Pria berperawakan tegas dengan jas hitam rapi, kacamata bernuansa gelap menampilkan kesan sempurna. Berdiam diri menatap makam yang sudah berumput hijau pendek. Batu nisan bertuliskan 'Rosalind' menjadi satu hal yang selalu ia tatap jika ke tempat tersebut. Sebuket bunga kuning sudah ia letakkan dengan indah di sana.
"Bunda, aku rindu."
Liam Mallory melepaskan kacamata kemudian berjongkok. Mendekat pada makam Rosalind, tangannya melayang guna memegang nisan putih. Bunga kuning yang selalu menjadi bunga istimewa bagi Rosalind dan Liam sangat tahu.
"Maafkan aku. Aku belum menemukan pembunuh itu."
Sudah beberapa tahun sejak ia memiliki kuasa sendiri tentang hidupnya. Liam mengambil keputusan untuk menyelidiki kasus pembunuhan Ibunya sendiri. Meskipun peristiwa keji itu terjadi sejak kecil, tetapi Liam tidak bisa melupakannya.
Ia mencari pembunuh yang sudah berani membunuh bahagianya.
"Akan kupastikan, dia merasakan apa yang Bunda rasakan."
Peristiwa penembakan oleh beberapa orang yang di ketahui adalah musuh dari Elard. Keluarga mafia yang kini masih menjadi misteri bagi Liam.
Kedua mata itu memerah, terlihat berkaca-kaca. Detik kemudian ia menggunakan kacamata hitamnya. Mengambil keranjang berisi bunga lalu ia taburkan pada makan sang Bunda.
"Bunda, bunga kuning sudah aku letakkan seperti biasa. Kau pasti menyukainya. Aku harap, kau bisa tersenyum sekarang."
Liam berdiri dan menatap sebentar lantas berlalu pergi. Meninggalkan salah satu makam orang tersayang di sana yang semakin menjauh. Ia menaiki mobil sendiri dan melaju menjauhi kawasan pemakaman keluarga.
Tidak lama getaran ponsel berbunyi, melihat nama yang dikenal segera ia menjawab.
"Ada apa?"
"Bos, tadi saya melihat ada yang menggunakan mobil Anda di depan perusahaan."
Liam mengerut. "Apa maksudmu?"
"Seorang perempuan. Saya yakin itu mobil Bos karena saya mengenal sopirnya."
Ia berpikir siapa perempuan yang menggunakan mobilnya ke kantor. Sebab setengah mobil Liam adalah mobil langka dan beberapa mobil terbaru, ia suka mengoleksi mobil-mobil klasik tahun jaman dulu. Semua mobil di gunakan Liam untuk berganti sesuai keinginan dan satu mobil untuk pelayan.
"Dia membawa bunga?"
Liam baru ingat bahwa Grizel ke kantornya tadi pagi untuk memberikan bunga kuning pesanannya.
"Tidak, Bos."
"Carlos, aku menyuruh Grizel ke kantorku tadi pagi. Itu mungkin dia."
"Perempuan itu tidak menggunakan baju pelayan. Tapi, menggunakan dress putih dengan rambut gelombang sebahu, Bos."
Lagi-lagi Liam mengerutkan kedua alisnya. "Apa kau yakin?"
"Iya, Bos. Saya yakin. Bahkan, dia menolong saya ketika satu barang saya terjatuh."
Pria itu menghentikan mobil sejenak. "Baiklah."
"Bos, apakah Anda memiliki wanita lain?"
"Carlos, jangan berbicara macam-macam."
"Tapi, dia benar-benar masuk ke dalam mobilmu. Apakah kau sudah menikah tanpa memberitahuku?"
Anak buah sekaligus sahabatnya itu sungguh menyebalkan. Penuh penasaran, jika saja Liam tidak mendidik dia untuk bersikap sudah pasti Carlos mati di tangannya.
"Bukan urusanmu."
"Liam, kau sungguh sudah menikah? Lalu, dimana Camille?"
"Aku tidak tahu." Liam mendengus malas, kembali mengegas mobilnya guna melanjutkan perjalanan.
"Kenapa tidak memberitahuku?"
"Kau sibuk, jadi tidak mungkin sempat datang."
Terdengar teriakan frustasi di seberang. "Kau ini benar-benar, ya. Bagaimana bisa aku tidak datang di hari pernikahan sahabatku?! Kau mau mati?"
"Kau yang akan mati lebih dulu."
Liam mematikan sambungannya begitu saja. Ia membanting stir memotong jalan untuk cepat kembali ke rumah. Raut wajahnya serius dengan tatapan tajam ke depan. Mengendarai mobil dengan sedikit kecepatan tinggi.
