Chereads / Saat Kita Masih Kecil / Chapter 3 - Janji

Chapter 3 - Janji

"Fiuh... hah... hah... sudah kuduga ini sangat menyenangkan!"

Aku menyeka keringatku dengan kaos olahragaku. Saat ini aku sedang berdiri di tengah lapangan dengan beberapa anggota yang sudah tepar.

"Dasar monster! Bukannya kami masih belum mengajarimu teknik-teknik itu? Apa-apaan permainanmu itu. Dan juga staminamu masih belum habis setelah bermain sepuluh set?! Bagaimana bisa?!" gerutu Wildan yang sedang terbaring karena kelelahan.

"Hahaha ini adalah kekuatan yang kudapat setelah maraton anime sport yang membahas bola voli. Aku juga sudah berlatih di lapangan dekat rumah ku bersama ayahku."

"Apa-apaan, hanya karena itu?!"

Aku tertawa sejenak lalu mengambil bola dilantai. "Baiklah, karena kalian sudah kelelahan, aku akan berlatih jump serve ku sendirian."

Saat aku hendak mengambil bola di lantai, aku dihentikan oleh Yuli.

"Tidak boleh! Kak Andrian kan juga kelelahan, kakak juga harus istirahat supaya tidak cedera."

"Tapi aku masih bisa lanjut kok, lihat, aku bahkan masih bisa melompat setinggi ini."

Aku melompat-lompat didepan Yuli, namun dia dengan tegas menggelengkan kepalanya. "Tidak boleh. Ini, tolong usap keringat kakak dan minum ini."

Yuli menyodorkan sebuah handuk dan minuman olah raga padaku. Aku dengan terpaksa menurutinya dan duduk di pinggir lapangan. Sementara itu, Yuli memeriksa anggota lain yang tersisa dan memberikan handuk dan minuman pada anggota tidak bisa bergerak.

Saat aku sedang meluruskan kaki ku, kapten ekskul voli ini yang bernama Angga mendekatiku dengan handuk di lehernya.

"Yo! Tampaknya kau masih bugar seperti biasanya. Oh ya, maaf untuk yang tadi, aku sedikit berlebihan."

"Santai saja kapten, aku sudah memaafkanmu dengan spike ku tadi, hehe."

Itu benar, saat set kelima, pukulanku mendarat tepat di wajahnya. Tentu saja aku tidak sengaja melakukannya, tapi disisi lain aku juga merasa puas karena bisa membalasnya.

"Sialan, itu sakit tahu. Tapi, tidak apa-apa jika kau memaafkanku hanya dengan itu. Ngomong-ngomong ada yang ingin aku bicarakan denganmu."

"Hm apa itu? apa kau ingin curhat tentang perasaan tak terbalasmu terhadap ketua OSIS?"

"Tentu saja bukan, aku tidak sebodoh itu untuk meminta saran padamu."

"Sialan kau."

"Ini tentang turnamen voli yang akan datang. Apa kau serius tidak ingin mengikuti turnamen? Aku pikir kau cukup bagus di posisimu, lho. Dan juga sifat provokatifmu juga bisa berguna untuk musuh yang emosian."

"Haha.. kupikir juga begitu, tapi tahun ini aku ingin belajar sedikit lebih banyak. Aku punya beberapa nilai merah yang harus dimusnahkan. Lagipula, aku masuk ke ekskul ini untuk bersenang-senang. Aku tidak bisa berlatih seserius kalian."

"Jadi begitu, yah apa boleh buat. Aku tidak akan bilang apa-apa lagi soal itu, tapi jika kau berubah pikiran aku akan selalu menyisakan satu slot kosong di bangku cadangan untukmu. Dan juga, kau tidak perlu khawatir, kau masih boleh datang kesini dan ikut bermain dengan kami."

"Ya, terima kasih, kapten."

"Hmm.. bukankah sudah kubilang panggil saja aku Angga. Kenapa kau selalu memanggilku begitu?"

"Ehh.. bukankah panggilan kapten itu keren. Aku selalu memanggil seorang kapten dengan panggilan kapten. Itu juga memberiku motivasi lebih untuk bermain voli."

"Benar-benar jawaban khas dirimu. Yasudah, terserah kau saja."

Angga kemudian pergi ke anggota lain dan memberi tahu kalau kegiatan ekskul untuk hari ini sudah selesai dan kami sudah boleh pulang setelah membereskan peralatan yang ada.

***

Tiba di rumah, aku disambut dengan aroma masakan yang menggoda. Aku memasuki ruang makan seperti anjing yang sedang mengendus bau mangsanya.

"Seperti yang kubilangkan, Ian pasti tergoda dengan bau masakan ibu."

Ibuku tertawa sembari mencuci peralatan masak. Sementara itu, ayah yang sedang bermain game online di sofa mendecih pelan. Sepertinya mereka bermain tebak-tebakan tentang perilaku ku.

"Yah.. mau bagaimana lagi, masakan ibu super enak, sih. Kenapa ibu tidak mencoba membuka restoran? Bukannya ini bakal laku?"

"Sudah berapa kali kamu bertanya tentang itu? Bukannya ibu sudah bilang padamu kalau ibu hanya ingin masak buat kalian? Kalau ibu menjual masakan ibu, masakan ibu tidak spesial lagi, dong."

"Oh.. Ibu benar juga. Kalau begitu tolong jangan membuka kafe dan terus masak untukku."

"Itu hanya alasan, Ian, sebenarnya ibumu hanya malas bekerja saja."

"Haa.. itulah yang dikatakan oleh orang yang selalu mengeluh setiap pulang kerjanya."

"Ayah tidak mengeluh tahu, itu hanya renungan singkat."

"Apanya yang renungan singkat?!"

