Suara gedebuk antara punggung dan lantai menghiasi kamar tersebut. Bahkan sampai pada lantai bawah dimana para pelayan masih bertengger rapi. Mereka semua bingung dan saling berpendapat satu sama lain. Karena terdengar sumber suara berasal dari kamar atas, bertepatan dengan kamar sang majikan.
Sedangkan di sisi sumber, Liora tidak sengaja bertubrukan dengan Liam. Bahkan mereka berdua terjatuh di lantai kamar mandi. Posisi Liora yang tidak sengaja bertumpu pada dada bidang suami. Sedangkan Liam yang berada di bawah masih dengan keadaan terkejut.
Beberapa detik kemudian mereka tersadar, membulatkan kedua mata. Liora segera menarik diri dan terduduk di lantai.
"M-ma—"
"Apa yang kau lakukan?!" suara dingin langsung menyapa kala pria itu juga terduduk.
Liora menunduk, tidak sengaja peristiwa menindih sang suami terjadi dan mungkin semakin menambah masalah nanti.
Berbeda dengan Liam yang langsung berdecak tidak suka. Ia masih mengenakan pakaian kerja, namun kemeja putihnya dengan tiga kancing teratas terbuka. Jadi, dada bidang pria itu terlihat jelas di hadapan Liora. Si gadis merasa malu, ia menunduk cepat.
"Maafkan aku," lirihnya.
Sang pria berdiri dan berlalu keluar kamar mandi. Meninggalkan Liora yang masih terkejut setengah mati. Ia gugup, gemetar, bahkan jantungnya semakin berdetak cepat. Ia juga merasa malu, Liora menghembuskan nafas.
Di sisi Liam yang menghiraukan rasa bersalah tetap melangkah menuju lemari baju. Liora masih menenangkan jantungnya, hingga memilih untuk mencoba berdiri. Namun, terpeleset lagi dalam keadaaan duduk.
Ia mendengus. "Kenapa kakiku sakit sekali?"
Pintu kamar mereka yang masih terbuka menimbulkan sosok Diomira dan Wyman. Liam mengalihkan pandang pada dua orang tersebut.
"Tuan, apa yang terjadi?"
Liam mengerut. "Tidak ada."
"Tuan muda, tadi kami mendengar seperti ada suara yang terjatuh di lantai. Apakah Tuan baik-baik saja?"
"Aww! Sakit!"
Pekikan terdengar kala Diomira selesai berbicara. Mengubah atensi mereka bertiga pada ruang kamar mandi yang pintunya masih terbuka. Namun, sosok Liora tidak terlihat jelas.
"Tuan, apakah terjadi sesuatu?" Wyman bertanya lagi.
Sang majikan menutup pintu lemari, kemudian bergegas melangkah menuju kamar mandi yang ia tahu masih ada sosok istrinya di sana. Diikuti Diomira dan Wyman di belakang, mereka juga sedikit khawatir ada sesuatu.
"Astaga! Nyonya Liora." Diomira terkejut kala sudah berada di depan pintu dan melihat sang Nyonya.
Liora masih terduduk sembari memegangi kakinya yang sudah memerah. Meringis sakit dengan kedua mata berkaca-kaca menatap tiga orang di hadapan.
Berbeda dengan Liam yang masih berdiri diam. Hingga suara kepala pelayan menghantam untuk segera menolong gadis tersebut.
"Tuan muda, bawa saja Nyonya Liora ke atas ranjang. Sepertinya kakinya terkilir, Tuan."
Tanpa membantah pria itu menggendong sang istri, kedua tangan Liora langsung bergelut pada leher suami. Merasa tambah gugup dan rasanya hampir jantungan. Dengan lembut pria itu meletakkan Liora tepat di atas ranjang.
Diomira melihat kaki Liora yang sedikit memerah.
"Nyonya, sebaiknya Anda tidak perlu berjalan dulu. Kaki Nyonya terlihat tidak baik-baik saja."
"Bibi, aku tidak apa-apa. Hanya saja ... sedikit sakit."
"Biar saya ambilkan minyak untuk Anda."
Diomira bergegas pergi diikuti Wyman yang juga berlalu. Meninggalkan suami dan istri itu di dalam kamar. Liam langsung mengambil langkah menuju lemari tanpa menanyakan keadaan sang istri. Liora yang merasa di tinggal hanya diam, belum berani memulai lebih dulu.
"Nyonya, saya akan oleskan minyak terkilir di kaki Anda."
"Bibi, tidak perlu. Bi-biar aku saja."
Gadis itu mencegah dengan menarik diri ke depan yang tadinya bersandar pada bahu ranjang. Kedua tangan ingin meraih botol minyak dari genggaman Diomira, tetapi langsung tertolak.