•••
"Grizel, aku ingin bertanya. Kenapa kau menyiapkan bunga kuning untuknya?"
Tangan berkulit putih menata beberapa kue cokelat kering yang baru mereka beli saat kembali ke rumah. Liora sedikit memaksa Grizel untuk membeli kue rasa cokelat kacang. Hanya Grizel yang keluar membelinya dan Liora menunggu di dalam mobil. Dengan rengekan Liora, pelayan itu menyerah dan menuruti keinginan sang Nyonya untuk mampir sebentar di toko kue.
Grizel sejak tadi berdiri di sebelah, karena Liora ingin ditemani.
"Setiap pertengahan bulan Tuan selalu memesan sebuket bunga kuning, Nona."
Liora mengerutkan alis. "Untuk apa?"
Sedangkan yang ditanya menggeleng pelan. "Saya tidak tahu, Nona. Yang terpenting menyiapkan bunga kuning setiap bulan sangat wajib."
Gadis itu berhenti bergerak untuk menutup toples kecil yang sudah tertata rapi kue cokelat kacang di dalamnya.
"Apakah ada sesuatu yang harus di kunjungi?"
"Maaf, Nona. Saya sungguh tidak mengetahuinya." Grizel membungkuk.
Tersadar dengan segera Liora menggelengkan kepala. "Tidak apa-apa, Grizel. Aku mengerti."
Ia kemudian mengulurkan toples kecil tersebut. "Simpan di tempat yang aman."
"Baik, Nona."
Grizel meraih dengan kedua tangan, kemudian menatap lekat sang Nyonya.
"Eum, Nona Liora." Gadis itu mendongak.
"Ada apa?" tanyanya.
"Eum, perihal keluar rumah tadi pagi. Saat Anda ikut saya ke kantor Tuan Muda. Saya mohon jangan memberitahu siapa pun. Tuan Liam akan marah jika mengetahui orang rumah keluar tanpa meminta izin terlebih dulu."
"Termasuk Bibi Diomira?" Grizel mengangguk cepat.
Liora jadi sangat tahu bahwa semua harus mengikuti perintah bahkan keluar rumah pun harus meminta izin. Ini juga kesalahannya karena tidak meminta izin lebih dulu untuk keluar rumah. Ia tidak ingin membebani Grizel dengan rasa bersalah untuk merahasiakan kesalahannya.
"Grizel, maafkan aku. Karena kecerobohanku, kau mendapat beban merahasiakannya."
Pelayan itu menggeleng. "Tidak, Nona. Seharusnya saya yang menjelaskan perintah Tuan Liam."
Sedikit membungkuk dan berlalu menuju dapur yang tidak jauh dari ruang makan tersebut.
BRAK!
Suara gebrakan pintu tiba-tiba membuat orang di dalam rumah terkejut setengah mati. Termasuk Liora dan Grizel yang di tengah jalan menuju dapur. Beruntung toples cokelat kacang berkaca itu tidak jatuh.
Langkah kaki lebar seorang Tuan muda Liam menghampiri dengan sorot tajam menuju sang istri.
"Ka—"
"Siapa yang menyuruhmu untuk keluar rumah?"
Suara dingin serta tajam tidak hanya menghinggapi gendang telinga gadis di depannya. Melainkan beberapa pelayan yang sudah berdiri menatap sontak majikan yang tengah menahan amarah.
Liora bingung, tatapan mata tak menentu gugup.
"A-ak—"
"Aku sudah memberitahumu. Kau boleh melakukan apapun di rumah ini dan harus menuruti semua peraturannya. Tanpa terkecuali." Sorot tajam masih di tunjukkan.
Sedangkan yang ditatap terasa tidak nyaman, kedua tangan gemetar dengan jantung berdegub kencang. Di tambah kegugupan semakin membuncah dan suara tercekat begitu saja.
"Apa kau tidak dengar? Apa semua pelayan di sini tuli?!" Pandangannya mendongak.
"Apa kalian lupa dengan peraturannya? Wyman!"
Kedua mata masih menatap tajam pelayan di sekeliling. Sedangkan Liora semakin takut, matanya memerah ingin menangis. Melihat Liam marah besar tidak di sangka.
"Wyman! Dimana kau?!" suaranya menggema guna memanggil asisten pribadi.
"Tu-tuan, sebaiknya Anda tenang dulu."
"Bibi, ini juga urusanmu. Aku sudah memperingatkan bahwa tidak boleh ada yang keluar rumah tanpa seizinku."
"Siapa yang membawanya?"
Tatapan masih menuju Liora yang tengah menunduk.
