Malam ini bulan purnama bersinar terang, bintang bintang menghiasi seluruh langit. Suara hewan sahut menyahut meramaikan malam.
Saat ini, aku masih belum bisa tidur meskipun waktu sudah menuju tengah malam. Pikiranku masih terpenuhi oleh pedang milik ayah yang nyaris kudapatkan hari ini. Aku masih heran, kenapa ayah bersikeras melarangku memakainya sampai mengalahkannya.
Aku memutuskan untuk berjalan-jalan, daripada hanya melamun dikamar. Aku mengambil jaket yang tergantung di dinding kamar. Rumah terasa sangat sunyi karena hanya ada aku dan ayahku disini. Semenjak kecil aku tidak tahu apakah ibuku masih hidup atau tidak. Karena ayah tidak memberitahuku apapun tentang dia selain nama dan sifatnya yang pemberani.
Aku belajar main pedang sejak berumur 5 tahun. Agak tidak masuk akal memang bagi anak seumur itu untuk menyukai seni bela diri. Tapi, entah kenapa aku sangat bersemangat saat melakukannya, seolah-olah ada darah ksatria yang mengalir didalam tubuhku.
Aku berjalan keruang tengah, membuka pintu, lalu mengambil gelas untuk kemudian menyeduh kopi.
Mataku masih terjaga sampai saat ini, dan mungkin sampai esok pagi. Aku sudah terbiasa, jika aku meminum kopi lebih dari dua teguk, maka kekuatanku akan bertahan selama mungkin.
Setelah pertarunganku berakhir tadi, rasa penasaranku terhadap pedang yang Ayah rahasiakan sejak dulu semakin besar. Menurutku, aku sudah cukup pantas menerima pedang itu. Memangnya apa spesialnya? Pedang itu bisa menebas semua benda? Atau bisa membuat orang jadi master pedang dalam sekejap? Apa latihanku selama ini hanya untuk lelucon itu?
Aku meneguk kopi yang sedikit panas. Lalu berjalan ketempat latihan pedang, meninggalkan segelas kopi yang baru saja ku minum.
Kuambil sebilah pedang kayu yang tergeletak dilantai, kemudian setelah mengambil nafas dan memasang kuda kuda, aku mengayunkan pedang itu berkali-kali. Melampiaskan semua emosiku.
Napasku tersengal, dadaku berdetak sangat cepat. Namun, setelah aku tenang, aku dapat mengatur napasku kembali normal. Aku menyimpan kembali pedang kayu itu.
Saat itu, sudut mataku menangkap sebuah pintu dipojok ruangan. Bukan berarti selama ini aku tidak tahu ada pintu disana. Tapi, entah kenapa kali ini rasanya berbeda melihat pintu itu. Aku akhirnya memutuskan untuk melihat-lihat sebentar, siapa tahu disana ada pusaka atau semacamnya.
Aku mendorong pintu, terdengar suara berderit bertanda bahwa pintu itu sudah lama tak dipakai.
Tanganku meraba-raba dinding, mencari tombol untuk menghidupkan lampu. Tak lama, akhirnya tanganku menemukannya dan langsung kutekan.
Tempat itu memang sedikit kotor, dan banyak barang-barang seperti buku dan beberapa kertas yang berserakkan di lantai. Tapi, ada yang spesial disana. Lebih tepatnya, dihadapanku kini tergantung sebuah pedang dengan corak indah.
Saat aku hendak mendekati pedang itu, tiba-tiba sebuah buku terjatuh dari meja, tak sengaja tersenggol olehku. Aku mengambil buku itu, kemudian mengusap-usap sampulnya. Disana tertulis kata 'SLASHORD'. Aku tak tahu apa artinya, tapi aku memutuskan untuk membuka beberapa halaman buku itu karena terlanjur penasaran.
"Apa ini? [buka], [gerbang], [menuju], [sebuah], [ruang]-"
Aku tak begitu jelas melihat tulisannya. Aku memutuskan untuk menutup buku itu dan kembali kepedang indah disana.
Tiba-tiba, seberkas cahaya muncul dibelakangku. Aku menoleh, mataku silau. Cahaya itu semakin lama semakin membesar. Tangan kiriku coba untuk menyentuhnya. Namun, tanganku malah tertarik begitu juga dengan tubuhku yang ikut terseret ke pusaran cahaya itu.
