Semua berkumpul di ruang tamu, bukan tentang jamuan makan seperti tadi malam yang menyenangkan. Sebaliknya, atmosfer saat ini terasa gelap. Padahal matahari sudah merangkak jauh dari sisi timur tempat dia tidur.
"Kalian berantem?" Pertanyaan Papa mewakili kami semua, apalagi setelah tidak didapati video ada orang lain masuk ke halaman rumah.
Kaki Izal terus bergerak seakan menyajikan kegelisahan. Tetapi bibir yang ujungnya lebam masih saja terbungkam. Begitu juga dengan Satria yang duduk di sebelahnya. Tidak ada sepatah kata pun yang terucap.
"Kalau kalian enggak ada yang jawab, saya panggil orang tua kalian!" tegas Papa.
Pandangan mata yang biasanya melihat dengan sorot teduh, kini terasa tajam.
"Jangan Om!" tolak Satria lekas. "Mama, pasti sedang sibuk di toko." Satria menumbangkan pandangannya, dari yang sebelumnya menatap Papa kini menatap kaki meja.
"Ya kalau enggak mau, kalian bilang, ada apa sebenarnya?" seruku ketika melihat keduanya yang hanya mengulur-ulur waktu. Apa susahnya menjelaskan apa yang terjadi tadi malam?
"Fi.. fi.." Albi yang duduk di sampingku, menepuk lenganku berulangkali. Fokus Albi sedari tadi memang hanya pada layar laptop, hasil copy rekaman cctv halaman rumah dan ruang pemesanan bunga.
Aku menoleh ke arah layar yang ditunjuk Albi. Pada menit akhir video rekaman, sebuah bayangan manusia berpakaian serba gelap keluar dari ruang pemesanan. Namun, sebuah bayangan itu semakin tidak jelas ketika melewati halaman rumah.
"Pause Al!" seruku. Aku meminta Albi menghentikan video ketika sampai pada bayangan hitam.
Seruanku membuat semua menoleh ke arahku dan Albi yang menghadap layar laptop. Aku menatap satu persatu orang yang ada di ruangan ini, sebelum mengatakan apapun aku melihat ke arah Albi yang langsung menganggukkan kepala.
"Aku memang tidak yakin, Pa. Tapi ada seseorang yang keluar dari ruang pemesanan.." Belum sempat aku melanjutkan kalimat, Papa meluruskan kaki dan mengangkat tubuh, kemudian dengan segera melangkah ke arahku dan Albi. Disusul Mama, Ranita, dan Nindia.
Namun tidak dengan Satria dan Izal, keduanya masih terdiam kaku di tempat.
"Albi, kamu enggak ingat siapa yang bawa kamu ke tumpukkan box?" tanyaku pada Albi tetap dengan melihat ke arah keduanya.
Albi menarikku menjauh dari laptop yang sedang dikerumuni.
"Itu masalahnya, Fi. Aku enggak ngerasa diangkat oleh siapapun," bisik Albi sambil melipat tangannya ke depan dada. "Tubuhku sensitif, bahkan terhadap sentuhan. Seharusnya kamu tahu itu," tandas Albi membuatku kembali berpikir.
Bagaimana seseorang bisa membawa tubuh Albi tanpa menyentuh tubuhnya? Jelas ini tidak mungkin. Aku menggigit jari jempol, berharap menemukan ilham setelah melakukannya.
"Atau ada sebuah gelembung yang mengangkatku tanpa menyentuh tubuhku?" racau Albi, alis tebalnya menyatu, dan garis-garis di dahinya semakin terlihat.
Aku menelisik bola mata hitam miliknya, mencari ada tanda bercanda dalam perkataannya, sayangnya tidak. Kalimat itu benar-benar keluar di tengah kebingungan.
"Apa kamu yang terlalu nyenyak sampai tidak merasakan apapun?" pertanyaan itu membuat Albi melihatku dengan ekspresi datar, kerutan di dahi memudar, dan tatapan yang hambar.
"Senyenyak apapun aku tidur, aku masih bisa merasakan ada semut atau nyamuk yang mendekati tubuhku. Tidak seperti kamu yang tidur kayak pingsan, Fia." Balasan yang sangat tidak aku harapkan.
Semua juga tahu, kalau aku susah bangun dan susah tidur. Kalau sedang tidur susah bangun, kalau sedang bangun susah tidur.
"Albi, om copy ini ya. Nanti mau Om tanyakan ke teman Om." Papa menancapkan flashdisk berwarna hitam perpaduan merah ke dalam bibir port USB di sisi laptop.
"Berarti kalian bener enggak berantem?" tanya Papa lagi. Satria dan Izal kembali bergeming. Tidak ada yang menjawab iya maupun tidak.
Aku berjalan mendekat ke arah mereka, duduk di kursi yang sebelumnya ditempati Papa.
"Kalian tuh kalau ditanya jawab, biar Papa enggak bingung." Aku mengutarakan dengan nada sedang.
"Saya hanya berusaha melindungi diri, Om. Tapi saya tidak tahu siapa yang menyerang saya." Satria membuka suara.
Izal kini menjadi pusat pandangan kami, sebagaimana disorot spot light. Albi berdiri di belakang kursiku, turut melihat Izal lebih dekat.
Izal menarik napas dalam-dalam, "Saya tidak ingat, Om. Suasana cukup gelap, seperti Satria yang berusaha melindungi diri. Saya juga melakukannya."
Aku masih mengamati perubahan gerak tubuh Izal, hanya pundak yang naik ketika dia menghirup napas dalam-dalam, dan suara tipis saat udara keluar perlahan.
