Satria bersikeras untuk melihat Villa sebagai opsi kita menetap nantinya. Mau tidak mau, Albi menyanggupi. Melewati jalan menanjak, menurun, entah sampai berapa kali, mobil memasuki pelataran Villa. Tubuh jalan yang miring, membuat bangunan Villa menyesuaikan, di satu sisi bangunan terlihat tinggi, di sisi yang lain rata dengan tanah.
Villa ini terletak cukup ujung, jika dilihat dari bawah, terlihat seperti bangunan tunggal di atas bukit. Ibu pemilik Villa baru saja keluar dari Villa, menyambut kehadiran kami dengan sangat baik. Menawarkan beberapa minuman di meja sepaket dengan camilannya.
Karpet hijau terbentang ketika kaki pertama kali menginjakkan kaki. Terdapat pintu samping, berbahan kayu jati dengan ukiran naga dan merpati.
"Maaf Bu, ini tidak boleh dibuka ya?" tanya Satria kepada Ibu pemilik Villa.
"Sebenarnya tidak apa-apa Mas. Pintu ini, hanya menghubungkan jalanan kecil menuju taman sederhana di atas bukit. Tetapi jalanan cukup curam Mas. Sebaiknya tidak ke sana ketika musim hujan. Karena licin dan bahaya," tutur Ibu Villa membuat kami mengangguk-angguk.
Tetapi bukan kami yang ketika diberi tahu untuk tidak ke sana, malah ingin ke sana. Sederhananya, sesuatu yang dilarang malah membangkitkan rasa penasaran.
Sebelum ibu Villa pergi, kami meminta izin untuk pergi jalan-jalan mengunjungi medan yang disajikan melalui pintu samping. Ibu Villa mengizinkan dan meninggalkan pesan untuk kami hati-hati.
Ketika pintu di buka, hamparan tanah liat menyapa pandangan. Dengan batuan kecil yang ditata melingkar seperti membentuk jalan agar dapat dilalui tanpa menginjak tanah. Barisan batuan itu sampai pada tangga tua, tanpa ada pegangan. Beberapa anak tangga dipenuhi lumut, hijau yang menyatu dengan tumbuhan-tumbuhan di sekelilingnya, sejenis perdu, tetapi juga ada beberapa pohon besar. Sebelah kiri tempat akar pohon besar tumbuh, sudah jelas sekali, bahwa itu jurang. Cukup dalam.
"Fia, ayo jalan di depan sama aku," Albi menarik lenganku sebelum teman-teman sampai menuju tangga.
Aneh. Sikap Albi sangat aneh. Terkesan protektif.
"Hiih.." aku melepas tangan Albi dari lenganku.
"Duluan saja. Aku sama Ranita dan Nindia."
"Jangan. Bahaya," tukas Albi cepat, kembali menarik lenganku. Sebelum mengikuti langkahnya, aku melihat Albi menatap Satria dan Nindia dengan pandangan tajam.
"Kenapa sih Al?" tanyaku di sela-sela perjalanan. Albi jalan di depanku sambil menggandeng tanganku, agar aku aman di belakangnya.
Albi menggeleng dan terus berjalan.
Sesampainya di anak tangga terakhir, kami disuguhkan dengan jalanan setapak yang dipagari oleh pohon-pohon yang berjajar rapi disepanjang sisinya. Beberapa langkah lagi, sebuah gapura yang terbentuk dari anyaman ranting pohon, melengkung pada bagian atasnya seperti pintu masuk.
Usai melewati gapura anyaman kayu. Kami terpaku, khususnya aku. Tempat ini seperti cafe yang dibuat oleh alam. Sebuah pohon tumbang dengan cabang yang melingkar, seperti tempat duduk. Pemandangan penyejuk mata ke arah terasering dan rumah penduduk yang berjarak, tetapi terlihat simetris. Indah. Sangat indah.
"Bisa gitu ya, ada tempat seperti ini," ujar Ranita sambil duduk di sebuah batu sedang berwarna abu-abu, sedikit hiasan lumut pada bagian sisi.
Terdapat empat batu berukuran tidak sama, tetapi hampir mirip, mengelilingi batang pohon yang telah dipotong, seakan-akan menjadi meja. Aku duduk di samping Ranita, menghirup napas dalam-dalam.
Disini udaranya sejuk, entah karena jauh dari kota atau karena banyak pepohonan yang memasok oksigen dalam jumlah besar. Earphone yang sebelumnya menutup telingaku, ku lepas. Ku letakkan di batu kecil disamping kakiku.
