Chereads / The Reason why It Happened / Chapter 2 - 1. Namanya Bagus Satria

Chapter 2 - 1. Namanya Bagus Satria

Bagus Satria, rupanya seperti namanya—Bagus. Kepemimpinannya seperti satria, kokoh dan berani. Sayangnya, di depanku dia seperti Hitler, kejam dan menyebalkan. Bagaimana tidak, pendapatku selalu di tolak, entah dalam rapat maupun di luar rapat.

"Kita pergi ke Jogyakarta saja untuk perpisahan angkatan ini, mengunjungi candi dan situs purbakala. Sambil mencari tourguide dalam perjalanan ini," usulku siang ini di gazebo sekolah dengan atap jamur.

Terik menyengat kulit, jarum pendek menunjuk angka dua dan jarum panjang menunjuk angka yang sama. Seharusnya matahari sudah tidak ada di atas kepala, tetapi cuaca panas masih seperti pukul dua belas.

"Enggak. Tahun lalu sudah," tolak Satria dengan tegas, benar-benar semakin membuatku gerah. Ini saranku ke dua belas dan semuanya dilepas, ditolak tanpa penjelasan yang pas.

"Terus mau kemana Sat? Semua saran Fia kamu tolak," bela Fakhrizal atau yang biasa kami sapa Izal, sambil memandang ke arahku.

Aku hanya mengendikkan bahu.

"Masih mikir," balas Satria.

Astaga, dia pikir aku tadi tidak berpikir saat mengajukan saran? Benar-benar menyebalkan.

Matanya terpejam, tangannya bersindekap, persis seseorang yang meminta ilham.

Harusnya dalam kondisi yang demikian, seseorang terlihat mengagumkan, tetapi tidak untuk Satria. Dibilang sosok kutu buku yang berkacamata dan membosankan jelas bukan sekali. Satria memiliki kelihaian dalam memilih gaya berpakaian. Ya, untuk menunjang penampilan.

"Punya dendam apa sih Satria sama Fia? Hm?" tanya Albi, yang berlalu begitu saja tanpa membuat Satria terganggu.

"Lagian, saran dari Fia tidak semuanya sudah pernah di kunjungi, Satria. Enggak ada salahnya loh, buat kita belajar sejarah. Bukannya, dari masa lalu, kita bisa hati-hati dalam melangkah?" tanya Nindia. Suaranya tenang, mendamaikan.

Sedetik kemudian Satria langsung mengangguk. Menyetujui apa yang disampaikan Nindia. Entah mantra apa yang dimiliki Nindia. Setiap Ia berpendapat, Satria langsung menyetujuinya.

"Kunjungan Candi ke Mojokerto saja ya, hemat biaya." Satria bersuara.

Membuka mata kemudian berjalan masuk ke dalam ruang osis, meninggalkan kami yang bahkan kesulitan berkedip karena saking tidak percayanya.

Itu saran pertamaku. Sebelumnya di tolak tanpa aku sempat menjelaskan maksudnya. Tapi lihat, sekarang itu dijadikannya pilihan.

Aku menggeram, buku-buku kukuku ku tekan erat hingga tampak kemerahan. Mau tidak mau, aku tetap mencatatnya, pun Albi dan Ranita segera melaksanakan tugas, untuk memperkirakan anggaran dana.

Pernah waktu itu, saat sedang rapat pelaksanaan kegiatan. Satria dan aku bersitegang, hanya masalah sepele seharusnya, namun menjadi besar dan merembet kemana-mana.

Senja hampir menguasai cakrawala, tetapi meja bundar di ruang osis masih dipenuhi panitia dan anggota osis lainnya.

Pembahasan tentang kegiatan perayaan hari jadi sekolah. Aku mengusungkan tema, kelulusan bukan ajang coret-coretan. Sedang Satria mengusulkan tema, peran pemuda dalam media.

"Setuju sih sama Fia. Kebanyakan pemuda jaman sekarang, selesai pengumuman kelulusan, sudah sibuk sama coret-coret baju seragam. Padahal kan, bisa dipinjamkan, atau diberikan pada adik kelas yang membutuhkan. Lebih bermanfaat kan?" ucap Ranita mendukung saranku.

"Terlalu monoton, jangan." sanggah Satria menolak saranku dan gagasan Ranita.

"Lebih baik peran pemuda dalam media, lebih jelas, bisa diakses semua tingkatan kelas." Satria mengutarakan pendapat.

Sebenarnya sarannya memang lebih baik. Perihal caranya menolak saranku, jelas tidak bisa dibenarkan. Tidak bisakah dia membuat kalimat yang digunakan sedikit lebih sopan dan terdengar nyaman di telinga?

"Kalau misal peran pemuda dalam berkarya dan memajukan bangsa, bagaimana?" salah seorang anggota osis lain menyumbang suara.

"Bisa dipertimbangkan. Tetapi saran Fia jelas tidak masuk pertimbangan."

Berhubung ini forum yang cukup penting, tidak baik rasanya, jika aku marah-marah hanya karena mendapat penolakan sepihak.

