Chereads / Savior Husband / Chapter 10 - Bagian 10 : Curiga

Chapter 10 - Bagian 10 : Curiga

Hampir jam 12 malam mobil Liam melaju jalan raya untuk pulang. Di temani Wyman yang bertugas sebagai sopir di depan. Terkadang asisten pribadinya itu sangat dibutuhkan Liam bahkan bisa menjadi sopir jika Liam memiliki pekerjaan jauh. Hanya pria tua itu yang Liam percaya, Xavier Wyman sangat teliti dan juga bisa menjaga rahasia.

Liam masih berkutat dengan tablet hitam dalam genggaman, pekerjaan menyita waktu siang dan malamnya. Sehingga tidak bisa mendongak hanya sekedar melihat jalanan kota di malam hari dengan lampu temaram yang sedikit bisa membuat tenang.

Bunyi rem mendadak sekaligus posisi Liam yang langsung menjorok ke depan membuat ia terkejut dan langsung mendongak.

"Wyman, apa yang terjadi?" tanyanya.

"Maaf Tuan, sepertinya saya menabrak seseorang." Wyman terdengar sedikit cemas.

"Apa?" Liam mengerutkan alis.

Pria itu membuka jendela dan melihat hanya ada kaki yang bertengger dekat depan mobil.

"Periksa dia."

Wyman mengangguk lalu segera membuka pintu mobil dan mengecek keadaan di depan kendaraan mereka. Liam yang penasaran juga perlahan keluar mobil dan menghampiri. Menatap Wyman yang tengah memeriksa nafas seorang pria yang terbaring menghadap kiri itu.

Berkaos putih, namun kotor disebabkan tanah. Celana hitam panjang dengan postur tubuh tidak terlalu tinggi dan hanya menggunakan selop hitam di kaki. Wajahnya tidak terlihat karena pria asing itu terbaring menghadap ke kiri menyembunyikan wajahnya.

"Tuan, dia masih bernafas."

Liam meneliti dari kepala sampai kakindan juga menerka-nerka siapa agaknya pria asing yang sengaja menghentikan mobil Liam di tengah malam. Keadaan yang tidak baik di tambah pria itu tidak sadarkan diri. Di tengah penelitian tatapan tajam Liam, seketika tubuh pria tersebut berpaling di barengi suara ringisan kesakitan.

Wyman terkejut kala melihat tangan pria itu yang bertengger di pinggang kiri penuh darah. Segera Wyman mendekat dan memeriksa bahwa bagian pinggang pria tersebut terluka parah, bahkan terlihat karena tertembak.

"Aaakh!" Pria itu memekik tertahan.

"Sepertinya, dia tertembak, Tuan."

Si pria hanya sedikit menggerakkan tubuhnya. Liam menatap Wyman yang belum bergerak.

"Bawa dia ke mobil. Kita ke rumah sakit sekarang."

Wyman langsung beralih. "Tapi, Tuan ..."

Liam mendekati orang asing itu dan berusaha mendudukkannya. Terdengar ringisan sakit sembari tangan si pria menyentuh pinggangnya yang berdarah.

Liam merogoh saku celana dan mengeluarkan kain hitam, mencoba untuk menahan pendarahan dari pinggang pria tersebut. Ia melakukan pertolongan pertama dalam korban penembakan.

"Dia terluka parah, cepat!"

Penegasan terdengar dari suara serak Liam, secepat kilat Wyman mematuhi dan mereka berdua mengangkat korban tersebut ke dalam mobil.

Wyman mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi mengingat rumah sakit lumayan jauh dari tempatnya berada. Berjarak kurang lebih 20 menit akan sampai, tetapi sebelum 10 menit mereka sudah sampai di rumah sakit.

Liam bergerak guna menopang lengan orang itu untuk masuk ke dalam rumah sakit sehingga di jumpai perawat dan langsung mendapat penanganan oleh dokter.

Pria itu mendengus seraya berdiri di depan ruangan, tanpa sadar Wyman sudah menghampiri.

"Tuan, Anda baik-baik saja?"

