Selama hampir seharian Liora duduk di balkon lantai dua. Jam sudah menunjukkan pukul 3 sore. Sejak dua hari yang lalu mendapat kabar bahwa Liam tidak pulang membuatnya khawatir dan para pengawal yang bertambah di depan rumah.
Diomira mengatakan jika pengawal rumah bertambah menandakan bahwa Liam tidak pulang beberapa hari.
Liora sengaja menunggu pria itu sejak tadi malam berharap Liam tiba-tiba pulang. Namun, suaminya belum datang sama sekali. Sedikit rencana mendekati suaminya gagal untuk beberapa hari.
"Nona Liora, apakah anda ingin teh?"
Grizel hadir membuatnya sedikit tersentak kemudian mengangguk tersenyum. Ia menerima secangkir teh panas dari pelayan muda itu.
"Grizel, jika dia pulang ... apa yang harus aku lakukan?"
Pelayan masih berdiri. "Setiap pulang, Tuan Liam pasti akan makan. Jadi, makanan harus sudah siap setelah beliau membersihkan diri."
"Jadi, aku harus memasak?"
Dengan cepat pelayan tersebut mengangguk.
"Tapi ... aku memasak apa untuknya?" Liora menunduk diikuti gumaman.
"Nona, Tuan Liam suka makanan sederhana. Yang penting sehat, ada daging dan sayur."
Gadis itu tersenyum tipis dan mengangguk. "Apakah dia suka kue?"
"Saya rasa tidak, Nona. Karena Tuan tidak pernah meminta atau memakannya."
"Ah, begitu ya."
"Tapi, jika Nona yang membuatnya mungkin Tuan akan suka." Grizel berseru seraya tersenyum.
Bisa saja Liam tidak akan suka. Liora berpikir makanan yang ia masak dua hari lalu hanya di makan sedikit oleh suaminya. Pria itu bahkan tidak menoleh padanya, menyapa, atau hanya sekedar tersenyum tidak sama sekali. Ia jadi merasa menjadi istri yang tidak di anggap.
"Nona ..."
Panggilan lembut tiba-tiba membuat Liora tersadar. Grizel memanggil pelan kala gadis itu terlalu lama terdiam.
"Saya dengar, Tuan Liam akan pulang sore ini."
"Benarkah?" Liora langsung menatap.
Grizel mengangguk-anggukkan kepala. "Wyman yang memberitahu. Maka dari itu, Bibi Dio sudah menyiapkan bahan-bahan untuk memasak."
"Tapi ..."
"Nona tidak ingin membantu? Jam 4 sore Tuan Liam akan datang."
"Apa?!" Liora hampir memekik. "Kenapa kau baru mengatakannya?" Ia terkejut.
Grizel hanya bisa terkekeh melihat Liora dengan raut terkejutnya itu. Kentara sekali bahwa Liora benar-benar menunggu suaminya.
Tanpa apapun, gadis itu segera berdiri dengan membawa cangkir teh menuruni tangga terburu-buru. Tidak lupa Grizel berlari mengejar hingga tepat di belakang sang Nyonya.
"Grizel, seharusnya kau memberitahuku sejak tadi. Kenapa baru sekarang? Aku bahkan_ ah!"
"Nona!"
Tanpa diduga Liora terpeleset di tangga terakhir, beruntung seseorang menarik dan memeluknya.
Grep!
Jantung gadis itu langsung berpacu kencang. Wajahnya ia sembunyikan tepat di dada bidang pria yang mendekapnya. Bahkan Liora bisa mendengar detak jantung yang berdegub cepat pada pria itu.
Nafasnya tercekat kala ia sadar akan wewangian yang biasa suaminya gunakan. Secepat kilat Liora menarik diri tanpa pikir panjang tangannya masih memegang cangkir berisi teh panas langsung tersiram pada tangan Liam.
"Akh!" Liam meringis.
Peristiwa beruntun itu mengejutkan semua orang yang ada disana. Terlebih lagi para pelayan dan Wyman yang berdiri tidak jauh. Melihat Liam meringis perih membuat Liora terkejut setengah mati.
"Astaga!" pekiknya.
Segera ia meraih tangan itu dan membawa ke dapur hanya beberapa langkah. Sembari merutuki diri sendiri, merasa sangat bersalah dan menyesal. Ia bahkan tidak berani mendongak guna menatap ekspresi Liam yang menahan perih. Kedua tangannya teliti membasuh tangan Liam yang sudah memerah.
"Maafkan aku," cicitnya.
Ia meniup tangan besar itu yang hanya cukup dengan kedua tangan kecilnya.
Liam menarik tangannya sendiri tanpa menatap sang istri. Berbalik memanggil Diomira yang diam melihat mereka sejak tadi.
"Bibi, ambilkan obat."
"Baik, Tuan." Diomira bergegas pergi.
Liora menunduk penuh penyesalan di tinggal begitu saja oleh suaminya. Pria itu duduk di atas sofa ruang tamu menerima kotak obat dari Diomira.
Ia mengobati sendiri tangannya yang memerah tanpa menghiraukan Liora yang diam berdiri di depan pintu dapur menatap sendu.
"Bibi, apakah Liam baik-baik saja?"
Liora mengikuti Diomira dari belakang kala pelayan itu masuk dapur. Liam sudah pergi ke kamar atas kemudian ia menanyakan Diomira mengenai keadaan suaminya mengingat wanita itu yang berdiri di sebelah Liam.
"Tidak apa-apa, Nona. Tuan Liam sudah mengobati lukanya."
Ia menunduk. "Seharusnya aku bertanggung jawab yang mengobati luka itu"
"Kenapa malah diam disini?" Diomira melihat sang Nyonya yang menggeleng pelan.
