Siang hari sudah tenggelam, di gantikan jam yang menunjukkan pukul setengah 8 malam. Sehabis membersihkan diri, gadis bersurai sebahu itu membuka pintu kamar perlahan. Menengok kanan dan kiri yang tidak ada tanda-tanda penghuni. Kemudian menapak kaki keluar pintu, mengerutkan kedua alis kala merasakan suasana yang sepi.
"Kenapa sepi sekali?"
"Nyonya."
Panggilan yang sontak membuat Liora mengendikkan kedua bahu. Segera berbalik mendapati Grizel yang tersenyum dengan sirat bahagia.
"Nyonya, terima kasih atas segalanya."
Pelayan itu terus membungkuk di hadapan Liora.
"Nyonya, saya sangat berterima kasih karena masih mengizinkan saya bekerja disini. Anda telah menyelamatkan saya, Nyonya."
Grizel menatap dengan mata berkaca-kaca, membungkuk lagi tanda hormat. Hingga kedua tangan Liora menghentikan dengan menahan kedua bahu pelayan tersebut.
"Grizel, apa yang kau lakukan?"
"Sa-saya hanya bisa berterima kasih kepada Nyonya karena telah menerima saya kembali di sini. Jika tidak ada Nyonya, sa-saya—"
"Memang seharusnya begitu, kau tidak salah. Jadi, jangan menyalahkan dirimu karena aku. Kau tidak berhak pergi dari sini. Aku tidak akan punya teman untuk mengobrol."
Si pelayan menangis menatap Liora, ia mengusap air mata di kedua pipi. Sang Nyonya sudah menyelamatkannya hingga tidak dipecat.
"Aku bersyukur kau baik-baik saja. Dia benar-benar mengabulkan permintaanku."
Liora tersenyum disela bicaranya, wajahnya hampir memerah. Lalu beralih menatap Grizel yang masih sibuk dengan tangisnya. Ia menepuk pelan bahu pelayan itu dengan tangan kanan sembari mengangguk-anggukkan kepala dan senyuman tipis.
"Semua akan baik-baik saja."
Grizel sedikit terkekeh, ia mengusap air mata di pipi.
"Apakah kaki Nona sudah membaik? Bibi Diomira mengatakan bahwa Anda terjatuh di kamar mandi."
Gadis itu menggeleng cepat. "Tidak apa-apa, kaki ku sudah sembuh."
"Sungguh, Nona?" Grizel memperjelas.
Liora hanya mengangguk-anggukkan kepala dengan semburat senyum malu di wajahnya. Grizel menyadari bahwa sepertinya suasana hati sang Nyonya sangat baik.
"Ah, Grizel. Apakah dia yang memberitahu bahwa kau tidak jadi
dipecat?"
Pelayan menggeleng. "Bibi Diomira yang memberitahuku. Semua karena Nyonya telah membujuk Tuan muda untuk mempertahankan saya di sini."
Lagi Grizel membungkuk dalam. "Terima kasih, Nyonya."
Liora menghela nafas dan tersenyum. Kemudian beralih memandang semua tempat di sekitar.
"Eum, Grizel."
"Iya, Nona?"
"Apakah sudah makan malam?"
Grizel mengangguk. "Makan malam sudah siap, Nona."
Liora mengangguk lagi. "Apakah dia sedang menungguku?" tanyanya dengan penuh hati-hati.
Sedikit malu sembari menatap ke arah lain. Sedangkan Grizel hampir terkekeh, tapi ditahan.
"Tuan muda sudah makan malam, Nona. Hanya Anda saja yang belum."
"Apa?!" Liora langsung menatap terkejut.
Berharap Liam menunggunya untuk makan malam bersama. Tetapi, pria itu sudah makan malam lebih dulu.
"Sepertinya Tuan Liam sangat banyak pekerjaan, karena sehabis makan malam beliau langsung pergi ke ruang kerjanya dan belum keluar sampai sekarang."
Liora menghela nafas pelan, kemudian mengangguk.
"Baiklah. Tidak apa-apa."
Suasana makam malam terkesan sangat sepi, seperti biasanya yang penuh diam. Namun, kini sedikit berbeda karena tidak adanya Liam. Hanya Diomira dan Grizel yang menemaninya makan.
Hingga satu pelayan tidak sengaja berjalan melewati tepat di depan Liora. Segera gadis itu hentikan kala melihat pelayan itu membawa nampan berisi secangkir kopi dan beberapa potongan buah.
Liora berdiri. "Itu ... untuk siapa?"
Pelayan yang bernama Bonanza membungkuk kemudian mengatakan, "Untuk Tuan Liam, Nona."
Gadis itu berlari kecil menghampiri. "Biar aku saja yang mengantarnya."
Ingin kedua tangan meraih, tetapi pelayan itu bicara.
"Ta-tapi, Nyonya ..." Bonanza sedikit melirik sang kepala pelayan yang mengangguk.
