Sejak semalam Liora menjadi sedikit menjaga jarak dengan Liam. Masih mengingat pembicaraan sang suami yang berisi macam kecurigaan. Meskipun tidak begitu yakin, tetapi Liora percaya bahwa suaminya bukan hanya seorang Liam. Seperti yang ia dengar tadi malam, Liam seolah melakukan sesuatu yang buruk.
Gadis itu menggeleng cepat. "Tidak mungkin," gumamnya.
Ia memasukkan potongan sayur hijau ke dalam panci panas di atas kompor. Sembari memikirkan tentang suaminya yang menimbulkan rasa curiga di lubuk hati. Sampai pada suara deheman dari belakang membuat ia sedikit tersentak.
Liora tersenyum. "Bibi, selamat pagi."
Diomira menundukkan kepala perlahan, lantas di angkat kembali. "Selamat pagi, Nona."
"Bi, hari ini aku yang memasak."
"Tetapi, kenapa Nona terlihat melamun tadi?" tanyanya.
"Ah, tadi hanya ... sedikit memikirkan sesuatu, Bi." Sembari tersenyum kikuk.
Liora kembali melanjutkan adukan sayur di panci perlahan.
"Nona sedang memikirkan Tuan Muda?"
Tepat sekali, sepertinya Diomira mudah menebak suatu hal atau mungkin ia bisa membaca pikiran.
Seketika kalimat tersebut membuat Liora berhenti mengaduk. Jantungnya sudah tidak karuan hanya karena ketangkap basah memikirkan Liam.
Melihat reaksi diam sang Nyonya membuat Diomira sedikit terkekeh.
"Tidak apa-apa. Memangnya apa yang salah memikirkan suami sendiri?"
Mendapat sentuhan pelan di bahu, Liora mengalihkan pandang pada kepala pelayan. Tidak lama Diomira mengambil adukan dari tangan Liora kemudian di lanjutkan mengaduk dengan tangannya sendiri.
"Nona, lebih baik Anda membangunkan Tuan Muda di ruang kerjanya sekarang."
"Huh?" Bola mata melirik.
Diomira mengangguk dan berkata, "Tuan Muda tidur di ruang kerjanya. Biasanya, dia terlalu lelah hingga memilih tidur di ruangan itu."
Liora baru ingat bahwa Liam tidak tidur di kamar, ternyata pria itu tertidur di ruang kerjanya sendiri. Sepertinya, Liam memiliki banyak sekali pekerjaan sehingga membuat dia berkutat dengan dokumen sampai malam. Padahal, tujuan pulang dari kantor untuk istirahat.
"Baik, Bi. Aku akan bangunkan dia."
Segera ia berbalik dengan niatan menuju ruang kerja Liam yang besar tersebut. Bahkan, Liora merasa bahwa ruang kerja suaminya lebih besar daripada sebuah kamar di rumah itu.
Ia berhenti di depan pintu, bingung antara masuk atau mengetuk lebih dulu. Tetapi, Liora berpikir bahwa Liam pasti masih tidur dan ia tidak ingin menganggu. Alhasil, dengan keberanian terkumpul tangan putihnya menekan gagang pintu lebar tersebut.
Seperti yang ia pikirkan, Liam masih tidur nyenyak di atas sofa panjang depan meja kerjanya. Melangkah perlahan mendekati sang suami, lalu menumpu lutut pada lantai beralaskan karpet merah tua berbulu di bawah sofa hitam itu. Ia menatap lekat wajah suaminya, kedua mata tertutup rapat dengan bulu mata lumayan panjang, alis sedikit tebal, hidung mancung, di tambah kumis tipis di bibir atas.
Rupawan wajah sang suami bisa dengan jelas Liora amati. Suatu hal yang mungkin langka bisa menatap Liam yang tenang. Tanpa sadar Liora tersenyum malu, dalam benaknya terasa bahagia.
"Andai saja seperti ini setiap hari. Pasti hariku tidak membosankan. Beruntung sekali wanita yang bisa di cintainya."
Tiba-tiba Liora langsung berpaling menatap tajam bingkai foto yang masih terpajang rapi di atas rak buku di belakang sofa. Bingkai foto lumayan besar sehingga ia bisa melihat dengan jelas perempuan itu tersenyum sangat manis. Sama seperti pertama kali Liora menemukannya.
"Kau yang di cintainya. Kenapa aku yang dapat?" gumamnya.