Liam mengangguk pelan, kemeja putihnya terdapat beberapa bercak darah pria asing itu. Namun, ia menghiraukan dan lebih memilih menunggu hasil pemeriksaan.

"Tuan Liam, sebaiknya Anda pulang terlebih dulu saja."

"Tunggu Wyman, tunggu sampai dokter memberikan kabar."

Wyman menurut dan hanya bisa mengangguk diam. Sebenarnya ada rasa curiga tentang pria tersebut, tetapi Tuan Mudanya yang dingin itu memiliki perasaan untuk menolong orang asing yang tertembak. Terkadang Wyman sangat kagum, namun juga tidak jarang sikap Liam membuatnya tidak habis pikir.

Liam menengok jam tangan di perpegelangan sudah menunjukkan pukul 1 pagi. Bersamaan dengan pintu yang terbuka dan dokter yang sangat Liam kenal menghadap.

"Bagaimana keadaannya?"

"Pria itu mengalami pendarahan hebat, dia membutuhkan banyak darah. Kami akan melakukan operasi."

"Pastikan berhasil, dia harus hidup."

Setelah mengatakan itu, Liam berlalu pergi meninggalkan dua orang di sana. Wyman tersadar dan langsung berpamit mengikuti sang majikan.

Kurang lebih 30 menit mereka berdua sampai di rumah besar. Suasana sepi dan mencekam, pintu besar itu terbuka lebar dengan pelayan yang sudah berbaris rapi menyambut kepulangan Liam.

Kemeja putih dengan lengan dilipat sampai siku di tambah bercak darah pada kemeja tersebut menimbulkan banyak pertanyaan dari penghuni rumah. Tidak luput Liora yang tengah menatap terkejut sang suami datang dengan bercak-bercak darah di kemeja kerjanya.

Diomira menghampiri dan bertanya, "Tuan, apakah terjadi sesuatu?"

"Hanya kecelakaan kecil."

Liam membalas cepat dan langsung menaiki tangga menuju kamar tanpa menoleh sedikit pun pada Liora yang berdiri tepat di depannya.

Diomira menatap Wyman yang baru datang. "Kecelakaan? Apa dirimu tidak bisa menyetir dengan benar?" Seolah menuntut pria tua itu.

"Seperti yang Tuan Muda katakan, hanya kecelakaan kecil."

Diomira terlihat khawatir dari raut wajahnya, sedangkan Wyman hanya menghembuskan nafas.

Berbeda dengan Liora yang sudah berlari guna menghampiri sang suami. Namun, ternyata Liam masih membersihkan diri di kamar mandi. Menyisakan kemeja putih dengan beberapa bercak darah itu di lantai. Liora perlahan mengambil kemeja tersebut, tangannya gemetar dan ada perasaan takut.

Meneliti cairan merah di kemeja, menyentuh, dan benar bahwa itu adalah darah.

"Kenapa banyak darah? Apa dia juga terluka?" gumamnya.

Bersamaan dengan pintu kamar mandi yang terbuka, Liora terkejut dan langsung menjatuhkan kemeja kembali ke lantai. Liam keluar hingga sedikit tersentak akan keberadaan sang istri di depan kamar mandi. Pria itu hanya menggunakan handuk dari pinggang sampai lutut tanpa pakaian di tubuh, surai dan wajah masih basah terkena air.

Liora memalingkan wajah, sedangkan Liam hanya melewati tanpa menoleh lagi.

"A-apakah kau terluka?" tanyanya.

Atensi sedikit melirik Liam yang berjalan menuju lemari baju. Sehingga pria itu mengambil kaos hitam dan memakainya tanpa peduli akan keberadaan Liora yang sudah memejamkan kedua mata seraya membelakangi sang suami.

"Apa aku terlihat terluka di matamu?"

Liora menggeleng, menimbulkan tatapan datar dari pria di belakangnya.

"Seperti yang kau lihat. Aku sangat baik," tungkasnya.

Gadis itu mengangguk satu kali, ia masih menunggu dan menerka-nerka apakah Liam sudah selesai berganti baju. Namun, ia tidak berani bertanya apalagi berbalik.

