Chereads / The Reason why It Happened / Chapter 5 - 4. Keributan Tengah Malam

Chapter 5 - 4. Keributan Tengah Malam

"Aduh, ini kenapa?" pekik Mama saat mendapati Izal dengan luka-luka yang menjalar.

"Kami izin pamit ya, Om." Pamit laki-laki yang tadi mengetuk pintu.

"Kalau ada apa-apa bagaimana?" tanya Papa dengan suara sedikit meninggi.

Laki-laki itu mengeluarkan ponsel, "ini nomor saya Om, kami juga berencana mencari siapa yang sudah melakukan ini. Kalau ada apa-apa, Om hubungi saya saja." Laki-laki itu menyerahkan ponsel ke Papa.

Mobil jeep perlahan meninggalkan pelataran rumah, Mama bergegas masuk mengambil kotak obat, sementara itu Albi dan Satria membawa Izal masuk untuk diistirahatkan pada ranjang yang terletak di depan televisi, tepat di samping ruang tamu.

"Apa sebaiknya kita tidur di sini juga?" tanya Albi membuat semua yang berkumpul menjadikan dirinya sebagai pusat pandangan.

Namanya juga Albi, cowok yang hampir memacari seluruh cewek di sekolah, khususnya teman satu angkatan. Mungkin kecuali aku, Ranita, dan Nindia.

Papa termenung mempertimbangkan, Mama masih lihai menyapu pelan lebam di wajah Izal dengan kapas putih, Nindia dan Ranita membantu mengobati lukanya.

Sedang aku, hanya duduk di kursi ruang tamu sambil melihat ke arah mereka. Ya, aku tidak suka terluka, ataupun melihat orang terluka.

Aku bukan tipe individu caregiver, yang penuh cinta dan kepedulian pada sesama. Dari pada menolong orang terluka, aku lebih memilih menyingkir agar tidak melihat luka itu, atau mendengar rintihan kesakitannya.

"Fia, aku nanti tidur sini," celetuk Albi yang mendadak menjatuhkan tubuh di sampingku.

"Ngapain tidur di sini sih, kamu kan punya rumah."

Aku berjalan cepat ke arah Papa, menarik lengan Papa agar sedikit menjauh. Sedikit berbisik, "Pa, kenapa ngizinin mereka tidur di sini sih? Nanti Fia enggak bisa istirahat kalau ada mereka."

"Satria bilang, ide Albi bisa jadi alasan kalau orang tua Izal nyariin," tutur Papa dengan perlahan. Padahal bukan ini jawaban yang aku mau.

Aku berdecak, malam ini tidak ada ketenangan di rumah ini.

***

Jarum jam menunjukkan pukul dua, dengan jarum kecil di angka dua dan jarum panjang hampir melewati angka 12. Masih hampir, belum terlewat. Aku mengerjapkan mata berulang kali, mengucek mata adalah satu cara agar mataku bisa terbuka lebar.

Aku melihat ke arah kanan dan kiri, Ranita dan Nindia masih tertidur pulas. Gara-gara saran yang diajukan oleh Albi, mereka berdua turut terlibat untuk menginap di rumahku.

Menjelang pukul sepuluh, Izal telah sadar, sekarang ketiganya telah berpindah tempat ke kantor pemesanan bunga. Di sana ada sebuah kamar dan tempat tidurnya.

Aku bangkit, hendak mengambil air di meja dekat jendela kamar. Terdengar suara samar-samar, suara saling pukul, dari arah bawah. Aku menggeser gorden yang menutup jendela untuk melihat apa yang terjadi di bawah sana.

Gelap. Bahkan kantor pemesanan bunga juga dimatikan lampunya.

"Ta, Nin, ada yang berantem," ucapku seraya menggerakkan tubuh dua temanku yang tengah berbaring di sampingku.

Keduanya masih nyaman dengan terpejam, tidak ada yang terganggu dengan usahaku membangunkan mereka. Berulangkali ku gerakkan tubuh mereka, berulang kali ku sebut nama mereka, nihil. Tidak ada tanggapan. Seharusnya aku memaklumi ini, karena waktu tidur kami, belum mencapai tiga jam.

Aku meraih ponsel, menyalakan senter dan berjalan mengendap-endap, hingga aku tidak mendengar suara kakiku sendiri.

Perlahan langkahku mencapai pintu rumah, suara orang saling memukul semakin jelas terdengar. Tetapi dengan balutan ketakutan, aku tidak berani membuka pintu. Jangankan mengarahkan tangan ke arah knop pintu, mengintip di balik jendela saja, aku tidak bernyali.

"Fia," sapaan mendadak itu membuatku melonjak, sebuah tangan memegang pundakku secara tiba-tiba. Reflek aku menutup wajah dengan lenganku untuk melindungi diri.

"Kamu sedang apa di sini?" suara itu kembali terdengar bersamaan dengan lampu depan yang dinyalakan.

Aku merenggangkan dua lengan yang sebelumnya merapat. Mataku yang sebelumnya hanya menerka cahaya, kini benar-benar melihat sepenuhnya. Mama berdiri di hadapanku dengan piyama tidurnya.

"Kamu sedang apa di sini, Fia?" ulang Mama saat belum mendapati jawaban yang aku berikan atas pertanyaannya.

