Hujan masih mengguyur kota, membasahi setiap inci jalanan yang tidak tertutup oleh apapun.
Langit masih gulita. Jalan raya tetap saja terbangun, apalagi dipenuhi oleh lalu lalang kendaraan yang dikendarai oleh manusia-manusia penuh kelelahan. Ada dua jenis yang sebagian kita tahu mereka yang baru pulang kerja, atau mereka yang sibuk dengan kegiatan sekolah di luar kelas. Seperti aku, tepatnya seperti kami. Aku dan Satria masih di bawah atap mobil yang sama. Isakkan ku mereda, sekitar satu jam yang lalu.
Satria masih tidak bergeming di sampingku, bahkan tidak ada usaha menghentikan tangisku. Harusnya terkesan menyebalkan, tetapi nyatanya aku lebih merasa nyaman. Merasa bebas menuangkan perasaan tanpa harus dihentikan.
Rintik mengambil alih peran hujan, bersamaan dengan mobil yang memasuki pelataran rumah. Mendung hampir berhenti menangis, hanya butiran kecil yang kini jatuh—gerimis.
Rumahku memiliki halaman yang cukup luas. Sebelah kiri terdapat toko bunga atau ruang pemesanan dan pengambilan bunga. Sedang sebelah kanan, menjadi tempat banyak bunga tumbuh dan berkembang. Di area sekitar rumahku masih bisa dikatakan pedesaan, sehingga halaman yang lapang adalah bentuk keuntungan untuk bisnis tumbuhan, khususnya bunga.
Sekolahku yang berada di kota—tepatnya semi kota—sangat berbeda dengan keadaan di rumah, untuk jarak keduanya bisa dikatakan cukup jauh. Itu sebabnya antar jemput masih menjadi mode alternatif ke sekolah.
Mesin mobil berhenti setelah Satria menginjak rem. "Sampai," lirihnya. Setelah membuka pintu mobil dan mengambil payung, Satria keluar lebih dulu.
Aku melihat Papa berjalan menghampiriku, tangannya membawa payung, mengajakku masuk setelah membuka pintu mobil. Papa memelukku dari samping agar payung yang tidak terlalu besar itu cukup untuk kami berdua. Aku menaiki anak tangga yang hanya berjumlah tiga dengan pelan-pelan, karena genangan air dari atap membuatnya menjadi licin.
"Hai, Fia," sapaan itu menyambut ku saat aku memasuki rumah. Nindia duduk dengan Mama di ruang tamu.
Belum sempat aku menjawab sapaan Nindia, Satria lebih dulu mengucapkan salam dan masuk, "Hai Satria. Terima kasih sudah mengantar Fia sampai rumah dengan selamat." Nindia tersenyum dengan manis ke arah Satria.
"Ngapain ke sini Nin? Kita ada janji kerja kelompok?" tanyaku pada Nindia. Nindia hanya menggeleng.
"Aku tadi bikin kue, ini, aku anter buat kamu." Nindia menyerahkan sekotak kue Muffin yang berwarna warni, persis seperti desain kaos yang kini dikenakan.
Aku mengangguk, "biar di meja saja, aku ganti baju dulu ya," ucapku kemudian segera berlalu pergi.
Aku masih bingung, kenapa Nindia harus repot-repot membawakan kue ke rumah padahal hari sedang hujan. Nindia memang suka membuat makanan, tetapi Nindia bukanlah orang yang suka dengan hujan. Nindia adalah seseorang yang lebih memilih tetap di sekolah jika harus pulang kehujanan.
Pintu kamar bercat ungu dan sebuah papan persegi panjang kecil bertuliskan "My Private Room" menjadi sebuah tanda bahwa ini kamarku.
Seharusnya privasi itu hanya milikku saja, tetapi setelah memasuki ruangan ini, akan terlihat bahwa ini bukan menggambarkan ruangan untuk beristirahat yang berisi tempat tidur saja.
Setiap ujung kamar, terdapat bunga sedap malam sekaligus guci berukiran bunga yang sama. Di jendela sebelah barat, terdapat kaktus dan berbagai tanaman kecil. Siapa yang mendekor ini semua? Jelas bukan aku, tetapi Mama. Aku menyukai bunga tetapi tidak suka jika kamarku penuh tumbuhan.
Aku menggantung ranselku di gantungan samping lemari, hendak meraih bunga sedap malam itu, tetapi sebuah surat tertempel pada guci yang menjadi vas nya. "Jangan diambil dan dibuang ya sayang, kasihan tanamannya. Nanti kalau sudah busuk dan tidak lagi wangi Mama ganti baru lagi ya."
Aku mendengus. Mama selalu begitu. Berapa kali aku membuangnya, maka berulang kali juga mama akan mengganti dengan yang baru lagi.
Aku melepas kaos kaki, merebahkan tubuh ke kasur sebentar. Rasanya lega sekali bisa sampai rumah dan masuk ke kamar.