Nindia dan Ranita mengusap punggungku, mengatakan tenang tanpa melalui ucapan.

Lagi-lagi Nindia yang harus mengingatkan Satria, tentang kesalahan yang dia lakukan. "Kenapa saran Fia tidak dipertimbangkan juga, Satria? Tidak adil rasanya kalau hanya beberapa yang dipertimbangkan."

Satria mengubah posisi, memandangku sekilas langsung mengangguk. Begitulah, Nindia selalu bisa meluruhkan sikap batu seorang Bagus Satria.

Ngomong-ngomong soal Nindia, dia terlahir menjadi gadis manis dengan lesung pipi, bersikap lembut tetapi tegas. Menjadi wakil ketua osis. Ya, wakil seorang Bagus Satria. Keduanya merupakan perpaduan yang unik, Satria dengan sikap keras kepala, sedang Nindia seorang gadis pemilik kesabaran ekstra. Itu yang aku tahu, karena Nindia adalah salah satu teman dekatku, juga Ranita tentunya.

***

Fia, begitulah mereka memanggilku. Nama lengkap yang disematkan untukku adalah Zefia Mimosa. Mimosa bukan nama keluarga, tetapi sebuah harapan keluarga agar aku menjadi seperti putri malu. Seorang perempuan yang mampu mempertahankan diri dan kehormatannya, kurang lebih inilah filosofi namaku.

Aku merupakan salah satu pengurus osis di sekolah, mendampingi Satria dan Nindia sebagai pasangan ketua osis juga wakilnya, kemudian ada Ranita dan Albi yang menjadi pemegang keuangannya—bendahara, dan aku sendiri pemegang arsip penulisan—sekretaris bersama Fakhri.

Sebelumnya kami adalah teman lama di bangku seragam putih merah. Pada tingkat pendidikan berikutnya, kami berpisah. Aku dan Satria tetap di yayasan yang sama seperti saat sekolah dasar dan SMA sekarang. Albi masuk ke salah satu sekolah swasta Internasional di kota ini, sedang Nindia dan Ranita melanjutkan keluar kota. Fakhrizal sendiri menempuh pendidikan di sekolah keagamaan. Pada masa abu-abu ini, kami ditakdirkan bertemu lagi, dilibatkan dalam satu organisasi.

"Ada rencana survei lokasi?" tanya Fakhri duduk mendekat ke arah Albi.

"Sebentar, kuambilkan kalender agenda kita ya. Siapa tahu ada jadwal kosong," usulku. Keempat teman yang masih duduk di gazebo ini mengangguk bersamaan.

Aku turun dari gazebo, berjalan menuju ruang osis yang jalan lima langkah sudah bisa menggapai pintunya. Suara langkahku cukup terdengar di tengah keadaan yang sepi, siswa lain jarang sekali berjalan melalui ruang osis ini.

Pintu berwarna abu-abu aku dorong dengan tanganku, setelahnya terbuka menyuguhkan pemandangan Satria yang duduk di meja utama sambil menggambar di buku tidak bergaris, seperti biasanya. Dia bahkan tidak melihatku masuk, bukan tidak melihat sepertinya tetapi tidak ingin melihat. Aku meraih kalender agenda di belakang Satria yang tergantung di sebelah list rencana kegiatan osis bulan ini.

"Permisi," ucapku sopan, masih berusaha menghargai Satria yang duduk di depan kalender tersebut.

"Hm." Dia hanya berdeham, menggeser sedikit kursinya. Tidak memberikan aku keluasaan untuk mengambil dengan mudah.

Aku hanya tetap berusaha meraihnya, meskipun tetap kesulitan karena Satria tidak berpindah tempat.

"Yes," gumamku saat bisa meraih kalender, tetapi ada yang robek pada ujungnya, aku hanya mendesis saat mengetahui hal itu.

"Dasar ceroboh." Satria bangkit dari kursinya dan beranjak keluar.

"Kenapa kamu selalu seperti itu sih, Sat?" interupsiku membuat Satria menghentikan langkah. Berbalik menghadapku, sambil memincingkan alisnya.

"Kenapa?" tanyanya pendek.

"Aku selalu salah ya di mata kamu, semua saranku kamu tolak, perihal kalender yang robek sedikit kamu bilang aku ceroboh, padahal kamu yang tidak mau menggeser kursi, aku kesulitan buat ambil kalendernya!"

"Kan bisa bilang, kenapa nggak bilang?" tukas Satria yang membuatku semakin geram.

"Ya harusnya kamu tahu. Aku kan, enggak mau ganggu kamu. Lagian nih ya. Kita tuh temenan udah lama, sebelas tahun. Tapi sikap kamu selalu dingin ke aku, kenapa ke mereka enggak?"

"Karena mereka bukan kamu."

"Kenapa kalau aku?"

"Karena, aku muak sama kebaikanmu." Satria berlalu, menutup pintu dengan kasar dan membiarkan aku mematung sendirian.

Aku tidak pernah menduga jawaban itu sebelumnya. Jawaban yang seperti belati, berhasil menusuk ke hati.