Di sepanjang koridor aku menyapa beberapa kenalanku di ekskul yang pernah aku masuki. Kai juga menyapa beberapa gadis yang mungkin merupakan fansnya. Sementara itu, Farel bertemu dengan teman-temannya dari klub atletik yang dia masuki saat kelas satu dulu.
Aku mungkin baru menyadari ini saat Yuli menyinggungnya kemarin, tapi apa aku benar-benar populer? Yah, dalam kasusku mempunyai banyak rekam jejak diberbagai ekskul mungkin yang paling banyak memberi berpengaruh.
Setelah tiba di kelas, kami bergabung dengan teman kami yang lain dan mengobrol ringan sampai bel berbunyi dan kembali ke tempat duduk masing-masing.
Saat pelajaran dimulai kembali, aku mulai melakukan hal yang sama seperti yang kulakukan di pagi hari. Sekali lagi, guru yang mengajar cukup terkejut dengan sikapku dan sesekali mengerjapkan matanya saat melihatku memperhatikan pelajaran dengan benar.
Aku sedikit kesal mendapat pelakuan khusus dari orang-orang disekitarku, tapi apa boleh buat, lagipula aku memang melakukan hal yang tidak biasa aku lakukan. Sementara itu, tetanggaku yang tampan tertidur pulas sampai jam terakhir.
Sepulang sekolah, aku biasanya pergi dengan tergesa-gesa menuju ruang ganti ekskul voli. Tetapi kali ini aku memutuskan untuk tidak melakukannya dan berjalan santai sambil memperhatikan anggota ekskul lain yang sedang berkumpul di sekitar lapangan untuk melakukan pemanasan.
Aku pikir aku sedikit terburu-buru saat memutuskan berhenti bermain voli saat ini juga. Atau mungkin itu hanya alasanku karena merasa tidak enak setelah menolak tawaran dari kapten untuk ikut di turnamen kali ini.
Yang manapun itu, aku rasa percuma saja jika aku hanya memikirkannya. Aku tidak terlalu pandai memikirkan hal-hal berat seperti itu dan seringkali mengabaikannya dengan memompa mood dan semangatku untuk berpikir positif.
Saat aku memasuki ruang ganti, ada beberapa orang yang sudah berkumpul disana. Mereka adalah kapten, Wildan, serta dua anak kelas dua. Tanpa basa basi, aku langsung memberi tahu mereka bahwa aku akan berhenti dari ekskul voli.
Mereka cukup terkejut mendengar perkataanku dan bertanya apakah itu disebabkan perbuatan mereka padaku kemarin. Aku dengan cepat menyangkalnya dan berkata kalau aku ingin belajar dengan serius sehingga tidak bisa ikut latihan lagi.
Aku bisa melihat ekspresi ketidakpercayaan mereka dari wajah mereka. Aku berusaha mengabaikan itu dan mengucapkan salam perpisahanku setelah berterima kasih pada mereka, bagaimanapun mereka adalah orang-orang yang baik.
Setelah menyelesaikan masalah ekskul, aku mampir ke minimarket dan membeli beberapa untuk cemilanku nanti malam. Saat itu, aku melihat wajah yang tak asing melintas didepanku.
"Oh.. Tania, apa kamu juga datang untuk membeli cemilan?"
Diia sangat terkejut saar aku menyapanya. Mungkinkah dia tidak menyadari keberadaanku?
Setelah beberapa saat, dia berdehem dan memasang kembali ekspresi seriusnya yang biasa dia tunjukkan di sekolah atau begitulah yang dikatakan teman-temanku.
"Tidak, aku kesini untuk berbicara denganmu."
Aku terkejut mengetahui seseorang sepopuler Tania datang mencariku hanya untuk membicarakan sesuatu. Dan lagi, bagaimana dia bisa tahu aku ada disini?
"Benarkah? apa yang ingin kamu bicarakan denganku? Ah! Tunggu, bisakah kita berbicara sambil berjalan? Aku punya banyak hal untuk dikerjakan jadi aku ingin cepat-cepat pulang."
Saat aku mengatakan itu, Tania tetap terdiam dan tidak beranjak sedikitpun dari tempatnya.
"Ada apa? Ayo pergi!"
Dia terlihat ragu untuk berbicara tetapi setelah berhasil meyakinkan dirinya sendiri, dia menatapku, "Bukankah kamu tidak ingin ada rumor yang buruk beredar? Kupikir jika orang lain melihat kita, mereka akan memulai rumor itu lagi."
Oh, apakah sejak tadi dia memikirkan itu?
"Tenang saja, aku sudah membuat klarifikasi di mading tadi pagi, jadi tidak akan ada rumor soal itu lagi. Dan kamu tidak perlu mengkhawatirkan aku, itu bukan salahmu, aku tidak peduli jika orang lain selain teman-temanku yang menyebarkan rumor tidak berdasar seperti itu," jelasku sambil tersenyum padanya.
"Baiklah, kalau kamu tidak keberatan."
Lalu kami mulai berjalan kearah rumah Tania yang ternyata searah dengan rumahku. Aku menawarinya cemilan yang kubeli namun dia menolaknya dengan sopan.
"Jadi, apa yang ingin kamu bicarakan?"
"Itu... um... aku ingin meminta maaf karena telah memberimu banyak masalah kemarin. Kamu tahu, soal rumor itu."
