"Bagus."
Aku tersenyum lalu merasakan tulang punggungku menegang saat seorang wanita bertanya dengan suara melengking, "Apakah Rain di atas?" Aku melihatnya, dia adalah salah satu wanita dari luar yang mengenakan pakaian dalam. Sambil menyeringai, teman-temannya berdiri di kedua sisinya.
"Maaf, Nona. Dia tidak menerima tamu saat ini." Kata Jack, dan ini sesuatu sekali sehingga dadaku terasa dicubit.
"Yah, kali ini aku membawa teman-teman. Tidak bisakah kamu menelepon dan memintanya untuk melihat ke bawah? Mungkin dia akan berubah pikiran saat melihat kita." Katanya dengan wajah yang cemberut.
"Aku akan naik." Kataku lembut, mendapatkan pandangan lembut dan anggukan dari Jack, saat aku menaiki tangga secepat tumit akan membawaku. Sampai di pintu di atas, aku menarik napas dalam-dalam mendorong pintu hingga terbuka dan melangkah masuk.
"Apakah aman berjalan tanpa alas kaki di sini?" Aku bertanya pada Rain, yang berdiri dari belakang mejanya saat aku berbalik untuk menutup pintu di belakangku.
Kenapa kamu menanyakan hal itu?" Rain bertanya lalu berjalan ke arahku.
"Aku tidak tahu berapa banyak DNA yang ada di lantai dan tumit yang ku bunuh." Seruku padanya saat dia mengambil tas dari tanganku.
"DNA?" Rain mengerutkan kening dan meletakkan tas di atas meja kopi, lalu berbalik ke arahku sambil menyilangkan tangan di dadanya. Aku perhatikan ketika aku pergi, dia tidak mengenakan dasinya dan membuka dua kancing atas kemejanya, memperlihatkan lehernya yang cokelat mengkilat.
"Ya, sekelompok wanita โ yang jelas aku tidak mengerti kalau itu disebut Wanita Bintang karena suatu alasan โ ada di bawah. Mereka meminta untuk naik dan ingin bertemu dengan mu. Karena teman-temannya ada di sini beberapa minggu yang lalu, dan sekarang mereka ingin melihat apakah semuanya memenuhi kriteriamu."
"Astaga!" Seru Rain, menggosok rahangnya dan melihat ke arah pintu seolah dia mengharapkan mereka untuk mendobraknya.
"Jangan khawatir, Jack ada di sana sedang berjaga-jaga. Tapi bisakah aku melepas sepatu, atau haruskah aku membiarkannya?"
"Lepaskan sepatumu, Sesil." Dia memperhatikan lantai seolah mencari sesuatu melewati ku menuju pintu, lalu keluar sambil membanting pintu tersebut yang berada di belakangnya saat pergi meninggalkan ruangan.
"Baiklah kalau begitu." Aku bergumam di kantor yang kosong saat melepaskan sepatu di dekat pintu. Aku pergi ke sofa dan berhenti sejenak lalu kemudian berbalik pergi ke kamar mandi. Aku mengambil penyemprot serangga untuk menyemprot sofa dan lantai.
"Apa sih yang kamu lakukan?" Tanya Rain tiba-tiba sontak membuatku terlonjak. Aku begitu terjebak dalam bunyi semprotan serangga sehingga aku tidak mendengar nya masuk.
"Membunuh virus dan kuman." Kataku pada Rain dengan melambaiakan kaleng semprotan serangga, lalu dia mengambilnya dariku dan membawa kembali ke kamar mandi. Dia kembali sedetik kemudian yang tampak begitu kesal saat dia melambaikan tangan di depan wajahnya. "Jika kamu mau, aku bisa pergi sebentar dan kembali setelah kamu selesai dengan kekesalanmu, dalam suasana hati yang lebih baik." Aku menawarkan dan menyaksikan senyuman berkedut di bibirnya.
"Berhentilah menjadi orang pintar dan berikan aku makanan itu." Ketusnya, membuka kancing lengan kemeja dan menggulungnya. Aku melihat sekilas tato yang tidak pernah kulihat sebelumnya.
Serasa melepaskan busur ke arah leherku yang tiba-tiba menjadi sangat kencang lalu aku duduk di sofa, memperhatikan dia belum bergerak.
"Apakah kamu punya minuman? Aku bahkan tidak berpikir untuk memesan apapun." Tambahku, mengabaikan penampilannya yang di perlihatkan kepada ku.
"Apa yang kamu sukai?" Dia bertanya dengan kasar sebelum berdehem.
"Apakah kamu punya jus?" Aku bertanya saat mengeluarkan makanan dari tas dan meletakkannya di meja jamuan untuk tamu.
"Tentu." Dia mengambil dua botol jus jeruk dari kulkas lalu duduk di sofa tepatnya di sampingku. "Apa yang kamu pesan?" Tanyanya, membuka wadah styrofoam dan mengendus isinya.