"Aku tanya, siapa yang membawamu keluar rumah dan tepat di depan gedung kantorku?!"
Liora membulatkan kedua mata, diikuti Grizel yang langsung gemetar. Ia takut melibatkan Grizel dan membuat pelayan itu mendapatkan masalah. Karena memang Liora sadar bahwa ia sendiri yang menyusup masuk ke dalam mobil Liam. Seharusnya memang ialah biang kesalahannya.
"Grizel!"
PRANK!
Seruan bariton dengan penuh ketegasan yang dalam membuat sang empu langsung terkejut. Grizel memecahkan toples kaca berisi kue cokelat kacang dari tangannya. Sedangkan tuan majikan sudah menatap penuh tajam kepada Grizel yang rasanya hampir jantungan.
Langkah kaki mendarat tepat di depan Grizel dengan batasan pecahan toples beberapa detik lalu.
"Kau dipecat."
Grizel langsung membulatkan kedua mata, mendongak lantas segera terduduk di lantai sembari meminta ampun.
"Tu-tuan."
"Kau boleh pergi."
Liam berbalik mengambil langkah, kemudian terhenti karena sang istri menghalangi.
"A-aku yang salah. Aku menyusup ke dalam mobil agar bisa keluar rumah dan ... melihat kantormu."
Pria itu berkedip sangat pelan setelah mendengar lirihan sang istri.
"Minggir!"
"Aku mohon."
Liora mencekal pergelangan tangan Liam kala pria itu ingin berlalu.
"Jangan pecat Grizel, dia tidak salah."
Gadis itu menatap penuh memohon kepada sang suami yang tidak berubah sama sekali.
Tatapannya selalu tajam. "Apa yang aku ucapkan tidak akan bisa ditarik kembali."
Hempasan tangan Liam membuat cekalan dari Liora terlepas. Kemudian berlalu pergi meninggalkan orang-orang yang berdiri penuh takut di ruang tengah tersebut. Liora yang terkejut sebab tangannya terlepas, ia segera mendekati Grizel, menumpukan kedua lutut kaki lantas memeluk.
Melihat pelayan muda itu menangis membuat Liora merasa sangat bersalah. Ia tidak bermaksud membuat Grizel dalam masalah, ditambah membuat Liam sangat marah dan memecatnya. Tidak pernah terpikirkan oleh Liora bahwa tindakan semacam itu bisa menimbulkan masalah begitu besar bagi semua orang di dalam rumah.
"Grizel, maafkan aku."
Liora meneteskan air mata sembari memeluk erat pelayan tersebut. Begitu pun Grizel yang langsung pasrah dengan pelukan erat dan tambah menangis. Gadis malang itu tidak bisa berbuat apapun.
Diomira bersama pelayan di sana hanya bisa menatap penuh kesedihan. Wyman yang baru datang hanya bisa menatap dengan kasihan, ia tidak menyangka peristiwa ini terjadi lagi. Padahal ia dan Grizel lumayan dekat, sudah menganggap Grizel seperti anak angkatnya.
"Tidak, kau tidak boleh pergi. A-aku akan bicara padanya."
Diomira mendekat kala melihat Liora berdiri.
"Nona, sebaiknya—"
"Tidak, Bibi. Aku harus bicara padanya, Grizel tidak boleh pergi dari rumah ini."
Wyman yang mendengar juga menghalangi kala sang istri majikan mengambil langkah.
"Nona Liora, apa yang dikatakan oleh Tuan Liam tidak akan bisa dirubah."
Liora mengerutkan alis, ia mengusap air mata di pipi. "Dia tidak bisa begini, Paman. Grizel tidak salah, akulah yang salah."
"Tapi, Nona—"
Tanpa peduli ucapan dua orang itu, Liora berlari begitu saja menaiki tangga lantai dua guna berjumpa dengan sang suami. Tangannya membuka gagang pintu perlahan dan menengok, namun tidak ada siapa pun.
Tiba-tiba terdengar suara air dari kamar mandi, Liora yakin bahwa suaminya sedang ada di ruangan tersebut. Ia mengambil langkah masuk dan berdiri di depan pintu itu. Menempelkan telinga pada pintu, berharap memperjelas pendengaran air dari dalam.
Namun, belum sepenuhnya waspada. Suara pintu terbuka membuat si gadis membulatkan kedua mata. Tidak siap untuk menumpu kedua kaki dengan baik, ia tertarik dengan pintu yang terbuka dari dalam kamar mandi. Mengejutkan dalang dari tarikan pintu dan si korban langsung terjatuh menabrak dada bidang seorang pria.
"Aakh!"