meter. Jubah milik Jay robek akibat serangan yang dilancarkan buronan kelas A itu. Jirahnya yang saat datang ke tempat ini sangat kinclong pun sangat kusam entah saat berguling di tanah maupun benturan.
Pertarungan berjalan cukup merepotkan bagi Jay yang unggul dalam pertarungan jarak dekat. Dia bisa saja melancarkan serangan andalannya untuk menghabisi buronan itu dalam jarak jauh. Tapi, sebisa mungkin dia tidak ingin mengambil pilihan itu.
Salah satu alasannya adalah karena dampak yang disebabkan serangannya cukup besar. Jay juga tidak bisa memastikan keberadaan orang atau petualang dengan perlengkapan seadanya itu ditengah kepulan asap ini.
Namun, entah kenapa dalam kekacauan ini, dia sangat yakin jika orang itu sedang bersiap untuk menyerang saat ada celah. Oleh karena itu, dia bersusah payah mendekati buronan itu sambil menghindari bola api raksaksa.
Ini bukan pertama kalinya bagi Jay untuk menghadapi penyihir jenis api, tapi kali ini, sepertinya buronan itu memakai sejenis alat sihir yang dapat meningkatkan mana. Hampir mirip dengan potion pemulih stamina. Tapi, efek dari potion tidak bisa melampaui kemampuan penyihir itu sendiri.
"Hahaha ayo serang aku! Jangan hanya sembunyi seperti serangga! Sepertinya kerja sama kalian tidak berjalan dengan baik, ya?!"
Ini sudah 10 menit lebih dan kekuatan serangannya masih belum menurun sedikitpun. Jay memasukkan pedang ke dalam sarungnya, menggenggam dengan kuat. Setelah mengumpulkan mana yang cukup ke kalinya, dia menghempaskan pijakannya, meninggalkan tempat dia berdiir secepat peluru.
Jay melesat dalam garis lurus mengabaikan bola api yang menghampirinya. Setelah berjarak sekitar 10 meter dengan buronan itu, Jay menebaskan kedua pedangnya secara diagonal dan membelah semua bola api yang ada.
Setelah itu, dia melompat kearah buronan itu. Buronan itu juga sudah bersiap dengan pedangnya.
"Oi oi! Bukankah itu teknik level tinggi? Apa jangan-jangan kau petualang kelas A?!"
"Yah, itu teknik yang membuatku muntah berkali-kali saat menguasainya. Jadi cukup menyenangkan mendengar buronan kelas A memuji teknikku itu."
"Oh!! Jangan menjadi sombong, nak!"
Jay beradu pedang dengan buronan itu. Mereka saling mendorong dengan sekuat tenaga. Setelah itu, dalam sekejap mereka beradu pedang dalam kecepatan yang luar biasa.
"Bukankah curang menggunakan dua pedang seperti itu?"
"Maaf tapi itu salahmu karena tidak punya uang untuk membeli pedang lebih dari satu."
Tiba-tiba suara langkah kaki terdengar disekitar mereka. Keduanya bereaksi dengan itu, terutama buronan itu yang tau kalau diluar asap masih ada bocah yang sebelumnya dia hadapi.
"Hah! Akhirnya kau keluar juga bocah."
"Jion! Jangan bergerak dengan gegabah! Kau tidak punya penguatan tubuh! Kita harus menyerangnya bersama-sama!"
Jay berusaha memperingatkan Jion agar tidak gegabah namun langkah kaki itu tidak melambat sama sekali.
"Berhenti, Jion! Dengarkan aku!!"
"Hahaha bagus bocah, datanglah padaku dan terima kematianmu!!"
Tak lama, sebuah bayangan terbentuk di atas kepala buronan itu, namun gerakan itu tidak cukup cepat untuk mengejutkannya. Buronan itu berbalik lalu menusuknya dengan tawa yang keras.
"Jion!!!"
"Matilah bocah!!"
Setelah asap disekitar bayangan itu menghilang, wujud yang tertusuk oleh pedang itu bukan tubuh Jion seperti yang mereka prediksi melainkan batang pohon seukuran Jion.
"Ap-apa?!!"
Kemudian dari sisi lain Jion yang sesungguhnya berlari kearah buronan yang sedang mengambang di udara.
"Sialan.."
"Tenang saja, kau tidak akan mati, kok."
***
Ini mungkin pertama kalinya bagiku untuk merasakan perasaan mendebarkan seperti ini. Bau pertarungan yang mendesak tubuh untuk terus bergerak. Luka yang berdenyut disetiap detiknya. Serta napas yang semakin sesak setiap dihembuskan.
Suara benturan logam yang sangat keras terdengar puluhan kali di telingaku. Pertarungan mungkin berjalan seimbang. Tapi, itu saja tidak cukup untuk menjamin keselamatanku.
Ayo, semakin tenanglah, semakin semakin fokus. Pegang erat pedang ditanganmu, buang sementara pikiran tak berguna dan lihat lawanmu.
"Bukankah curang menggunakan dua pedang seperti itu?"
Suara itu, dia lawanmu.
"Maaf tapi itu salahmu karena tidak punya uang untuk membeli pedang lebih dari satu."
Dia bukan.
Pikirkan, apa yang bisa mengalahkannya disaat seperti ini. Ya, itu dia.
Aku mengayunkan pedangku ke sebuah pohon di dekatku dengan potongan yang rapi. Lalu membelahnya menjadi agak kecil.
Setelah itu, aku berlari mengelilingi buronan itu dan Jay yang sedang bertarung.
Setelah agak dekat, aku melemparkan kayu yang ku bawa lalu bergerak ke samping dan menunggu timing yang pas untuk menyerang.
Setelah beberapa saat, buronan itu melompat dan menusuk kayu itu sambil tertawa, karena berpikir kalau dia telah membunuhku. Disaat itulah, aku bergerak kearahnya dan menebas punggungnya dengan sekuat tenaga namun tidak sampai membelahnya.
"Sialan.."
"Tenang saja, kau tidak akan mati, kok."
Aku tau itu beresiko namun sepertinya aku memang belum sanggup untuk menjadi seorang pembunuh meskipun berada di dunia lain.
Punggung buronan itu dan menyebabkan luka yang cukup dalam dan terkapar di tanah dengan darah yang mengalir deras.
"Hah.. hah.. hah.. kau berhasil Jion! Sial, aku terkejut setengah mati saat mengira kau akan menyerang secara langsung."
Jay menghampiriku dengan keluhan.
"Kupikir itu satu-satunya cara. Dan juga-"
Setelah berhasil mengakhiri pertarungan hidup mati untuk pertama kalinya. Tubuhku yang masih setara dengan anak SMA biasa nampaknya tidak bisa menahan beban mental serta fisik yang kuderita.
Sayup-sayup kulihat Jay panik sambil berusaha memanggilku. Namun, tubuhku sudah sangat amat lelah dan aku perlahan-lahan tak lagi dapat mempertahankan kesadaranku.
***