Dan begitulah pertengkaran kecil terjadi. Aku menyelinap kearah meja makan untuk mencicipi masakan namun aku di hentikan oleh ibu. Gawat, dia sedang marah.

"Apa yang kamu lakukan, Ian? Cepat mandi dulu sebelum makan!"

"Ba-baik, bu."

Aku melarikan diri dari medan perang kemudian berjalan menuju kamar mandi.

***

Setelah mandi aku bergabung ke meja makan untuk makan malam bersama. Seperti biasa, ayah dan ibu belum makan malam. aku menarik kursi dan mulai makan setelah membaca doa.

"Oh iya, sekarang kamu sudah kelas ketiga, kan? Apa kamu sudah memutuskan untuk memasuki SMA mana? Kalau ayah sih saranin sekolah yang banyak cewek cakepnya biar kamu betah di sekolah.. aduh!"

Ayah benar-benar tidak ada kapok-kapoknya. Dia masih berani berbicara tentang hal-hal seperti itu didepan ibu.

"Jangan dengarkan perkataan ayahmu, Ian. Kamu sebaiknya masuk ke sekolah yang sesuai dengan minat kamu. Tentu saja yang bisa kamu masuki, dengan nilai kamu yang uh.. Ibu masih bingung kenapa kau bisa sebodoh ini. Apa kau benar-benar belajar saat di sekolah dan tidak bolos?"

"Te-tentu saja. Aku selalu mencatat dan belajar dengan serius kok. Hanya saja pelajarannya sulit kupahami."

"Sungguh??"

Ibu menatapku dengan curiga. Keringat dingin menetes dipunggungku. Aku tidak boleh membiarkan dia tahu kalau aku sering tertidur di kelas.

"Y-yah, bukan berarti aku menyerah soal belajar juga. Tahun ini aku tidak akan ikut turnamen apapun, jadi aku bisa meluangkan waktu untuk belajar atau belajar kelompok dengan teman-teman sekelasku."

"Dengan siapa kamu akan belajar kelompok?"

"Mungkin Kai, Farel, Jihan, Rika, dan Mira. Farel dan Rika cukup pandai belajar jadi aku bisa bergantung pada mereka dan meledakkan nilaiku untuk meraih nilai tinggi!"

"Hm.. bukankah ini sama seperti yang Ian katakan sebelumnya? Pada akhirnya, hanya Rika saja yang belajar dan sisanya malah bermain game."

"Ka-kali ini berbeda! Aku akan menyingkirkan semua gangguan itu dan sepenuhnya mengisolasi kami agar fokus belajar!"

"Tidak tidak, aku yakin kalian tidak akan menyingkirkan semuanya dan mengisolasi diri kalian agar tidak ketahuan oleh ibu kan?"

"Ugh... Bagaimana ibu tahu?"

"Tentu saja ibu tahu apa yang anak ibu pikirkan."

"Ka-kalau begitu.."

"Tunggu sebentar."

Ibu bangkit dari kursi dan berjalan kearah kamarnya. Aku bertanya-tanya apa yang akan dia lakukan. Saat aku melirik ayah, dia hanya fokus mengisi perutnya dengan nasi. Oi, bukankah kamu kurang peduli pada anakmu sendiri?!

Setelah beberapa menit, ibu keluar dengan senyum aneh diwajahnya. Aku punya firasat buruk tentang ini. Sejak dulu, jika dia memasang senyum aneh ini dia akan memikirkan beberapa ide yang menyesatkan.

"Apa yang baru saja ibu lakukan?" Aku ragu-ragu bertanya padanya.

"Tadi ibu baru saja menelepon kenalan ibu. Ibu bilang kalau putra ibu yang bodoh sedang putus asa untuk belajar. Jadi, kenalan ibu memberikan bantuan dengan meminta anaknya untuk mengajarimu."

"Apa yang ibu lakukan? Kamu tidak boleh merepotkan orang lain. Aku akan mencari cara lain tanpa merepotkan siapapun, jadi tolong batalkan permintaan itu."

"Cara seperti apa?"

"Seperti dengan belajar dengan keras setiap hari. Aku akan keluar dari ekskul dan belajar setiap hari, dengan itu apakah ibu bisa membatalkan permintaan itu?"

Ibuku sedikit terkejut dengan pernyataanku, sementara itu ayahku yang baru saja selesai makan melirikku.

"Itu hal yang bagus untuk dikatakan, kamu benar, tidak baik merepotkan orang lain. Tapi kamu tidak akan bisa lagi bermain dengan teman-temanmu seperti biasanya, apa kamu sanggup?"

Yah, aku rasa itu cukup masuk akal. Lagipula aku tidak berpikir nilaiku akan membaik hanya dengan belajar dalam waktu satu dua hari. Catatanku juga sangat berantakan, aku harus mulai meminjam catatannya Rika.

"Aku sudah bilang kan? Aku akan belajar setiap hari. Aku sadar selama ini aku terlalu banyak bermain jadi aku harus serius setidaknya sampai waktu ujian tengah semester."

"Benarkah? kalau begitu ibu akan membatalkannya. Tapi, jika kamu tidak menepati janjimu, ibu akan meminta bantuan kenalan ibu, oke?"

Aku mengangguk dengan kesepakatan ang baru saja dibuat secara mendadak. Setelah menghabiskan makan malam, aku meninggalkan meja makan dan pergi ke kamarku.

"Ini bencana, aku seharusnya tidak bilang untuk belajar setiap hari! Sial, aku terbawa arus percakapan. Ibu pasti menjebakku saat itu."

Dengan pemikiran itu, aku menjatuhkan tubuhku keatas kasur dan mengistirahatkan tubuh dan pikiranku yang seharian ini sangat kelelahan.

***