Kamar adalah ruangan paling nyaman, tidak bisa didebat. Aku menghirup napas dalam-dalam, memejamkan mata perlahan. Tenang sekali, hanya bunyi jarum jam yang tidak berhenti berputar, hingga kemudian suara pintu kamarku diketuk.
"Zefia, segera ya ganti bajunya! Jangan rebahan! Kasihan Satria sama Nindia nunggu kamu. Kita makan malam bersama," suara Mama dibalik pintu membuat mataku mengerjap. Baru saja aku mengistirahatkan lelah.
Aku bangkit segera menuju kamar mandi dan meraih bathrobe di samping pintu.
Rutinitas mandi ku hanya menghabiskan waktu kurang lebih 15 menit. Kini sudah digantikan pakaian rumah bergambar beruang. Aku segera keluar kamar, tidak lupa dengan sliper berkepala beruang yang biasa aku kenakan di rumah.
Langkahku yang hendak menuju meja makan terhenti, tampak jumlah manusia lebih banyak dari sebelum aku masuk ke kamar. Laki-laki berkemeja garis-garis seperti zebra dan seorang gadis dengan baju warna biru carolina.
"Nah, itu Fia. Hai Fia, aku gabung ya," laki-laki berkemeja itu melambai.
Aku mendekat, saat mengetahui keduanya adalah Albi dan Ranita.
"Ngapain pada kesini sih?" tanyaku sambil menarik kursi makan di sebelah Nita.
"Fia enggak boleh ngomong gitu, ah," tegur Papa saat mendengar pertanyaanku.
"Ya abisnya, tadi udah Nindia, terus sekarang mereka berdua," ucapku sambil mengambil piring dan menyendok nasi.
"Kan kita kangen Fia," ucap Albi sambil tersenyum sampai menyipitkan mata. Bentuk sebuah senyum palsu penuh rayu, senjata Albi untuk menaklukkan banyak gadis di sekolah.
"Tadi di sekolah, sudah ketemu Al. Tahu gitu, tadi aku minta antar pulang kalian saja kalau pada mau ke sini."
"Yes, basecamp baru untuk pengurus osis. Rumah Fia," ucap Albi dengan nada sambutan sebagaimana di televisi atau acara-acara sejenis lainnya.
"Sudah, sudah, mari makan dulu. Nanti dilanjutkan lagi bercandanya," lerai Mama.
Tidak butuh waktu lama, piring yang semula penuh, menjadi kosong karena isinya telah berpindah—ke dalam perut masing-masing.
Nindia berinisiatif membantu Mama dengan mencuci piring kami semua, aku, Papa, Albi, dan Satria memilih berpindah tempat duduk ke ruang tamu. Ranita membantu Nindia, terlihat seusai dari kamar mandi, dia tidak segera menyusul kami.
"Coba ada Izal pasti paket lengkap," celoteh Albi sambil mengambil kue buatan Nindia.
Belum habis kue di tangan Albi, sebuah ketukan pintu menghentikan aktivitas makan Albi.
Aku bangkit, "biar Fia yang buka, Pa." Aku menahan tangan Papa yang juga hendak beranjak. Tidak ada panggilan nama, hanya ketukan pintu yang terdengar. Ketika gagang pintu berhasil aku tarik, seorang laki-laki seusia sebaya dengan aku berdiri di depan pintu.
"Apa benar ini rumah Fia?" tanya laki-laki itu.
"Iya, saya sendiri. Maaf kamu siapa ya?" mengingat wajah orang adalah salah satu kelebihanku dibandingkan mengingat nama orang, tetapi laki-laki ini sangat asing untukku.
Tanpa menjawab pertanyaanku, laki-laki itu meneriaki temannya di dalam mobil jeep yang berdiri di belakang mobil pick up milik Satria.
"Bawa turun guys, ini benar rumah Fia!"
Aku menaikkan alis, apa yang akan di turunkan? Sebuah hadiah?
Ketika pintu mobil terbuka, tiga orang membopong seseorang mendekat ke arah rumahku. Ingin sekali aku mencegahnya, namun kerongkonganku terasa kering, apalagi saat orang yang dibopong lebih dekat dengan jangkauan mataku. Suaraku menghilang.
Aku menjatuhkan tubuh, Izal, terkapar setelah diletakkan pelan pada bangku di teras depan oleh tiga orang dari mobil jeep itu.
"Siapa kalian?" suara Papa mengintrupsi.
"Maaf Om, kami menemukan Izal begini di pinggir jalan dekat sekolah. Saat hendak kami antar pulang, Izal yang setengah sadar meminta kami mengantar ke rumah Fia."
Wajahnya memar, membiru di beberapa bagian. Aku memang tidak banyak berkomunikasi dengan Izal, namun melihatnya seperti ini, bulir air mata berjatuhan.
"Takut kehilangan aku?" lirih, lirih sekali suara keluar dari bibir Izal yang sedikit berdarah pada ujungnya.