Bunyi bambu yang ditiup angin saling bergesekan, menjadi melodi yang menemani perbincangan kami. Diskusi mengalir tentang rencana-rencana yang akan dilakukan di sini.
Aku tidak banyak komentar, aku lebih menikmati kenyamanan dari alam, dibandingkan diskusi mengenai kegiatan. Izal mengambil alih peranku, mengeluarkan dawai miliknya untuk membuat catatan singkat. Aku tersenyum, Izal membalas.
"Fia, kamu enggak nyimak diskusi kita ya?" tegur Albi.
"Nanti aku baca catatan Izal," balasku singkat.
Waktu berlalu, menenggelamkan aku dalam rayuan alam untuk menikmati sepoi angin. Menyimak pertunjukan pohon menari diiringi gesekan bambu. Susah sekali menemukan hal sederhana yang menenangkan seperti ini di kota, di tempat kami tinggal.
"Ayo pulang," ajak Satria yang kini sudah berdiri.
Bersama-sama kami menuruni anak tangga dengan hiasan lumut tadi. Seperti sebelumnya, aku berjalan paling depan dengan Albi. Tetapi ada yang mengganjal, barangku sepertinya ada yang tertinggal.
Di anak tangga paling bawah, aku menghentikan langkah. Mengecek isi tas, dan meraba telinga yang tadi disisipi benda. Itu dia. Earphone ku.
"Aku balik ke atas dulu ya," ucapku tergesa-gesa. Mengabaikan tawaran Albi yang hendak mengantarku. Aku hanya berteriak tentang barang yang tertinggal, dan hanya mengambil dengan cepat. Tidak perlu diantar, karena hanya sebentar.
Aku tetap berhati-hati menaiki tangga, meski tidak lagi ada yang dijadikan pegangan seperti lengan baju Albi tadi. Tiba pada anak tangga paling atas, aku bergegas mencari earphone milikku. Ku dapati masih tergeletak di sana.
Suara gesekan bambu yang tadi terdengar seperti alat musik yang digerakan oleh angin, kini menjadi menakutkan. Berdecit nyaring, membuat jantungku berdebar. Mungkin benar, sesuatu yang biasa saja saat keadaan ramai, akan berubah ketika kita sendirian.
Bulu kudukku berdiri, aku semakin merasa tidak nyaman. Tangga yang sebelumnya ku lewati dengan begitu hati-hati, kini tidak lagi. Aku hanya ingin sampai di bawah, berkumpul dengan mereka, segera, secepatnya.
Sikap buru-buru itu tidak menyelamatkan aku. Aku tergelincir di tangga kelima dari atas. Tubuhku terpelanting, rasanya aku terbang dan terbanting. Tubuhku terjun ke sisi tangga tempat akar-akar tumbuh di sana. Meluncur dengan cepat, tetapi untung, ada ranting besar yang menarik bajuku.
Dengan sisa suara, aku berteriak minta tolong, berusaha meraih ranting dengan tanganku, di sisa-sisa tenaga ku. Aku mendengar suara derap kaki, ku harap itu pertolongan yang menghampiri. Namun nihil, bukan uluran tangan yang kudapati, justru sebuah ranting kecil yang panjang, berusaha menyingkirkan tangan dan bajuku yang tersangkut. Seakan berupaya membiarkan aku terjatuh.
Ketika tubuhku kembali menyatu dengan udara, banyak derap kaki semakin terdengar meski samar. Paduan suara meneriaki namaku, tetapi aku tidak lagi mampu membalas teriakan mereka. Aku memilih menutup mata, menikmati tubuhku yang melayang. Meski kemudian kepalaku menyentuh benda keras. Sakit. Panas. Badan ku bertubi-tubi terhantam, seperti bola pada permainan bounce.
Sayup-sayup aku mendengar suara dari atas.
"Kenapa enggak bantu Fia? Kamu sengaja membunuhnya?" suara itu menggelegar.
Sebelum akhirnya terdengar bunyi tit panjang, seperti telepon terputus. Kemudian suara hilang. Aku tidak bisa mendengar apapun. Namun, aku masih bisa merasakan perih di sekujur tubuh. Lagi-lagi tidak lama. Kelopak mata ku memaksa untuk menutup, padahal aku masih ingin melihat sekelilingku. Tidak butuh waktu lama, aku kehilangan kesadaran.
Aku tidak tahu aku dimana. Aku tidak tahu aku kemana. Hanya saja, rasa sakit itu tidak lagi terasa.