"Tidak Nyonya. Biar saya saja yang mengoleskannya."
"Bi-bibi!"
Tanpa sengaja suara tinggi Liora keluarkan guna mencegah tangan Diomira menyentuh kakinya. Membuat sang pelayan terdiam, sekaligus Liam yang langsung menatap dengan kerutan alis.
"Ma-maksudnya ... Bi-bibi, se-sebenarnya aku merasa tidak enak, karena meskipun begitu Bibi adalah orang tua. Jadi, akan merasa tidak sopan jika Bibi mengobati dan menyentuh kaki ku."
Liora meraih perlahan botol minyak tersebut sembari tersenyum lembut.
"Aku harus menghormati Bibi, kan. Karena Bibi yang paling tua di sini daripada yang lainnya. Jadi, Bibi juga harus di hormati. Aku akan merasa tidak sopan dan tidak nyaman jika Bibi melakukan itu untukku."
Beberapa detik kemudian Diomira membalas senyuman tidak kalah lembutnya. Jujur, hatinya tersentuh kala mendengar Liora mengucapkan kalimat tersebut. Istri majikannya ini sangat lugu.
"Baiklah. Kalau begitu, saya izin undur diri." Diomira mengundurkan diri keluar kamar.
Masih dengan Liora yang tersenyum simpul sampai Diomira tidak terlihat lagi. Sekarang, tangan kanannya mencoba untuk meraih kakinya sendiri, tetapi tidak bisa. Kaki yang terkilir tidak bisa ditekuk karena terasa sakit. Ia mencoba meraih kakinya lagi sekuat tenaga, namun tetap sama. Kakinya mungkin panjang dan tangannya terlalu pendek.
Liora mendengus kesal, ia meletakkan botol minyak di atas nakas. Hingga tidak lama melayang diraih oleh tangan seseorang. Ia terkejut lantas mendongak, mendapati Liam dengan wajah datar seolah kesal.
Pria itu duduk di kursi yang berdampingan dengan ranjang. Ia berdehem bersama suara serak, masih dengan perasaan sedikit canggung.
Berdehem lagi lebih keras dan berkata, "Aku obati."
Si gadis langsung membulatkan kedua mata. Kedua tangannya melambai cepat memperingatkan bahwa ia tidak ingin.
"Eh, tidak tidak!"
Liam berhenti melayangkan tangan guna meraih kaki sang istri.
"Ti-tidak perlu. A-aku bisa melakukannya sendiri."
Pria itu mendengus. "Aku membantu bukan karena aku peduli. Kau terjatuh di kamar mandiku, lain kali jangan suka menguping."
Segera menarik kaki kanan yang terkilir hingga membuat si empu memekik pelan. Namun, terhenti kala tangan Liam mengoleskan minyak dan sedikit memijat kaki tersebut.
Liora menunduk malu. "Si-siapa yang menguping?"
Suara berbalut kesal terdengar lewat pendengaran Liam, kedua sudut bibir sedikit tertarik. Gadis di hadapannya ini tidak luput dari ceroboh dan mungkin tidak bisa berbohong.
"Lain kali ketuk pintu, jangan asal menguping apalagi mengintip."
"A-aku tidak mengintip! Pintunya saja tertutup rapat." Liora tambah kesal, ia menatap tidak suka kepada Liam.
Pria itu berhenti memijat pelan-pelan, kemudian mendongak. "Lalu, kenapa kau terjatuh saat aku membuka pintu kamar mandi?"
Liora hampir lupa alasan ia menemui Liam beberapa waktu lalu. Berakhir dengan luka di kaki karena terkilir, ia sungguh ceroboh. Memang benar Liora menguping, tapi ia tidak mendengar apapun hingga pintu terbuka dan membuat ia terjatuh.
"A-aku, ya ... se-sedikit menguping."
Liam hampir terkekeh, tetapi ia tahan setengah mati. Bisa hancur penampilan dinginnya di depan sang istri jika ia ada sedikit tawa. Liam harus mempertahankan sikap dan perilakunya seperti biasa.
Melihat Liora menunduk lesu. "A-aku minta maaf. Itu semua adalah salahku karena aku yang memaksa Grizel untuk ikut dengannya."
Ia mendongak. "Aku mohon. Jangan pecat dia seperti itu. Jika dia tidak ada, aku tidak punya teman lagi. Ka-kau boleh melakukan apapun padaku, menghukumku karena kesalahanku. Aku tidak apa-apa, karena memang akulah yang salah dan melibatkan Grizel."
Gadis itu mengatupkan kedua tangan di hadapan dengan kedua mata berkaca-kaca. "A-aku sungguh minta maaf."