"Oh.. yah, aku tidak keberatan. Memang aku sedikit terkejut pada awalnya. Tapi aku hanya sedikit kesal dengan orang-orang yang membicarakanku dengan tidak sopan."
Tania melebarkan matanya saat mendengarkan jawabanku. Aku menatapnya dengan wajah heran. "Ada apa? Apa ada sesuatu di wajahku? Ataukah aku memasang ekspresi yang buruk?"
"Tidak... bukan itu," Tania buru-buru menyangkal perkataanku, kemudian memalingkan wajahnya dariku dan menggumamkan sesuatu yang tidak bisa kudengar.
"Apa kamu mengatakan sesuatu?" sebelumnya dia menggumamkan sesuatu saat memalingkan wajahnya tapi aku tidak bisa mendengarkan apa yang dia ucapkan.
"Oh iya, soal undanganku ke OSIS..."
"Ah! Soal itu... apa kamu masih ingin mengundangku ke OSIS? Maaf tapi aku ingin fokus belajar untuk ujian tahun ini."
"Belajar?"
"Yah, kamu mungkin tidak percaya padaku dan menganggap aku berbual tapi aku benar-benar sedang belajar untuk menutupi nilai merahku."
"Tidak tidak.. aku tidak bermaksud meragukanmu atau apapun."
"Terima kasih untuk itu, lalu aku pergi duluan, rumahku kearah sini."
Saat tiba di persimpangan, aku mengucapkan perpisahan padanya dan berlari kearah rumahku. Aku tidak sempat melihat ekspresinya saat itu karena terburu-buru.
Tiba di rumah, aku melemparkan tas ranselku di lantai kamar kemudian mengambil handuk dan pergi mandi. Setelah memakai pakaianku, aku berjalan menuju meja makan dimana ibuku sudah menyiapkan makan siang dan sedang menungguku.
"Maaf sudah membuatmu menunggu, Bu."
"Tidak masalah, mari makan bersama, kita bisa bicara setelahnya, sepertinya kamu cukup kelelahan hari ini meskipun tidak berlatih voli."
"Ya, hari ini aku belajar dengan serius jadi aku sedikit lelah karena terlalu banyak berpikir."
"Benarkah? itu bagus Ian. Tapi, kamu jangan terlalu memaksakan diri, oke."
"Tidak apa-apa, Bu. Aku hanya terlalu bersemangat karena baru kali ini belajar dengan fokus penuh."
"Karena itulah ibu bilang untuk tidak memaksakan diri. Kamu dan ayahmu sama sama tidak bisa mengurus diri sendiri, jadi ibu tidak bisa tidak khawatir."
"Aku ingin bilang kalau aku tidak ingin disamakan dengan ayah tapi jika ibu sampai bilang begitu, mungkin itu memang benar."
Ibu adalah orang yang paling serius terhadap semua hal, dan ayah adalah kebalikannya. Aku selalu bangga karena memilikinya sebagai ibuku dan ingin menirunya, namun apalah daya karena aku mewarisi gen dari ayahku yang tak bisa serius kecuali di waktu-waktu tertentu.
Ibuku sepertinya puas dengan jawabanku jadi kami tidak melakukan percakapan setelahnya dan fokus dengan isi piring kami masing-masing. Ibuku memasak banyak lauk yang enak hari ini, mungkin dia sedang dalam mood yang baik? aku tidak terlalu memikirkannya dan melahap makanan sebanyak yang kubisa makan saat itu.
"Ah... aku kekenyangan.. Makanan hari ini sangat enak seperti biasanya."
"Tentu saja, ibu tidak pernah main-main saat memasak seperti yang dilakukan Ayahmu. Lalu tentang janjimu yang kemarin, apa kamu benar-benar ingin melakukannya?"
"Tentu saja, aku tidak bisa merepotkan orang lain untuk hal sepele seperti ini."
"Baiklah, untuk saat ini ibu akan menerima keputusanmu. Tapi, jika tidak ada perkembangan sama sekali, kamu harus menyerah dan menerima bantuan dari ibu, oke?"
"Iya, aku tahu."
"Bagus, ibu tahu ibu bisa mempercayaimu."
"Kalau begitu aku ke kamar dulu untuk belajar."
"Eh, apa kamu tidak terlalu terburu-buru? Biasanya kamu akan pergi bermain game dulu setelah ini."
"Tidak, aku ingin membereskan beberapa hal untuk menyusul pelajaranku di kelas. Apalagi aku tidak punya metode yang mudah untuk belajar karena aku tidak terlalu pintar."
Sejenak, ibu menatapku dengan wajah khawatir untuk kemudian tersenyum padaku, "Apa kamu ingin ibu buatkan sesuatu untuk menemanimu belajar?"
"Tidak perlu. Aku sudah membeli beberapa cemilan di perjalanan pulang tadi. Oh iya, apa Ayah akan pulang hari ini?"
"Ibu rasa dia akan pulang larut malam nanti."
"Hm.. kalau begitu, aku titip CD lagu temanku pada ibu, Kai meminta saran ayah tentang lagunya. Lakukan saja kapanpun dia luang."
"Iya, akan ibu berikan nanti."
"Terima kasih, kalau begitu aku ke kamar dulu."
Setelah itu, aku pergi ke kamarku dan mulai mencatat berdasarkan catatan Rika sampai larut malam.
***