"Fia, kamu baik-baik saja?" Albi masuk ke dalam ruang OSIS. Aku berusaha menyembunyikan air mataku dengan melontarkan senyum.
"Kenapa Al?"
"Tadi Satria keluar sambil banting pintu, kukira ada masalah sama kalian," ucap Albi, pandangan mata hitam itu menelisik ku, berusaha mencari celah atas apa yang aku sembunyikan. Albi sangat tahu aku, kami berteman cukup dekat.
"Al, Fia aman?" Ranita dari arah pintu turut masuk untuk melihat keadaanku. Berbeda dengan Albi yang mengamati ku dari jauh, Ranita mendekat sambil melihat keadaanku dari dekat, tangan Ranita menggenggam lenganku, memutar tubuhku untuk memastikan aku baik-baik saja.
"Ta, i'm okay," balasku sambil menjauhkan tangan Ranita dari lenganku. Ranita memang begitu. Sedikit berlebihan kadang-kadang.
"Heran deh aku, punya masalah apa sih dia sama kamu?" tanya Albi sambil mendudukkan diri di kursi. Kakinya bersilang, tangan kirinya dibiarkan menggantung ke sandaran kursi dan tangan satunya di atas meja.
Ranita mengangguk, menyetujui pertanyaan Albi.
"Entah," balasku singkat sambil mengangkat bahu.
"Lanjutin bahas survei yuk, ke depan sama Izal." Aku berusaha mengalihkan pembicaraan. Karena pertanyaan-pertanyaan yang Ranita dan Albi sampaikan aku juga tidak tahu maksudnya. Bagaimana bisa seseorang muak dengan kebaikan orang lain?
***
Senja mulai menyusuri singgasana langit. Hampir menumbangkan matahari dan memanggil malam untuk menguasai kegelapan. Gelap. Hanya itu yang terekam, cahaya lampu-lampu kendaraan sama sekali tidak membantu penerangan kakiku berjalan.
Trotoar yang sudah tidak rata, berlubang di sini sana, persis dengan wajahku saat datang bulan tiba—tidak rata. Bulan malam ini sedikit redup, mendung-mendung gelap menggantung di atas sana. Atap langit yang seharusnya terlihat indah dengan taburan kerlip bintang dan cahaya rembulan, kini tidak tampak.
Sepoi angin malam yang menggigil kan tulang, berhembus dengan buas. Menjatuhkan daun-daun dari ranting, bukan untuk menari tetapi seperti menghindar karena dicabik berulang kali.
Dering panjang ponsel membuatku meraihnya di tas depan. Meletakkan tas-tas kecil yang sedari tadi aku pegang, menyandarkannya di kaki-kakiku, dan memutar tas ransel yang menggantung di punggungku untuk ku ambil ponsel berbunyi itu. Dengan sedikit berdecak aku memandang layar ponsel. Tertera nama Papa, laki-laki yang sedari tadi aku tunggu untuk menjemput ku, dengan sigap aku menggeser tanda hijau pada layar.
"Hallo, Pa. Papa dimana? Fia sudah nunggu di trotoar, biar Papa nggak perlu masuk ke dalam gang sekolah. Mau hujan deh kayaknya Pa, Papa udah di jalan?" cecar ku saat telepon baru saja tersambung. Aku tidak menyukai hujan, juga tidak menyukai petir.
["Papa di rumah. Nanti kamu pulang bareng sama Satria aja ya. Sekalian dia mau ambil bunga ke rumah."] Keningku berkerut. Kenapa harus dengan Satria yang sangat ingin aku hindari. Kejadian di ruang osis tadi belum bisa aku lupakan.
Aku hendak melontarkan protes, sebelum mendengar suara, ["Sudah dulu ya Fia. Papa mau bilang itu saja. Sekarang Papa sibuk banget. Daaa sayang."]
Belum sempat aku balas perkataan Papa. Bunyi bip sebagai tanda berakhirnya panggilan sudah lebih dulu aku dengar.
Coba tadi pulang bareng Ranita atau yang lainnya. Pasti enggak perlu nunggu Papa atau berakhir harus bareng Satria. Kenapa sih, kenapa harus dia lagi. Aku mendengus.
Memasukkan ponselku ke saku rok seragam. Aku merana menatap langit. Kegelapan ini, akan menyelimuti ku sebentar lagi. Tapi tunggu, apa iya Satria masih di sekolah? Bukannya sekolah sudah sepi? Bahkan aku merasa keluar terakhir kali.
Dari arah bersebrangan dengan gang sekolah sebuah mobil Pickup melaju dengan kecepatan sedang, menuju ke arahku. Pada bagian depan mobil tertulis 'Queen of Flowers' aku sudah tahu siapa pengemudinya.