"Itu.. Ma.." aku menarik napas dalam-dalam, ragu-ragu menjelaskan apa yang aku dengar, "tadi.. Fia mendengar keributan." Aku mengembuskan napas yang sebelumnya tertahan.

"Keributan apa?" tanya Mama dengan nada sedikit dinaikkan, dengan tangan yang masih bertengger di pundakku.

Aku menggelengkan kepala, "Fia enggak tahu, Fia enggak berani buka pintu," tuturku cepat, jantungku terasa sesak, kerongkongan terasa kering susah untuk mengatakan sesuatu, ponsel berembun karena tanganku mendingin oleh telapak tangan yang berkeringat.

"Sebentar, Mama panggil Papa dulu, Fia disini saja. Jangan kemana-kemana!"

Derap kaki Mama lebih cepat dari sebelumnya, dimana sekarang suara langkah kaki cukup terdengar dibandingkan sebelumnya yang tiba-tiba di belakangku.

Tidak membutuhkan waktu lama, Papa melangkah lebar-lebar menuju ke arahku, berikut Mama yang mengekor di belakangnya.

Dengan tangan yang menggenggam kunci, Papa memasukkan kunci pada lubang kunci. Kenop pintu diputar, angin malam segera menyapu wajahku, aku yang berdiri tepat di belakang Papa.

"Kok lampu tempat pemesanan dimatikan ya Fia?" tanya Papa sambil menolehkan kepala melihat ke arahku.

"Seingat Fia juga enggak pernah dimatikan lampunya, kecuali sengaja dimatikan atau sudah mau ganti?" timpalku, sambil segera menyamai langkah Papa menuju ruang Pemesanan bunga yang sedang ditempati ketiga teman laki-laki ku.

Pintu ruang pemesanan sedikit terbuka, menyebabkan cahaya bulan sedikit menyiram temaram diantara celah pintu dan bingkainya.

Sekali lagi embus angin menusuk sampai ke tulang, aku menggesek tanganku pada lengan secara bersilangan agar sedikit memberikan rasa hangat.

"Albi..." panggilku lirih, sambil menjadikan tubuh Papa sebagai benteng dengan mengekor di belakang.

Aku menoleh ke belakang untuk berjaga, mendapati Mama berdiri mematung di depan pintu karena tidak berani mengikuti aku dan Papa.

Dari sisa sorotan temaram cahaya bulan, bayangan sebuah tangan tergeletak di lantai ketika kami berjalan lebih dalam. Dengan tangan gemetar aku kembali menyalakan senter dari ponsel yang sedari tadi aku pegang. Sedang jemari sebelah kiri, meremas kuat baju Papa bagian belakang.

Satu langkah lebih dekat, cahaya senter dari ponsel menyorot wajah lebam Izal yang terbaring di lantai dan disampingnya Satria juga terkapar.

"Aaa!" pekikku reflek, segera ku arahkan tangan untuk membekap mulutku.

Aku merasa kehabisan napas, mataku membola melihat keduanya tidak berdaya. Kakiku gemeteran.

Dingin semakin menyelimuti tubuh yang kini terasa ngilu untuk bergerak. Bulu kuduk berdiri menyaksikan apa yang terekam oleh mata.

"Fia, bantu Papa angkat mereka ya" pinta Papa sambil berjalan mendekat. Meraih tangan Izal melingkarkan ke leher Papa. Aku mematikan senter kemudian membantu menarik tubuh Izal dari lantai. Kemudian mengangkat tubuh Satria yang lebih dekat dengan ranjang.

"Albi mana ya Pa?" aku menyapu pandang sekitar. Kemudian menyalakan saklar, perubahan cahaya dari gelap ke terang membuatku menutup mata dan mengernyit.

Untuk lampu yang dapat dinyalakan, berarti kegelapan itu sengaja diciptakan? Gumam ku dalam hati. Apa ada yang masuk ke sini?

"Albi..!" seru Papa kemudian berlari menuju tumpukan box bunga. Albi ditutup mata dan mulutnya dengan kondisi kaki dan tangan yang terikat. Tubuhnya menggigil, bibir keringnya tidak mengatakan apapun. Hanya terdiam kaku.

"Al, masih sadar kan?" aku berusaha memastikan dengan menggerakkan tubuh yang sedari tadi hanya terdiam dengan kondisi duduk di tumpukan box bunga.

"Aku masih hidup, Fia." balasnya lirih. Terlihat samar dia tersenyum, "terima kasih."

Aku bernapas lega, menyerahkan tangan untuk membantunya turun. Albi meraih tanganku lekas dan segera meluruskan dua kaki ke arah bawah.

Papa sudah keluar tempat, jika tidak salah dengar mau melakukan pengecekan terhadap cctv, baik untuk halaman rumah maupun ruang pemesanan bunga. Ranita dan Nindia berlari mendekat sambil membawa kotak obat.

Aku dan Albi beriringan menuju rumah untuk mengetahui hasil cctv. Tepat di depan pintu, Albi menarik lengan bajuku untuk menghentikan tangan yang hendak meraih knop pintu.

"Fia, percaya sama aku, rasa aman itu kita sendiri yang ciptakan. Terlepas siapapun orang di dekat kita," tutur Albi sambil memandangku dengan bola mata hitamnya.

Ada yang dikatakan dari matanya, namun aku tidak dapat membaca apa maksudnya.