Berhasil membuat Liam diam menatap mata bulat si gadis yang mengecil penuh permohonan. Di tambah suara lirih yang hampir tercekat sebab ingin menangis.
Liam sebenarnya tidak suka menarik kembali ucapannya. Jika semuanya dipecat maka tidak ada kata kembali. Itu membuat Liam muak, semuanya tidak berhak mendapatkan kesempatan kedua, kan.
"Tolong, berikan kesempatan kedua untuknya. Aku janji akan menurutimu dan tidak akan keluar rumah tanpa seizinmu."
Si gadis langsung menunjukkan jari telunjuk dan jari tengah bersamaan di depan Liam.
"Aku tidak bisa."
"Aku mohon, aku memohon padamu."
Liora menangis, air matanya tidak bisa ia bendung lagi. Menatap penuh memohon kepada kedua mata tajam sang suami meskipun sedikit takut.
"Tidak ada kesempatan kedua."
KRAK!!
"AAAAAAKKH!!!"
Seketika Liora berteriak kala merasakan kakinya ditarik sekuat tenaga oleh tangan Liam. Ia mendongakkan kepala dengan berteriak keras hingga membuat penghuni rumah terkejut. Kaki kanan masih berada di tangan si pria yang tengah tersenyum menang.
"Kaki ku," lirihnya.
Liam berdiri setelah meletakkan kaki si gadis dengan rapi di atas ranjang.
"Sudah selesai."
"Ka-kaki aku patah." Tangisnya belum mereda, masih ada jejak air mata di pipi.
Liam menghela nafas. "Aku hanya mengobati kakimu. Besok akan membaik."
"Ta-tapi, kau menariknya sangat keras. Rasanya kaki ku remuk dan seakan patah semua." Ia mengerucutkan bibir kecilnya.
"Berdiri sekarang."
Liora menggeleng cepat. "Takut."
"Kau sudah bisa berdiri sendiri. Jadi, tidak usah mengeluh."
Sang suami ingin berbalik sebelum Liora berucap kembali dengan suara lirih.
"Aku hanya minta, biarkan Grizel tetap disini."
Berhasil membuat Liam berhenti, ia menatap. "Aku sudah bilang, tidak ada kesempatan kedua."
"Semua orang berhak mendapatkan kesempatan kedua. Kau harus mendengar alasannya terlebih dahulu sebelum memecat Grizel. Kau tidak bisa mengambil kesimpulan begitu saja."
Liam menghiraukan dengan melangkah menuju meja rias.
"Aku mohon sekali ini saja."
Tanpa sadar Liora mengejar sembari mengatupkan kedua tangan dengan tatapan memohon tepat di belakang punggung Liam. Gadis itu sungguh tidak sadar bahwa ia bisa berjalan dan berdiri tegak di belakang sang suami.
Liam berbalik dengan tatapan serius. "Tidak akan." Penuh tekanan.
Masih dengan memohon dengan raut wajah sedih itu. Liora berkata, "Kau mau aku berlutut padamu sekarang?"
Liam berdecak, ia melempar baju hitam yang baru diambilnya dari meja rias dan berasal dari lemari tadi ke ranjang.
"Kenapa kau membela pelayan itu? Dia hanya seorang pelayan."
"Pelayan juga manusia, dia sudah aku anggap sahabatku disini."
Pria itu menghembuskan nafas. "Terserah padamu. Tapi, jangan pernah mengulanginya lagi."
Kemudian Liam pergi keluar kamar meninggalkan Liora yang langsung tersenyum. Ia berlari kecil dan berdiri di ambang pintu sembari melihat punggung Liam yang belum menjauh.
"Sungguh?" Hampir berteriak guna memperjelas.
Sedangkan Liam hanya membalas dengan kibasan tangan kanan tanpa berbalik sedikit pun. Berhasil membuat gadis itu memekik senang dan meloncat-loncat di depan kamar. Hingga kesadaran menghinggapi, menunduk dengan bulatan mata gemas menatap kakinya yang bisa berdiri.
"Kaki ku, tidak sakit lagi."
Seraya merasakan si kaki, ia hentakkan di lantai dan hasilnya baik-baik saja. Lagi-lagi Liora mengulum senyum manis di bibirnya.
"Ternyata dia pandai memijat juga."
Kedua tangan menyentuh pipi yang memerah, Liora merasa terkagum dan juga bahagia. Suaminya yang dingin ternyata bisa juga menjadi penyembuh sakitnya. Bahkan pria itu membantu dan mengabulkan permohonannya tentang Grizel.
Jika dipikir lagi, Liam tidak seburuk yang Liora duga.