Sampai pada detik selanjutnya Liam sudah ingin pergi, hingga sudut mata Liora dapati. Ia segera menghentikan sang suami.

"Tu-tunggu!"

Pria yang menggunakan kaos hitam lengan panjang dan jeans hitam itu berhenti. Tanpa berbalik ia menunggu sebuah pembicaraan dari seseorang yang memanggil.

Liora mendekat dengan langkah pelan. "A-apakah semua baik-baik saja? Kau bilang bahwa ada kecelakaan. Bagai-"

"Wyman menabrak seseorang saat menyetir tadi."

Gadis itu membulatkan kedua mata. "Lalu, bagaimana keadaannya?"

Liam memandang sang istri. "Di rumah sakit, sedang di operasi."

Jika korban sampai di operasi, Liora berpikir bahwa kecelakaannya sangat keras. Tapi, Liam berkata dia baik-baik saja dan tidak terluka.

"Apa kecelakaannya sangat keras sampai orang itu di operasi?"

Liam menghela nafas. "Jika kau tidak tahu apapun. Diamlah."

Setelah itu sang pria pergi begitu saja, keluar dari kamar dengan langkah lebar. Meninggalkan Liora yang seketika membungkam bibir untuk tidak bersuara. Detik kemudian ia mencebik kesal, suaminya masih saja dingin. Ia hanya ingin tahu keadaan Liam, tapi pria itu tidak mendukungnya sama sekali.

Segera Liora mengejar si pria menuruni tangga, sudah banyak makanan di atas meja. Tetapi, belum ada batang hidung Liam duduk di kursi biasanya. Pandangan Liora mengelilingi isi rumah hingga Diomira hadir membawa dua gelas untuk di letakkan di atas meja.

"Bibi, dimana dia?" tanyanya dengan berbisik.

Diomira menatap dan menunjuk pada arah pintu lebar kolam renang yang terbuka. Liora tersenyum dan melangkah menghampiri Liam yang sudah terlihat bahwa pria itu tengah berdiri.

Dekat pintu Liora bersandar guna menatap punggung pria yang berdiri di tepi kolam itu. Liam sedang menelpon seseorang dan Liora mendengar jelas suaranya.

"Pastikan dia masih hidup."

Seketika Liora mengerut bingung, bersamaan langkahnya yang semakin dekat.

"Lakukan apa saja untuk dia tetap hidup. Jangan sampai ada kesalahan."

Gadis yang masih bertengger dekat pintu itu menyipitkan kedua mata menatap Liam.

"Siapa yang harus tetap hidup? Sebenarnya, dia sedang membicarakan apa?" lirihnya.

"Dia tertembak dan kau harus menemukan pelurunya setelah operasi. Ingat, cari tahu tentang pria itu dan bawa hasilnya padaku besok sore."

"Tertembak?" gumam Liora, raut terkejut sangat kentara.

Di tambah tangannya gemetar guna meraih bibir yang juga gemetar.

"Carlos, jika dia sadar maka jangan sampai dia melapor pada polisi."

Seketika Liora memalingkan wajah ke arah lain, takut mendengar lebih dalam. Sekaligus curiga apa yang sedang di lakukan oleh Liam. Pembicaraan tentang tertembak, peluru, polisi. Kata operasi juga hadir, sama seperti yang Liam katakan bahwa korban kecelakaan itu di operasi. Tetapi, yang ia dengar sekarang adalah korban tembakan.

Pria itu pulang dalam keadaan banyak darah di kemeja, mengatakan bahwa hanya kecelakaan kecil, dan korbannya sedang di operasi. Namun, sekarang yang ia dapat berbeda dari cerita Liam beberapa menit yang lalu. Apakah pria itu berbohong soal kecelakaan?

Lalu, siapa seseorang yang tertembak?

Liora menjadi curiga bahwa suaminya bukan hanya sekedar orang kaya, apalagi pemilik perusahaan Lory. Di tambah mengingat perkataan Xavier bahwa Liam adalah orang yang sangat penting, bahkan rumahnya saja dijaga begitu ketat seolah tidak boleh ada yang tahu. Sebenarnya, siapa suaminya itu?

"Sedang apa kau di sini?"