Setelah Mira dan Rika kembali, kami berkumpul di tempat duduk kami seperti biasa.
"Mira, apa yang kalian biacarakan waktu di kantin dengan para perempuan?"
"Kamu nggak perlu tau, itu rahasia perempuan."
"Benarkah? Pasti ada salah satu dari kalian yang membicarakan betapa kerennya aku saat membawakan lagu terbaruku kemarin kan?"
"Eh, kamu membuat lagu baru?!"
"Rika, kamu tidak tahu?"
"Aku baru dengar itu."
"Serius? Jadi tidak ada yang membicarakan itu sama sekali?!"
Melihat Kai yang terkejut dengan kenyataan yang dia alami membuatku sedikit kasihan padanya.
"Kupikir aku bisa memacari seseorang setelah merilis lagu itu."
Kutarik lagi kata-kataku. Aku menatap Kai dengan tatapan dingin seperti yang biasa Mira lakukan. Saat itu, secara tidak sengaja aku melihat sesuatu yang Farel dan Kai tidak sadari. Begitupun dengan Mira yang ada disampingnya. Raut wajah itu....
"Hmm apa aku pernah melihat itu disuatu tempat?"
"Ada apa, Andrian?" tanya Farel.
"Ah.. tidak ada."
"Apa? Kau sedang memikirkan Jihan lagi?" goda Kai.
"Hah, tidak tidak, aku tidak sedang memikirkannya. Awas saja kalau kau menyebarkannya. Akan ku pelintir kau."
"Aye aye bos."
"Aku serius, oke! Aku tidak ingin mendapat rumor lagi."
"Tenang saja.."
"Kata-katamu sungguh membuatku cemas."
Aku mengalihkan tatapanku keluar kelas, saat itu, aku tak sengaja melihat Jihan sedang makan sendirian di bangku taman.
"Apa yang dia lakukan..?"
***
Sesaat sebelum istirahat berakhir, Jihan berhasil kembali tepat waktu dengan napas terengah-engah. Sungguh nostalgi sekali, pagi ini aku juga dalam keadaan yang sama dengannya. Bedanya, aku tidak datang tepat waktu.
Aku sebenarnya ingin bertanya apa yang dia lakukan di taman tadi. Tapi, mengingat Kai masih dalam keadaan sadar, aku mengurungkan niatku. Kelas pun berlalu dengan cepat.
"Semoga berhasil bro."
"Jangan panggil aku begitu, kecuali kau juga ikut ke BK denganku."
"Ah.. kalau begitu aku akan cepat-cepat pergi ke klub musikku. Sampai jumpa besok!"
"Dan begitu juga aku," timpal Farel tanpa menatap mataku sedikitpun.
"Haaa ternyata ukuran otot memang tidak bisa dijadikan sebagai tolak ukur kesetiakawanan."
"Ugh.."
Baiklah, mari kita menuju tempat pengadilan.
"Ooi Andrian!!" seru Jihan.
"Hm? Ada apa?"
Sial, aku tidak bisa melupakan apa yang terjadi saat istirahat tadi.
"Hah?! Apa maksudmu dengan 'ada apa' mu itu? Bukankah kau sekarang sedang menuju tempat penyiksaanmu?"
"Hei, setidaknya sebut itu sebagai pengadilan," protesku.
"Yah, mau dilihat bagaimanapun, bukannya kau akan dihukum?" Jihan mengangkat kedua bahunya.
"Ugh.. kau benar. Jadi, ada apa?" tanyaku.
"Sudah kubilang apa maksud 'ada apa' mu itu? Tentu saja aku akan membantumu!"
"Eh- Aduh!"
Kenapa gadis ini tiba-tiba memukulku? Dan juga sikap baiknya ini.. sedikit mencurigakan. Apa yang dia rencanakan?
"Aku tidak merencanakan apapun, lho."
"Berhentilah membaca pikiranku."
"Kalau begitu ayo cepat berangkat, kamu tidak ingin hukumanmu bertambah karena membuat guru BK menunggu lama kan?"
"Iya, tapi tunggu- kenapa kamu ingin membantuku?"
"Hmm.. rahasia kurasa. Tenang saja, aku tidak akan menjebak atau meminta hal-hal aneh kok."
"Yah.. kalau begitu, terima kasih kurasa."
Kami pun berjalan menuju ruang BK. Sesampainya disana, aku disambut dengan tatapan galak dari guru BK. Lalu setelah mendapat ceramah super panjang dan super berisik selama lima belas menit. Aku disuruh membersihkan ruang lab Fisika.
Sampai di lab, aku merebahkan tubuhku disalah satu kursi yang ada.
"Benar-benar tanpa ampun."
"Hei, yang semangat dong!"
"Okee."
Aku mengangkat kursi keatas meja lalu menyapu lantai bersama Jihan.
"Baiklah, sudah selesai!"
"Apa yang sudah selesai bodoh! Kita hanya menyapu saja dari tadi."
"Bukankah dengan itu selesai? Kita sudah menyapu setiap sudut ruangan, lho."
"Kita juga harus mengepel dan membersihkan jendela."
Entah kenapa dia terlihat sangat antusias dengan hukumanku.
"Tidak usah, untuk saat ini lebih baik kita mengikuti kebiasaan Kai. Lagipula, guru BK tidak akan memeriksanya. Untuk sekarang, ayo pergi membeli jajanan atau ke game center! Aku ingin menghilangkan stressku."
"Eh.. kenapa kamu tiba-tiba mengajakku kencan dengan santai?"
"Ayolah, jangan sebut bermain dengan temanmu sebagai kencan."