"Apa yang terjadi?!"
Aku mencoba meraih apa saja didekatku. Tapi sia-sia, pusaran ini seperti medan magnetik yang super kuat, tubuhku yang susah payah ku pertahankan malah dengan mudah terhisap kedalam pusaran cahaya itu.
"Aarrggghh!!"
***
Setelah beberapa saat penglihatanku mulai pulih sedikit demi sedikit, tapi tunggu, dimana aku? Kenapa aku ada disini?
"Kenapa aku ada dihutan...?"
Tidak, lebih tepatnya kebun? Di sekitarku terdapat banyak pepohonan dengan ukuran sedang, beberapa memang ada yang lebih tinggi dariku namun kebanyakan pohon atau tanaman di sekitarku cukup pendek. Beberapa ada yang berbuah dan sebagian lagi berbunga.
Sial, apa yang sebenarnya terjadi? Aku tidak mengerti, kenapa aku berada disini. Aku teringat pada buku yang kupegang. "Apa karena buku ini?"
"Haah...." Aku menghela napas panjang berusaha menenangkan pikiranku. Oh iya, saat ini tengah malam, pemandangan langit sama seperti sebelumnya.
Setelah memperhatikan sekeliling, aku melihat segerombolan orang-orang yang sedang mengendarai kuda dan beberapa gerobak untuk membawa barang-barangnya. Mereka berpakaian seperti orang jaman dulu, celana selutut, dengan kaos dalam serta rompi dan serban atau kain yang dibalutkan dikepala. Berbeda denganku yang memakai celana panjang dengan kaos polos berwarna biru serta jaket yang kupakai sebelum masuk kepusaran cahaya yang membawaku kesini.
Jaraknya sedikit jauh jadi aku memutuskan untuk mendekati mereka dengan berjalan dengan setenang mungkin. Aku menyembunyikan buku ku di balik pakaian ku karena aku tidak tahu seberapa penting itu untuk keberlangsungan hidupku disini. Setelah lumayan dekat aku memanggil mereka dengan suara yang tidak terlalu keras agar mereka tidak waspada terhadapku, "Hei!"
Sebagian dari mereka menoleh kearahku. Kemudian setelah saling berpandangan, beberapa orang dari mereka mendekatiku, sepertinya dia kepala rombongan ini.
"Siapa kau?" seorang lelaki yang terlihat sekitar umur 40 tahun-an menghampiriku. Diikuti dua orang, perempuan dan seorang anak laki-laki. Sepertinya mereka satu keluarga.
"A-aku, Jion," jawabku sedikit terbata-bata. Aku tidak menyangka bisa berkomunikasi dengan mereka.
"Sedang apa kau disini?" tanya dia kembali.
"Aku tidak tahu-, bukan, lebih tepatnya aku tidak mengerti kenapa aku bisa berada disini."
"Jawaban macam apa itu? Dan pakaian apa yang kau kenakan?"
"Ini pakaian normal dari tempatku berada."
"Benarkah? Apa kau diculik? Aku tidak pernah melihat orang dengan penampilan sepertimu."
"Mungkin, tapi aku tidak paham sama sekali dengan apa yang terjadi."
"Apa kau hilang ingatan?"
"Ti-tidak, bukan begitu.. Em.. uh.."
"Bisakah kau menceritakan apa yang terjadi padamu sebelum kau terdampar disini?"
"Sebelumnya...."
Aku menceritakan bagaimana aku terlempar dengan portal dari tempat yang jauh. Namun aku sengaja tidak membeberkan kalau aku berasal dari dunia lain atau apapun itu.
"Portal?! Maksudmu sihir teleportasi?! Aku baru tahu ada orang yang bisa menggunakannya."
"Si-sihir?! Apa itu lumrah di dunia ini untuk orang memiliki kemampuan sihir?"
"Tentu saja itu wajar, tapi tidak semua orang bisa menggunakannya. Bagaimana mungkin kamu tidak tahu hal sepele seperti itu."
"Tapi itu tidak wajar bagiku. Di tempat ku, hal-hal seperti kekuatan sihir dianggap takhayul."