"Takut."
Menimbulkan kekehan kecil, memang benar wajah Liam terlihat kesal tadi. Diomira sadar tapi sikap Liam yang diam tanpa memarahi Liora sedikit lebih baik. Biasanya pria itu pemarah jika ada seseorang yang mencelakainya.
"Tapi, tadi Tuan Liam tidak marah. Bersikap diam seperti itu sangat langka, Nona."
Liora tertegun melihat kepala pelayan mengangguk.
"Biasanya, Tuan Liam akan memarahi seseorang yang mencelakainya. Bahkan jika pelayan mungkin dia akan di pecat oleh Tuan."
"Benarkah?"
Diomira mengangguk lagi sembari memotong sayur hijau.
"Jika aku ... apa mungkin akan di pecat menjadi seorang istri?" gumamnya.
•••
Makanan sudah siap di atas meja makan, Liora membantu Diomira menyiapkan segalanya. Ia juga ikut memasak sesuai menu yang ingin di siapkan kepala pelayan.
Liam baru sampai dan duduk di kursi seraya membawa ponsel. Sedikit lama berkutat dengan ponsel dan berakhir menatap menu makanan di atas meja.
Sedangkan Liora hanya berdiri di sebelah kursi, enggan untuk duduk. Bersama beberapa pelayan yang juga berdiri menatap pasangan suami istri tersebut.
"Biar aku ambilkan."
Dengan penuh keberanian Liora berbicara kala Liam ingin mengambil nasi.
"Biar aku saja." Tapi tolakan yang ia dapat.
Bahkan lagi-lagi pria itu tidak menatap membuat Liora kecewa dan memilih untuk menundukkan kepala.
Liam sudah makan satu suap lalu berhenti mengunyah kemudian menatap Diomira di seberang meja.
"Bi, kenapa rasa masakan Bibi berbeda hari ini?"
Diomira membungkuk. "Tuan makan masakan yang dimasak oleh Nyonya Liora."
Sedikit melirik Liora, pria itu kemudian berdehem.
"Duduk dan makanlah."
Liora yang mendengar menoleh pada Diomira dan pelayan itu mengisyaratkan untuk duduk. Ia duduk perlahan dengan detak jantungnya tambah berpacu dengan cepat. Gugup sekaligus takut menjadi satu, suara dingin tanpa nada itu membuatnya waspada.
"Eum ... ka—"
"Wyman, ambilkan laptopku yang tertinggal di mobil."
Ingin Liora mengeluarkan suara, tetapi Liam berdehem dan memerintahkan asisten pribadinya. Pria itu memotong ucapan Liora yang bahkan belum sepenuhnya terdengar. Seakan tidak ingin berkomunikasi bersama sang istri.
"Baik, Tuan."
Liora menatap Wyman yang sudah pergi tidak terlihat. Ia ingin memanggil suaminya lagi untuk yang kedua kali.
"Ba-bagai—"
"Aku sudah selesai. Bibi, buatkan kopi dan antarkan ke ruang kerjaku."
Setelah itu Liam meraih ponsel di atas meja dan berlalu menuju ruang kerjanya. Meninggalkan beberapa pelayan dan istrinya yang langsung terdiam tanpa kata.
Liora hanya bisa menatap miris punggung pria berbaju abu-abu yang perlahan menghilang dari pandangan.
Ia berpikir benar bahwa Liam sama sekali tidak menganggapnya, tidak ingin menyapa, dan menatap walau dalam sekejab. Hingga detik kemudian tepukan pelan membuat Liora tersadar.
"Nona, bagaimana jika kau yang membuat kopi untuk Tuan?"
"Tapi Bi, nanti dia tidak ingin."
"Tadi Tuan Liam bertanya rasa dan tidak marah mendengar Nona yang memasak. Jadi, sekarang di coba lagi."
Kesempatan yang lumayan jika dipikir lagi. Pria itu ada di rumah malam ini dan Liora tidak ingin kehilangan kesempatan terus menerus. Ia mengangguk dan tersenyum, langsung berdiri menyiapkan kopi.
Tidak lama Liora hadir di depan pintu ruang kerja suaminya. Seraya membawa nampan kecil berisi secangkir kopi. Diomira sudah memberitahu rasa kopi kesukaan Liam, gadis itu berharap suaminya berbicara sekedar hanya untuk mengucapkan terimakasih.
Tok. Tok.
"Masuk!"
Perintah dari dalam segera Liora laksanakan. Ia membuka pintu dengan tangan satu membawa nampan. Perlahan melangkah masuk mendekati suaminya yang tengah berkutat dengan laptop di atas meja kerja.
"Kopi yang kau minta."
Liora meletakkan secangkir kopi di atas meja itu.
"Aku tidak menyuruhmu untuk membawanya."
Gadis itu mengangguk. "Aku tahu. Tapi, aku ingin membuatkan kopi untukmu."
Liam menghela nafas di tengah aktivitas mengetiknya. "Kau boleh keluar."
"A-apakah kau tidak marah jika aku yang memasak?"
Kegiatan pengetikannya berhenti yang mana langsung membuat Liora bertambah gugup. Takut jika pria itu membalas tidak setuju dengan pertanyaannya.
"Lakukan sesukamu, tapi jangan langgar aturan di rumah ini."
Kedua sudut bibir Liora tertarik simpul, ia mengangguk cepat meskipun Liam tidak menatapnya.
"Terimakasih."
Setelah itu Liora membuka pintu dan keluar ruangan sang suami. Meninggalkan Liam yang langsung menatap ke arah pintu yang sudah tertutup. Menghembuskan nafas seraya bersandar pada punggung kursi kerjanya itu.
"Sulit sekali," gumamnya.