Saat aku masih kecil, aku selalu bermimpi menjadi orang yang hebat. Seperti, memiliki otak yang sangat cerdas atau kekuatan yang sangat besar. Tak hanya itu, aku juga sering kali melibatkan orang lain atas mimpi atau keinginanku sendiri. Contohnya, aku pernah bicara seperti ini, "Hei, Bu! Saat aku sudah besar nanti aku akan membuatkanmu rumah yang sangat besar!" sambil memamerkan senyum polosku.
Tentu saja orang tuaku tidak menganggapnya terlalu serius dan mendukungku sambil menanggapiku dengan senyuman. Tapi saat itu, aku sangat yakin kalau aku bisa menjadi dan meraih apapun yang kuinginkan. Setiap pulang sekolah dari sekolah dasar, aku selalu berlari ke rumah sambil memikirkan segala hal yang menyenangkan untuk dilakukan saat hari libur bersama teman-teman.
Setiap hari sangat menyenangkan. Meskipun ada saat-saat dimana aku merasa kesal dan tak bersemangat, aku selalu bisa mengakhiri semuanya dengan senyuman.
Setelah lulus sekolah dasar, aku masuk ke sekolah menengah pertama yang dekat dengan rumah ku. Beberapa temanku juga masuk ke sekolah yang sama denganku. Tapi, kami berada di kelas yang berbeda sehingga aku terkadang tidak bisa bertemu dengan mereka untuk beberapa waktu.
Sejujurnya aku sedikit kesulitan saat belajar, saat semester pertama aku memiliki tiga nilai merah dan harus mengorbankan waktu luangku untuk melakukan remedial atau ujian perbaikan. Ditambah lagi, aku harus menerima omelan dari ibuku selama beberapa jam.
Di SMP, aku mengikuti beberapa ekskul dan beberapa diantaranya hanya ku ikuti selama beberapa minggu. Itu bukan karena aku bosan atau memiliki masalah. Aku hanya tidak bisa menahan rasa ketertarikanku terhadap ekskul lain.
Kadang kala, hanya dengan melihat orang lain bersemangat saat mencetak goal, atau karena melihat karya atau pertunjukkan yang menarik. Aku tidak bisa menahan diri untuk segera mendaftar untuk masuk ekskul tersebut.
Aku memiliki tubuh yang cukup atletis karena sering melakukan beberapa olahraga. Aku juga gampang beradaptasi dengan orang lain. Oleh karena itu, saat aku masuk ekskul tertentu seperti sepak bola, aku tidak kesulitan untuk mengejar kemampuan anggota lain. Namun, saat aku masuk ke ekskul yang membutuhkan kecerdasan seperti ekskul debat, matematika klub, kimia klub dan ekskul semacam itu, aku sedikit kesulitan. Tapi, itu juga tidak terlalu buruk untuk kalah atau gagal dalam suatu hal.
Aku mendapatkan berbagai pengalaman serta kenangan yang sangat berharga di sekolah menengah pertamaku. Aku mendapatkan semua hal yang kuinginkan.
Kupikir tidak apa-apa meskipun aku tidak disebut cerdas, jenius, kuat, ataupun populer oleh orang-orang disekitarku. Aku baik-baik saja dengan diriku sendiri saat ini. Tapi, saat aku memasuki semester pertama di kelas tiga, beberapa hal terjadi.
Itu di mulai dengan undangan dari seorang ketua OSIS bernama Tania. Dia sendirian datang kepadaku saat aku sedang makan siang di kelas dengan beberapa teman sekelasku. Dia mengatakan kalau dia ingin aku bergabung dengan OSIS. Tapi, saat itu aku sedang bersemangat dengan ekskul voli jadi aku menolak undangan darinya.
Beberapa teman sekelasku terkejut dengan hal itu. Tidak biasa bagi seorang Tania yang sangat populer dengan kecantikan dan kepintarannnya untuk meminta seorang siswa kelas tiga untuk bergabung dengan OSIS. Terlebih siswa yang dia undang adalah seorang siswa biasa sepertiku.
"Oi oi, bagaimana ini bisa terjadi? Kenapa Tania yang populer tiba-tiba mengundang Andrian ke OSIS?"