"Itu sangat aneh."
"Hah? Apa yang kakak bicarakan? Aku nggak ngerti! Kalo kakak lagi pusing, tidur aja sana!" Anak laki-laki yang selama ini diam di belakang ayahnya, memotong ucapanku. Ya, siapa juga yang nggak bingung dengerin pembicaraan absurd ini. Sang Ibu meraih pundak anak itu untuk menenangkannya.
Setelah mendengar semua hal gila ini aku menghela napas untuk kesekian kalinya hari ini. Ayahnya mendekatiku, "Kalau begitu, begini saja, kau bisa menumpang kendaraan kami. Sepertinya kau bukan orang jahat. Tapi sebelum itu, aku ingin bertanya, apa kau pengguna kekuatan?"
"Kekuatan? Tidak, aku tidak punya kekuatan sihir."
"Bukan, bukan itu. Ini lebih ke kekuatan murni dalam tubuhmu yang dapat membuatmu menjadi lebih kuat."
"Aku tidak mengerti."
"Ayah, sepertinya dia hilang ingatan. Kakak ini sudah seperti orang gila saja."
Lagi-lagi anak itu bicara seenaknya.
"Hei, siapa yang kau bilang orang gila?!"
Untuk pertama kalinya, aku sedikit menaikkan nada bicara ku. Dengan situasi seperti ini, aku sudah seharusnya shock atau setidaknya ketakutan karena berada ditempat yang asing dengan hal-hal gila yang paman ini sampaikan tentang dunia ini.
Anak itu berlindung dibalik tubuh ibunya. "Sudah-sudah, sebaiknya kita berangkat saja. Ayo Rick kita naik duluan!" Ibu dan anak itu pergi menuju kereta kuda terlebih dahulu menyisakan aku dan paman.
"Ya, ayo nak, aku tidak tahu kau siapa, dan darimana. Tapi, aku tahu kau tidak berbohong. Mungkin saja aku dan keluargaku dapat membantu memecahkan masalahmu. Untuk sekaranf, ayo ikut aku! Kebetulan kami ada urusan di pasar ibu kota."
"Terima kasih, paman."
"Sama-sama, teman-teman, kita lanjutkan perjalanan!" Lelaki tadi berteriak kepada teman-temannya.
"Dia siapa?" salah satu pedagang bertanya. Lelaki tadi menjelaskan kepada temannya. Mereka mengernyitkan dahi mendengarkan penjelasan darinya namun sepertinya tidak ada yang keberatan mengingat paman sudah memutuskan untuk membantuku.
"Ayo, naik! Lama banget, sih!" anak laki-laki itu kembali berteriak.
Aku melangkah terlebih dahulu ke kereta mereka, diikuti lelaki tadi. Mereka melanjutkan perjalanan. Bukan, tapi aku juga. Sepertinya perjalananku juga akan dimulai dari sini. Aku tidak mengerti apa yang terjadi, tapi aku akan mencari tahu sendiri. Mungkin ini ada hubungannya dengan ayah dan pedang itu. Yah, mungkin saja.
"Aku minta maaf soal perilaku Rick. Dia memiliki watak yang agak keras dan tidak akrab dengan orang lain selain kami. Ngomong-ngomong, namaku Irdo dan ini istri ku Amira. Kami adalah sekelompok pedagang dari desa Uthia yang akan menuju ibu kota untuk berbisnis dengan orang-orang disana, terutama para bangsawan."
"Ya, tidak masalah. Yang lebih penting, apa tidak apa-apa bagi paman untuk membawa orang asing sepertiku?"
"Aku juga pernah berada dalam keadaan hidup mati saat masih muda. Dan orang-orang terdekatku selalu membantuku, jadi aku merasa tidak enak jika meninggalkan seorang pemuda dalam keadaan yang mengkhawatirkan di tempat terpencil seperti itu."
"Jadi begitu, terima kasih banyak paman. Aku tidak akan pernah melupakan kebaikan paman sampai kapanpun."
"Yah, tidak usah dipikirkan, sebaiknya kau beristirahat saja. Perjalanan menuju pusat kota akan memakan waktu sekitar satu hari."
"Baiklah, kalau begitu aku akan beristirahat beberapa saat."
***