Ia berdiri kemudian mendengus. "Huft! Aku tidak tahu harus menyesal atau senang. Kekasihmu ini sedikit menyebalkan." Mengambil langkah mendekati bingkai foto tersebut.
"Ah, bukan. Mantan kekasih, kurasa. Aku juga tidak tahu harus berterimakasih padamu atau tidak."
Satu alisnya terangkat. "Tapi yang pasti, karena dia aku bisa selamat."
Beberapa menit menatap foto Camille, gadis itu segera menggeser gorden besar berwarna cokelat tua di jendela sebesar itu. Lumayan berat karena memang gordennya tebal dan panjang untuk digeser.
Matahari menyeruak masuk menimbulkan satu pria di sana yang terusik. Kedua mata menatap sinar dengan ragu sampai sepenuhnya sadar dan membuat ia terbangun dari terbaringnya.
Liora belum tahu bahwa suaminya telah bangun, karena ia masih berkutat dengan gorden cokelat untuk sedikit di rapikan.
"Ekhem!" Sampai pada deheman serak membuat gadis itu tersentak.
Ia berbalik cepat mendapati Liam yang sudah berubah duduk pada sofa. Beberapa menit mereka saling menatap sampai Liam berhasil menghancurkan tatapan tersebut.
Liam berdiri dan bertanya, "Sedang apa kau di sini?"
"A-aku ... aku ingin membangunkanmu. Bukankah, kau harus bekerja hari ini?"
Pria itu menutup mata sejenak lantas membukanya lagi. Berjalan menuju meja kerja dengan tangan yang langsung menyentuh dokumen-dokumen di sana.
"Jika tidak ada keperluan lagi, kau boleh keluar."
Tanpa menatap Liora, ia mengatakan hal tersebut. Si gadis tersadar dan langsung mengangguk.
"Eum, sebentar lagi makanan sudah siap."
Namun, hanya deheman sangat pelan yang Liora dengar. Suaminya masih fokus berkutat dengan kertas-kertas dalam genggamannya itu. Ia menghembuskan nafas dengan raut wajah sedikit kecewa di depan pintu ruang kerja Liam.
"Baru saja terbangun, tapi sudah bekerja lagi. Apa dia orang yang gila kerja?"
Semakin lama Liora semakin berani untuk bicara dan berpendapat tentang apapun yang terjadi di rumah itu. Meskipun Liam bersikap dingin, tetapi ia yakin sang suami pasti akan menatap padanya suatu saat nanti.
Namun, ada sesuatu yang harus Liora ketahui. Siapakah sebenarnya sosok Liam Mallory?
Liora penasaran, mungkin saja suaminya memiliki suatu hal atau pekerjaan yang ilegal. Kecurigaan akan terus berlanjut dan kebenaran akan terungkap.
Cklek.
Pintu terbuka sekaligus menjadi pemecah pikiran si gadis yang masih berdiri di depan ruangan. Liam mengerut menatap sang istri kemudian melanjutkan menutup pintu.
Ia menghela nafas pelan. "Seperti biasa, selalu menguping."
Suara serak bernuansa datar tanpa menatap lawan bicara. Liora membulatkan kedua mata sontak menatap sumber. Raut wajah gadis itu sedikit ada kekesalan.
"A-aku tidak menguping."
Liam tersenyum menarik satu sudut bibir. "Dan jawabannya selalu sama. Maling tidak pernah mau mengaku," ucapnya sembari menggeleng-gelengkan kepala.
Semakin membuat Liora geram, ia menatap Liam dengan kesal.
"Aku bukan maling."
Sang suami pun berbalik, menatap dingin. Kakinya perlahan melangkah, sedangkan Liora berjalan mundur.
"Lalu, kenapa kau suka sekali berdiri di depan pintu? Terlebih lagi, di dalamnya ada aku."
Liora menggelengkan kepala, masih dalam keadaan mundur dan telak berhenti di belakang pintu kayu bergaya klasik tersebut. Liam ikut berhenti, jarak mereka sangat dekat. Bahkan, Liora bisa merasakan hembusan nafas pria itu.
"Ah, kau sengaja menungguku?"
Si gadis menunduk kala mendapati tatapan seringaian dari sang lawan.
"Aku ... hanya memikirkan sesuatu. Ja-jadi, belum sempat pergi. Maaf." lirih pada kata terakhir.
Seketika tatapan Liam mendingin, tajam seakan menusuk Liora yang merasakan itu.