Hingga Bonanza juga langsung mengangguk perlahan.
"Baiklah, Nyonya."
Dengan semangat Liora menerima nampan tersebut. Ini adalah rencana kedua untuk mendekati Liam melalui sebuah kopi kesukaannya. Sedikit menghembuskan nafas kemudian mengetuk pintu ruang kerja sang suami.
Terdengar arahan untuk segera masuk, Liora membuka pintu lantas langsung bersetatap dengan kedua bola mata biru seseorang yang tengah duduk di kursi kerja.
Liam mengerutkan alis mendapati Liora semakin berjalan menghampiri dan membawa sebuah nampan.
"A-aku membawakanmu kopi dan buah."
Pria itu tersadar, langsung berdehem dengan suara seraknya. Ia mengalihkan fokus pada dokumen kerja di atas meja.
"Taruh saja di situ," balasnya.
Liora mengangguk lalu meletakkan kopi dan sepiring kecil buah di atas meja kerja suami. Ia sedikit mengulas senyum meskipun Liam tidak melihat.
"A-apakah kau sibuk?"
"Apa kau tidak lihat, aku sedang apa?" balasan sedikit dingin yang didapat.
Namun, Liora tetap memaksa untuk menyapa lagi walaupun pria itu tidak menatapnya.
"Aku ... belum mengucapkan terima kasih padamu."
"Untuk?" Liam masih sibuk dengan mencoret kertas-kertas dokumen di hadapan.
Liora mengalihkan pandang pada jendela di belakang Liam yang menyuguhkan pemandangan taman indah dengan gugup.
"Kaki ku sudah sembuh, itu karena dirimu. Dan juga ... kau tetap mempertahankan Grizel untuk bekerja di sini. Terima kasih."
Hanya di balas deheman tanpa tatapan.
"Jika tidak ada yang perlu di bicarakan lagi. Silakan keluar, aku masih banyak pekerjaan."
Dengan cepat gadis itu mengangguk kala mendengar suara serak suami.
"B-baiklah. Selamat bekerja."
Segera Liora berbalik dan berjalan menuju pintu, membuka lantas keluar ruangan. Meninggalkan Liam yang langsung berhenti menggerakkan pena di atas kertas dokumennya.
Pria itu mendongak menatap pintu yang sudah tertutup rapat, kemudian mendengus sembari menyandarkan punggung pada sandaran kursi.
•••
Setelah pengantaran kopi dan bicara dengan sang pria menimbulkan rasa girang dalam diri Liora. Pagi-pagi sekali melanjutkan segala rencana di awali dengan membuat sarapan untuk sang suami. Sudah pernah ia lakukan, tetapi kali ini berbeda penuh dengan semangat, niat, dan juga keberanian.
Liora yakin bahwa semakin lama, Liam akan lebih banyak bicara padanya. Pria itu akan menganggap bahwa dia memiliki seorang istri. Setelah beberapa malam Liora memikirkan segala hal tentang hidupnya sekarang dan memutuskan bahwa ia menerima semuanya termasuk menjadi istri Liam Mallory.
"Selamat pagi, Tuan."
Salah satu pelayan menyapa kepada sang majikan yang baru menuruni tangga. Liora segera menoleh setelah meletakkan segelas air di atas meja. Kemudian tersenyum simpul meskipun sang suami tidak menatap.
Liam duduk pada kursi ujung, ia juga menerima sepiring nasi yang diletakkan Liora di hadapan. Kemudian mulai mendapat satu suapan dengan rasa yang sedikit berbeda dari biasanya. Liam langsung tersadar bahwa sang istri yang memasak. Sedikit berdehem lalu melanjutkan suapan kedua.
"Bagaimana rasanya?" Liora menatap dengan seulas senyum.
Sedangkan yang ditatap hanya mengangguk tanpa membalas apapun. Liora kembali berkutat pada kegiatan makannya. Ia berharap Liam menyukai masakannya, pria itu suka makanan yang berkuah sudah pasti Liora membuatnya.
Tidak lama sarapan selesai, Liam langsung berdiri. Diikuti Liora kala melihat Liam fokus dengan ponsel, gadis itu meraih tas kerja suami di atas meja.
"Biar aku antar sampai depan rumah."
Liam mengalihkan pandang guna mencari asisten Wyman, namun ternyata pria tua itu tengah berada di luar rumah. Dengan canggung ia mengangguk dua kali, kemudian melangkah meninggalkan Liora yang sudah kegirangan.
Secepat kilat sang istri menyerahkan tas kerja lantas berkata, "Hati-hati di jalan."
Namun, Liam hanya berdehem tanpa menoleh. Berlalu mengabaikan lambaian tangan dan senyuman istrinya hingga mobil sudah keluar dari kawasan rumah besar.
Di sisi Liora masih tersenyum senang, melihat mobil sudah menghilang. Segera masuk ke dalam rumah dan meloncat-loncat dengan pekikan kecil. Baru satu kali pria itu tidak bersikap dingin hari ini, hanya sedikit diam dengan wajah yang ramah.