"Sayuran korma, kebab, dan baklava rol." Jawabku sambil menyerahkan serbet dan garpu padanya. Lalu aku membagi nasi di dua piring dan memberikan pada Rain satu.
"Di mana dagingnya?" Dia bertanya dengan cemberut saat aku menambahkan sayuran korma ke piringku.
"Kamu bilang kamu akan makan apa yang aku makan." Aku mengingatkannya, mengambil piring yang kuberikan dari tangannya, menyendokkan baklava rol ke nasi, dan kemudian menyerahkan kembali padanya.
"Apakah ini kentang?" Dia menusuk salah satu potongan kentang dalam sayuran korma dengan garpunya, sementara wajahnya menyeringit seperti anak kecil yang disuruh makan sayuran.
"Ini bagus untuk tubuhmu. Cobalah." Aku mendorongnya sambil mengambil beberapa potong dengan garpu lalu menampung dengan tangan kiri mengarahkan ke dekat mulutnya seperti yang biasa kulakukan dengan anak-anak yang aku asuh.
"Apakah kamu serius mencoba menyuapi ku sekarang?" Tanyanya saat matanya bersinar geli.
"Maaf." Gumamku, dan mulai menarik garpu. Tapi sebelum aku menurunkan tangan, mulutnya menutup di sekitar garpu dan mataku melihat bibirnya, merasakan jantungku mulai berdebar. Aku melihatnya mengunyah lalu tertawa saat dia meringis.
"Itu sangat buruk."
"Coba ini." Aku mengambil beberapa korma dari piringku dan mengulurkan ke arahnya. Kali ini, matanya menatap mata ku saat mulutnya menutup di sekitar garpu. Tatapan yang dalam di bola matanya yang biru kehijauan membuat detak jantungku makin bernyanyi di telingaku. Dia pun menelan, dan aku menarik garpu itu lalu mengalihkan pandanganku dari mata ke mulutnya.
"Lebih baik." Katanya kasar saat tangannya yang hangat naik dan melingkari rahang bawahku. Aku terkejut, tatapanku bertemu dengannya sesaat sebelum matanya jatuh ke mulutku dan dia mulai membungkuk.
"Ayo makan sebelum jadi dingin." Kataku sambil menoleh sehingga tangannya terpaksa untuk melepaskan daguku. "Kamu boleh makan ini, karena kamu tidak suka kebab," Kataku padanya, aku menyerahkan piring dan garpuku padanya dan melepaskan piring tersebut dari pangkuanku sambil menghindar untuk menatapnya. Sambil duduk kembali ke sofa, aku menjejali mulutku dengan sepotong baklava roll dan mengunyah perlahan agar aku tidak melakukan sesuatu yang benar-benar bodoh, seperti mendorongnya kembali ke sofa, merobek bajunya, dan melihat apakah dia menyembunyikan tato lagi.
"Jadi, apakah kamu seorang vegetarian, atau kamu sedang menguji ku." Serunya, dan aku mengunyah lalu menelan sebelum melihatnya.
"Aku seorang vegetarian." Aku mengangguk, melihatnya duduk dan meletakkan pergelangan kaki ke lututnya.
"Kenapa?"
"Kenapa Apa?" Aku cemberut.
"Kenapa kamu seorang vegetarian?"
"Itu hanya sesuatu yang selalu aku lakukan. Orang tua ku adalah vegetarian, dan mereka membesarkan ku menjadi vegetarian."
"Apakah kamu pernah mencoba daging?"
"Suatu ketika, aku masih di sekolah menengah pertama. Menu makan siang untuk vegetarian tidak pernah banyak. Sedangkan aku bukanlah anak kecil lagi dan hampir mati kelaparan, jadi aku mencoba makan daging rendang. Itu yang pertama dan terakhir kali aku memakan daging,." Seruku menambahkan dengan senyuman saat matanya menatapku.
"Kamu masih bocah," Kata Rain, hampir seperti dia tersinggung atas apa yang ku katakan.
"Aku mencintai tubuh ku dan menerima apa adanya. Aku juga memiliki dada, pinggul, dan pantat. Ketika aku masih kecil aku selalu diejek. Tapi sekarang aku tahu, kalau aku memiliki tubuh seorang wanita dan itu membuatku baik-baik saja dengan siapa yang aku temui."
"Kamu salah, Kamu itu cantik." Sela Rain langsung, ketulusan kata-katanya dan sorot matanya membuat perutku hangat.
Wow... Aku tidak tahu harus berkata apa, karena kebanyakan pria yang mirip dengannya bahkan tidak akan melirik ke arahku. "Dimana pacarmu?" Rain bertanya, membuatku lengah saat dia mencondongkan tubuh ke depan dan mengambil sepotong baklava roll dari kertas pembungkus di atas meja.