"Aku tidak akan mau pergi dengan teman laki-laki ku jika itu bukan kencan."
"Kamu sungguh tidak tau arti kata menyerah, ya."
"Begitulah, jadi bagaimana?"
"Baiklah, ayo berangkat. Untuk hari ini, ayo kita 'kencan' sebagai bentuk rasa terima kasihku."
Aku berbicara dengan nada yang tidak semangat untuk menutupi rasa maluku. Jihan pasti sudah mengetahuinya dan tertawa melihat tingkahku.
***
"Jadi, kenapa bioskop?" tanya Jihan.
"Yah, tadinya aku ingin pergi ke game center, tapi ternyata aku tersesat dan berakhir tiba disini. Apa boleh buat kan?"
Jihan menatapku dengan tatapan tajam.
"Yah, aku tidak keberatan menonton film, lagian sudah lama juga aku tidak pergi ke bioskop."
"Benarkah, bagus kalau begitu."
"...."
Percakapan tiba-tiba terhenti. Yah, bukan hal aneh jika kau ingin menikmati film sendirian. Lagipula berisik di bioskop juga akan mengganggu pengunjung lain.
"Hei, Andrian, kenapa kamu memilih genre ini?"
"Kenapa, ya? Entahlah, mungkin aku hanya tidak ingin melihat seseorang menangis di pojok kelas lagi kurasa."
"...Jadi kamu melihatnya."
"Ya, sedikit."
"...."
Setelah itu, film mencapai bagian klimaksnya dan isak tangis dari para pengunjung mulai terdengar. Terutama dari bangku sebelahku, sepertinya dia tidak berusaha menahannya sedikitpun. Aku mengarahkan pandanganku ke layar bioskop sampai akhir.
***
"Cita-citaku adalah menjadi seorang istri!"
Begitulah kenangan yang paling kuat yang berakar dalam memoriku tentang Jihan. Dia gadis yang suka bicara secara terang-terangan dan sering memamerkan kelebihannya sebagai seorang gadis. Dia tidak suka jika tipe laki-laki idealnya diejek oleh orang lain.
Dia juga mahir dalam pekerjaan rumah seperti memasak, bersih-bersih, mencuci serta memarahi calon suami. Yang terakhir mungkin bukan pekerjaan rumah. Namun, kemampuannya benar-benar hebat, Rika saja mengakui kalau masakannya lebih enak dari buatannya yang seorang murid teladan.
Jihan sering meriset beberapa lelaki yang masuk dalam tipe idealnya. Meski begitu, sampai saat ini dia belum menemukan orang yang sesuai dengan tipenya. Dan dia beberapa kali putus dari pacarnya karena perbedaan pandangan dari kedua belah pihak. Jujur saja, mempunyai pacar seorang gadis SMP yang ingin dinikahi olehmu agak sedikit seram.
Namun, sebanyak apapun dia mengalaminya, perasaan depresi dari putus atau ditolak oleh lelaki tetap ada. Dan suatu hari, aku pernah memergokinya saat sedang memangis.
Waktu itu, aku sangat marah pada pacarnya saat tahu dia diputuskan sepihak karena alasan bosan. Jihan akhirnya berhenti menangis karena sibuk menahanku agar tidak melabrak mantan pacarnya.
Tentu saja, aku tidak jadi melabraknya setelah ditahan oleh Jihan sendiri. Tapi aku melaporkan itu ke divisi keamanan gadis kelasku, yang tak lain adalah Mira. Beberapa hari kemudian, aku mendengar rumor kalau Mira mendapat julukam ganas yang baru setelah membuat mantan pacarnya terhempas beberapa meter dengan menendang perutnya.
"Ayo kita pergi ke tempat lain, kali ini aku akan pastikan kita tidak akan tersasar lagi."
Setelah selesai menonton film, Jihan pergi ke toilet untuk membasuh wajahnya yang basah dan aku menunggunya di pintu keluar.
"Eh.. kita akan pergi ke tempat lain?"
"Tentu saja! ini baru jam 4, kita masih bisa bersenang-senang."
"Kurasa, aku ingin pulang saja."
"Oh, baiklah, kalau begitu lain kali kita harus pergi bersama Kai dan yang lainnya."
"Ya!"
"Kalau begitu, sampai jumpa besok di sekolah."
Aku menunggu jawaban dari Jihan namun setelah beberapa saat dia hanya menatapku dengan wajah cemberut.
"Apa?"
"Kenapa kamu mengatakan sampai jumpa disini? Bukannya kamu harusnya mengantarku sampai depan rumah baru bilang sampai jumpa?"
"Eh.. untuk apa? Arah rumah kita kan berlawanan. Lagipula ini masih belum terlalu larut untukmu pulang sendiri."
"Lalu bagaimana jika ada beberapa lelaki jahat yang menggodaku?"
"Lari saja sekuat tenaga ke rumah orang lain dan minta bantuan."
"Itu bukan jawaban yang kuharapkan!"
"Lagipula ini bukan sesuatu yang perlu kau harapkan dariku."
"Apa?! Bukannya ini kencan?!"
"Hah?! Ini bukan kencan, oke!"
Kami saling melotot untuk kemudian tertawa bersama-sama.
"Ah.. kamu memang bukan tipe idealku."
"Aku tidak punya niat jadi tipe idealmu."
"Haha.. yah, tidak apa-apa. Memiliki teman sepertimu pun cukup menyenangkan."
"Terima kasih atas pujiannya."
"Sama sama, kalau begitu, sampai jumpa besok!"
"Ya, sampai jumpa besok."
***