"Nona."
"Bibi!" Liora memekik dan langsung berhambur mendekati Diomira.
"Apakah tadi bagus? Dia sedikit lebih ramah, kan?"
Diomira dan Grizel yang melihat hanya bisa terkekeh seraya mengangguk-anggukkan kepala. Mendapati sang Nyonya yang terlihat sangat bahagia disebabkan oleh suaminya sendiri.
"Grizel, kau lihat tadi dia sangat ramah, kan? Yah, meskipun tidak menjawab pertanyaanku. Tapi, raut wajahnya tidak dingin. Bahkan terkesan menerima apa yang aku lakukan untuknya."
Mendengar rentetan kalimat itu membuat Grizel mengangguk saja seraya ikut tersenyum bahagia.
"Bagus, Nona. Rencana Anda berhasil hari ini." Di tambahi dua jempol tangan Grizel.
Gadis itu mengangguk dengan kedua pipi yang sejak tadi memerah. Malu tapi sangat bahagia sekaligus rencananya hari ini berhasil untuk tidak mendapat tolakan dari suami.
Semua pelayan sudah membereskan meja makan. Hanya Liora saja yang masih duduk diam di kursi dengan kedua siku bertumpu di meja guna menopang dagu.
"Besok harus lebih giat lagi," gumamnya dengan ulasan senyum.
Melihat ke ruang kerja Liam yang terbuka, ia berlari menghampiri. Sedikit mengintip dan mendapati Diomira di rak buku dan posisi Grizel tengah merapikan meja kerja Liam.
"Bibi, Grizel."
Sang empu langsung menoleh, sudah lebih dari 10 menit mereka membersihkan ruang kerja Liam yang luas itu.
"Kalian sedang apa?" tanyanya.
"Membersihkan ruang kerja Tuan Liam, Nona."
Diomira menjawab lantas melanjutkan mengelap rak besar di ruangan itu. Liora mendekati Grizel yang masih berkutat dengan beberapa buku di atas meja tersebut.
"Kau membersihkannya?"
Grizel mengangguk. "Iya, Nona."
Liora sebentar mendiamkan hingga tatapan beralih mengelilingi ruangan.
"Ruangannya luas sekali." Ia bergumam.
"Dan banyak lemari buku di sini, seperti ruang kerja seorang raja yang memimpin rakyatnya. Suasana dan semua yang ada di sini terlihat klasik, tapi indah."
Grizel terkekeh mendengar kalimat sang Nyonya, ia kemudian menghentikan kegiatan.
"Tuan memang seorang raja, Nona."
"Huh?" Liora terkejut dan langsung menatap Grizel.
Sedang yang ditatap tersenyum. "Raja di rumah ini." Diikuti kekehan kecil Liora.
"Tuan Muda sejak kecil memang sudah seperti pangeran. Segala sesuatu harus sempurna di matanya. Tapi, beliau juga seseorang yang tegas dan baik hati."
Liora tersenyum mendengar Diomira berbicara. Semua pelayan di rumah ini percaya pada Liam meskipun dia sangat dingin. Liora akan mencoba untuk percaya dan menerima pria itu, sudah ia ketahui bahwa Liam tidak seburuk yang Liora pikirkan.
Atensi sang gadis beralih pada rak kosong di sebelah Diomira yang tengah menata buku-buku di sana. Sehingga kedua mata menyipit sembari melangkah perlahan menghampiri satu bingkai foto yang bertengger itu.
"Ini ... siapa, Bi?"
Diomira tersentak kala melihat Liora sudah meraih bingkai foto seorang gadis yang sedang tersenyum. Grizel penasaran dan langsung menghampiri sang Nyonya.
"Dia adalah Nona Camille," celetuknya.
Liora menatap Grizel. "Apa ... perempuan ini adalah kekasihnya?"
Pelayan muda itu menganggukkan kepala. "Nona Camille adalah kekasih Tuan Muda Liam yang pergi di hari pernikahan saat itu," jelasnya.
Hingga Grizel mendapat tepukan di lengan dari Diomira. Setelah sadar ia langsung membungkuk kepada Liora.
"Maafkan saya, Nona. Bukan maksud saya untuk—"
"Tidak masalah. Aku hanya ingin tahu saja." Terlihat senyuman tipis dari sudut bibir Liora.
Gadis itu meletakkan bingkai foto pada tempatnya lagi. Foto seorang wanita dengan surai panjang berwarna cokelat, kedua bola mata biru, hidung mancung, dan garis senyuman manis.
Terlihat sangat cantik, Liora mengerti bahwa Liam pasti sangat mencintai wanita tersebut. Buktinya, fotonya saja masih tersimpan dan terpajang apik di atas rak ruang kerja Liam.
"Camille."
Liora menarik salah satu sudut bibirnya seraya menatap tajam foto tersebut.