"Aku tidak suka. Jangan berdiri di depan ruang kerjaku. Jangan masuk ke dalam tanpa mengetuk dan tanpa izinku."
Liora mengangguk cepat tanpa memandang. Detik kemudian Liam berjalan mundur dan berlalu menaiki tangga tanpa bicara apapun lagi.
"Huft! Selamat untuk hari ini." Mengelus dada yang sejak tadi jantungnya berdetak cepat.
"Kenapa dia terlihat menyeramkan ketika berubah menjadi sangat dingin? Kalimatnya pun terdengar horor."
Ia lebih suka pembicaraan yang biasa saja atau mungkin penuh canda tawa. Tetapi, jika dengan Liam mungkin sangat langka atau tidak akan pernah terjadi pria itu tertawa sambil bicara.
Pandangan Liora mendapati pria tua yang baru saja masuk ke dalam rumah.
"Oh, paman Xavier!"
Diikuti pelarian kecil, Liora menghampiri Xavier yang berhenti berjalan kala mendengar sang Nyonya memanggil.
"Iya, Nona."
"Paman, boleh aku bertanya sesuatu?"
Xavier mengangguk. "Silakan, Nona."
Liora tersenyum sumringah kala mendapat izin bertanya.
"Aku ingin tahu, apakah benar tadi malam terjadi kecelakaan?"
"Benar, Nona." Xavier mengangguk.
"Eum, kalian terlihat baik-baik saja. Bagaimana peristiwa itu?"
Diawali rasa bingung oleh Xavier, pasalnya Liora terdengar mengintrogasi. Namun, Xavier akan tetap menjawab sebab ia juga menjadi asisten Nyonya Liora.
"Iya, Nona. Kami baik-baik saja. Tetapi, korban masih dalam keadaan koma setelah operasi selesai tadi pagi."
Mendengar penjelasan Xavier membuat Liora sedikit yakin bahwa peristiwa kecelakaan sungguh terjadi.
"Dia ada di rumah sakit sekarang dan dalam keadaan koma?"
"Iya, Nona. Sebenarnya, saya salah karena tidak sengaja menabraknya. Jadi, kami membawa dia ke rumah sakit untuk bisa di tangasi dengan cepat." Di barengi anggukan Xavier lagi.
Jawaban Xavier persis sama dengan penjelasan Liam. Ternyata benar, Xavier menabrak orang itu dan mereka membawa ke rumah sakit.
"Ternyata benar," gumamnya.
"Iya? Ada apa, Nona?"
Liora tersadar dan langsung menggeleng cepat. "Ah, tidak apa-apa, Paman. Terimakasih sudah menjelaskan semuanya."
Gadis itu menunduk pelan untuk membalas atas jawaban kepada Xavier.
"Sekarang aku mengerti. Ternyata, aku hanya salah paham padanya."
Diomira hadir seraya tersenyum simpul. "Nona, salah paham dengan pasangan itu memang ada."
Liora mengangguk penuh arti.
"Tetapi, di dalam sebuah hubungan harus ada kepercayaan satu sama lain. Mereka berdua harus saling percaya, agar mengurangi kesalahpahaman. Selain itu, setiap pasangan tetap membangun sebuah kejujuran. Jujur dan percaya itu hal yang sangat penting di dalam sebuah hubungan, terutama suami dan istri."
Mendengar nasihat Diomira semakin membuat Liora mengerti bahwa ia harus percaya dan jujur kepada sang suami. Kepercayaan menjadi bagian terpenting dalam sebuah hubungan hakikat cinta dua insan.
"Aku mengerti, Bi. Aku akan meminta maaf padanya karena sudah tidak percaya dan salah paham."
"Tapi, Nona—"
"Paman, Bibi, aku temui dia."
Wajah sumringah dengan penuh senyuman lebar Liora tunjukkan seraya sedikit berlari tanpa memutuskan menatap dua orang yang di tinggalnya. Tidak sadar bahwa ada seseorang yang berjalan di hadapan yang mana mereka tidak saling melihat jalan.
"Bi, dimana da—"
Dug!
Sampai pada suara tubrukan sekaligus jatuhnya dua insan dengan tidak sengaja. Pada lantai putih di ruang tamu, Liam terbaring dengan Liora yang menindihnya. Namun, bukan itu yang menjadi kejutan untuknya dan juga bagi saksi peristiwa di sana. Ada sesuatu yang seketika membuat jantung Liam berdetak kencang tanpa tahu cara mengendalikannya.
"Nona Liora mencium pipi Tuan Muda?"
•