Papa menggerakkan tangan menepuk meja pelan, "Baik, biar urusan ini, Om yang selesaikan. Kalian bisa pulang setelah sarapan."
"Ma, sudah masak?" tanya Papa sambil melihat ke arah kiri yang kebetulan Mama berdiri di sisi kiri Papa.
"Mama khawatir begitu, bagaimana bisa masak," ujar Mama sambil berjalan menuju dapur.
"Kami bantu Te," Ranita dan Nindia berlari mengekor Mama. Aku? Lebih memilih merapikan laptop bersama Albi dibandingkan ke dapur bersama Mama.
***
Satu pekan berlalu, kejadian di ruang pemesanan bunga belum juga menemukan titik terang. Cctv yang menampilkan bayangan orang keluar dari toko bunga juga diyakini benar adanya, teman Papa dengan seragam hitam-hitam masih sering berkunjung ke rumah. Berbincang di depan ruang pemesanan bunga. Warna warni bunga dipadukan dengan pakaian hitam mereka sangat kontras.
"Kamu yakin mau pergi, Fia?" Mama duduk di sampingku, sambil memasukkan beberapa makanan yang telah dibuatnya ke dalam tas.
Aku menghentikan kegiatan menali sepatu, kemudian melihat ke arah Mam, "Iya Ma. Aman. Lagian kan, ada Albi dan yang lain juga."
"Tapi ada Izal juga, Mama khawatir aja gitu."
"Ma, Izal itu baik kok. Malam itu, kebetulan saja Izal datang dalam keadaan babak belur, terus kejadian di ruang pemesanan bunga juga bagian dari kebetulan," aku memberi jeda sejenak. Kemudian menutup kalimat dengan kata, "mungkin."
"Tapi Fia kabarin Mama terus ya," pinta Mama.
"Maaf kalau adanya saya bikin Tante kurang nyaman." Izal dan Albi berdiri di hadapanku.
Mama menegakkan tubuh, berdiri menyambut mereka, "Bukan begitu Izal. Tante hanya khawatir jika ada orang yang berniat jahat ke kamu, tapi berdampak sama Fia ketika kalian pergi sama-sama."
"Ma.." aku menggeram. Ada perasaan tidak enak ke Izal. Padahal memang tidak ada yang menginginkan kejadian seperti itu terjadi.
"Tante tenang saja. Albi akan jagain Fia dan yang lain," celetuk Albi sambil memamerkan barisan gigi putihnya, juga mata yang menyipit.
"Maksudnya, Albi yang akan dijagain oleh kita semua, Ma," ledekku, sambil menjulurkan lidah diakhir kata.
"Selalu ngeremehin." Albi berdecak.
"Buktinya pas kejadian itu. Seorang Albi tidak ikut babak belur. Malah tidur."
"Penjahatnya enggan melukai wajah ganteng ini," tukas Albi sambil membentuk jari seperti pistol dan diarahkan ke dahi.
Kami hanya geleng-geleng kepala. Perihal narsistik, Albi memang selalu jadi juaranya. Diantara gelak tawa, Satria, Nindia, dan Ranita tiba bergantian. Kami telah lengkap dan siap berangkat.
Albi meraih tangan Mama untuk berpamitan, kemudian disusul yang lain untuk melakukan hal serupa. Tidak lupa juga berpamitan kepada Papa, bersamaan dengan itu beberapa laki-laki berseragam meninggalkan ruang pemesanan bunga.
"Satria, Om titip Fia ya," ucap Papa ketika Satria berpamitan dengannya.
"Apa sih Pa. Aku bisa jaga diri sendiri," protesku tidak terima Papa mengatakan itu kepada Satria.
Albi berdeham, "biar Albi saja yang jagain Fia, Om. Sebagaimana Om dan teman-teman di sini tahu, bahwa kami adalah teman karib, " tutur Albi kemudian meraih lenganku sebelah kanan, padahal posisi tubuh Albi sedang berada di sebelah kiri.
Aku melepaskan pelukan dari samping itu, mengibaskan tangan Albi dengan lengan.
Ritual berpamitan yang sangat menyebalkan. Aku memalingkan diri dan berjalan menjauh dari tempat kami, menggerakkan kaki menuju mobil Albi yang sudah berdiri dengan gagah di depan rumah. Mobil jenis SUV berwarna hitam.
Membuka pintu depan, karena aku akan duduk di sana. Seperti biasa, aku menemani Albi menyetir di depan, Satria dan Izal di kursi penumpang pertama, kemudian Ranita dan Nindia di jok paling belakang.
Aku menghubungkan ponsel dengan port USB pada head mobil, agar tidak terasa sepi. Alunan lagu genre pop, mengiringi perjalanan kami. Tidak lebih dari dua jam, kami sampai pada situs sejarah pertama yang nantinya dijadikan opsi untuk kunjungan.
"Kita naik ya, sekalian cari penginapan," saran Albi.
"Nginap di villa yang kemarin, Al?" satria bersuara.
Albi menghentikan langkah, melirikku sekilas, "lihat dulu aja deh, aku enggak yakin sama medan tempuhnya, cukup curam juga."
"Kenapa Fi?" tanya Ranita yang mendapati Albi melihat ke arahku.
Aku menggeleng, "Enggak tahu Ta. Tempatnya aja aku enggak tahu."
"Kok aku perhatikan, Albi ngelihat ke arah kamu terus ya. Kayak was-was gitu," bisik Ranita. Spontan aku menoleh.
"Perasaan kamu aja kali," sanggahku. Meski sejujurnya aku tidak tahu kebenarannya, namun seperti apa yang disampaikan oleh Ranita aku merasakan juga. Berulang kali Albi melihatku, tatapan matanya seakan ingin memastikan aku ada.