Dalam putaran kesekian roda mobil itu, akhirnya berhenti. Pintu sebelah kiri mobil dibuka, tanpa ada ucapan silahkan masuk. Aku masih mematung di tempat, tidak ingin beranjak, masih menunggunya membuka suara, baik untuk tawaran memasuki mobilnya atau permintaan maaf.
"Masuk atau aku tinggal?" Sebuah pilihan terlontar. Aku ingin sedikit egois dengan memilih tetap berdiri di tempat sampai Satria bersikap sedikit manis, suatu hal mustahil yang tidak mungkin terjadi.
"Satu, dua..." saat Satria sudah mulai menghitung mundur. Itu berarti dia serius dengan perkataannya. Lagian sejak kapan seorang Satria bisa bercanda? Sebelum mencapai hitungan ketiga. Aku membawa tubuhku masuk ke dalam mobilnya. Memeluk tas yang tadinya ku sandarkan di kaki sekaligus ransel yang kini ku letakkan di depan.
Ini bukan tempat duduk yang nyaman. Aku merasa sesak dengan dua tas yang berisi barang banyak. Setelah ku pastikan menutup pintu di sebelah kiri kuat-kuat, Satria mulai melajukan mobilnya.
Keheningan mulai menyusup diantara kami. Perbincangan menjadi beku, saat hanya ada Satria dan aku. Kami sibuk dengan pikiran masing-masing, yang terlihat adalah Satria yang sibuk mengemudi dan aku yang memejamkan mata, berharap perjalanan ini berlalu dengan segera.
Aku tidak ingin melihat apapun, baik jalan mana yang dipilihnya untuk sampai di rumah, ataupun keadaan yang terjadi di luar sana. Hingga sebuah halilintar menyambar.
"Aaa," reflek aku membuka mata dan menutup mulut, sambil meliriknya dari ekor mataku. Apakah keterkejutanku mengganggu konsentrasinya?
Justru aku kembali terkejut, saat bulan sabit menghiasi bibirnya. Dia tersenyum, sebentar, kemudian kembali serius.
"Apa?" tanya Satria membuatku mendelik, seperti ketahuan kalau aku melihatnya diam-diam. Aku menggeleng. Memeluk tasku lebih rapat lagi, bunyi bertautan halilintar seperti melodi pemanggil hujan yang dinyanyikan berulang kali.
Tidak membutuhkan waktu lama, hujan turun dengan deras. Penyeka kaca mobil juga turut bekerja antusias. Titik demi titik dihapus dengan sekali usap. Tidak bisakah itu berfungsi juga atas kesalahan-kesalahan? Seharusnya kata maaf bisa menjadi wiper atas butiran-butiran kesalahan dan meredanya kejadian, semua hilang. Nyatanya, manusia punya perasaan. Kesalahan kecil maupun besar itu tidak bisa ditakar atas satu sudut pandang. Tetapi kesalahan apa yang telah aku lakukan, hingga maaf tidak lagi bisa diterima.
Dalam banyak cerita dan drama, hujan selalu menjadi bagian paling menakjubkan. Tentang kenangan yang diciptakan melalui celah-celah rintiknya, tentang aroma petrichor yang menyejukkan dan menenangkan, atau tentang halilintar yang menyambar kenangan.
Buatku hujan hanya tentang basah kuyup kehujanan, kemudian menggigil, besoknya flu dan demam. Tidak ada yang indah sama sekali. Kenangan dalam hujan? Tidak ada dalam kamus hidupku. Tetapi tidak untuk seseorang disamping ku.
"Semangkuk ramen dan segelas teh hangat," lirihnya tetapi masih terdengar olehku.
Semangkuk ramen dan segelas teh hangat. Aku mengulanginya dalam hati. Aku meraba kejadian dengan dalam kalimat itu. Apakah Satria punya momen tentang semangkuk ramen dan segelas teh hangat?
Aku meneguk saliva ku. Aku mengingatnya. Ketika gambaran masa lalu tertuang diingatan ku. Aku tercekat, tiba-tiba merasa seperti kehabisan oksigen. Air mata itu mengumpul di pelupuk siap untuk dituangkan. Tetapi tidak, Satria tidak boleh tahu, jika aku akan menangis. Ku tarik nafas dalam-dalam, ku embuskan perlahan dan mengulangnya hingga dua sampai tiga kali.
"Maaf." Begitulah kata yang aku dengar. Gendang telingaku masih normal. Jelas aku tidak salah dengar.
Satu kata itu, berhasil memporak-porandakan benteng pertahanan ku. Pertahanan diriku mulai luruh dan aku terisak. Ternyata aku salah, kenangan dalam hujan itu ada. Dan saat teringat, amat sangat menyakitkan.