Seorang siswa dengan perawakan tinggi dengan rambut acak-acakan berteriak sambil menatapku seperti melihat alien. Yah, itu tidak bisa dihindari. Namanya adalah Kevin tapi dia lebih suka dipanggil Kai, orang yang duduk di sebelahku. Dia adalah satu-satunya temanku yang memiliki nilai lebih rendah dariku.
"Aku juga terkejut, kupikir dia datang kesini untuk menembak Rayhan, satu-satunya lelaki yang ganteng di kelas kita. Aku lega.."
Orang yang berbicara kali ini adalah Jihan, gadis yang duduk di belakangku. Sekadar informasi, dia baru putus dari pacarnya dan sekarang berencana untuk mengincar Rayhan, lelaki populer di kelas. Dia tipe orang yang berterus terang seperti Kai tapi tidak cukup bodoh untuk melontarkan kata-kata tajam karena dia cukup peka dalam hal itu.
"Hah?! Ada apa dengan matamu? Menilai seseorang hanya dari wajahnya itu tidak relevan tahu, lihatlah dengan baik, dia bahkan tidak memiliki satu pun otot di lengannya, mana mungkin dia dikategorikan sebagai lelaki?"
Seorang lelaki dengan yang lengan bajunya digulung menyanggah pernyataan sepihak dari Jihan. Namanya Farel, wajahnya memang lumayan tapi sayang dia hanyalah seorang maniak otot, dia sering memaksaku untuk mengunjungi gym bersama. Awalnya aku sangat bersemangat karena aku tidak pernah mengunjungi tempat seperti itu. Tapi beberapa hari kemudian, aku merasa sakit di sekujur tubuhku yang disebabkan oleh pelatihan brutal yang dia paksakan padaku.
"Kupikir kamu lah yang seharusnya berhenti menilai orang dari ototnya," sanggah Jihan.
"Berisik sekali! Hanya karena idiot itu didatangi oleh ketua OSIS, semua orang manjadi tak terkendali."
Dan selanjutnya adalah gadis dengan kuncir kuda yang bernama Mira. Dia memang memiliki mulut yang tajam dan sedikit pemarah. Tapi dia orang yang baik dan suka menolong. Di kelas ini tidak ada orang yang berani mengganggunya karena dia pemegang sabuk hitam di taekwondo.
"Tenanglah Mira, kamu tidak perlu marah untukku."
Aku dengan berani meletakan tanganku dibahunya.
"Hah?! Siapa juga yang marah untukmu?! Jangan kepedean dasar idiot!"
Mira menepis tanganku dari bahunya dengan mata yang melotot.
"Ugh.. bukankah kamu terlalu-blak blakan padaku? Setidaknya ucapkanlah sedikit kebohongan untuk menghiburku."
Aku dengan berlebihan menekan dadaku seolah-olah tertusuk benda tajam. Sebagai balasannya, Mira menatapku lebih dingin dari sebelumnya.
"Hm.. Kalau dipikir-pikir itu sangat aneh. Aku tidak pernah melihat Andrian dengan Tania berbicara. Apa kamu bertemu dengannya sebelum ini?"
Seorang gadis dengan rambut bob membuka mulutnya setelah diam sejak tadi. Namanya Rika, dia adalah ketua kelas ini. Dia sangat pintar dan dewasa. Dia berteman baik dengan Mira sejak masuk SMP, jadi bisa dibilang dia adalah pawang perempuan bar bar itu. Ups, aku harus hati-hati, jika dia tahu aku memikirkan ini, aku akan jadi samsak hidup.
"Aku pikir aku tidak pernah bertemu dengannya selain di sekolah dan juga aku tidak bisa menyebut itu pertemuan karena kami hanya berpapasan tanpa melakukan interaksi apapun. Ini pertama kalinya kami berbicara satu sama lain."
"Benarkah? Kalau begitu mungkin ada alasan khusus kenapa dia memintamu untuk masuk OSIS."
"Apa ada kemungkinan kalau dia suka padaku?" tanyaku sambil menunjuk diriku sendiri.
Teman-temanku menatapku dengan ekspresi tidak percaya. Bahkan Kai pun tercengang mendengarkan kata-kataku. Apa aku seburuk itu? Ugh, aku tidak percaya mereka sekejam itu padaku.
***