Drama di pagi hari pun dimulai. Raya harus berebut kamar mandi dengan Nadia. "Oi, lo lagi tidur atau pingsan sih, Ray? Cepatlah, gue mau boker nih!"
"Sebentar, masih luluran," sahut Raya dari dalam kamar mandi dengan santainya menggosokkan body scrub beraroma melati.
"Bujug buneng, ditungguin dari tadi malah sibuk nyalon ini bocah. Oi, cepat mandinya atau gue dobrak ini pintu," ancam Nadia kesal menunggu dapat giliran mandi.
"Iya sabar dulu napa sih. Bentar lagi, oke."
Setelah luluran kilat selesai barulah Raya keluar kamar mandi dengan wajah semringah. "Sabar dong, Bestie," ucapnya tanpa beban hidup.
" Minggir, sudah mau di ujung tanduk ini!" Nadia langsung menerobos masuk.
Tin, tin.
Raya menoleh ke arah luar pintu pagarnya. Astaga, si bocah ternyata benar-benar menjemputnya untuk pergi ke sekolah bersama. Dia berlari mengabaikan handuk tergulung di atas kepala lengkap dengan piyama usang bergambar Doraemon yang sudah pudar warnanya, sungguh penampilan absurd. Dia bergegas menghampiri Devan yang sudah tampil rapi maksimal.
"Ini masih pagi, Devan. Aku belum berpakaian." Raya setengah panik melihat adik iparnya datang menjemput.
"Aku akan menunggu di sini sampai kamu selesai berhias."
"Baiklah, tunggu saja di sana," tunjuk Raya pada ruang tamu umum.
Devan menurut saja. Dia menunggu Raya sambil bersantai di ruang tamu ditemani tatapan terpesona dari warga kontrakan putri yang hampir tak pernah melihat pria seganteng Devandra. Para wanita di sana, mencuri pandang padanya. Tapi Devan menanggapi dengan santai saja. Baginya situasi seperti sekarang sudah sering terjadi. Tatapan kagum dari wanita hampir menjadi makanannya sehari-hari.
Raya segera memoles lipstik di bibirnya dan tak lupa menaburkan bedak bayi sebelum akhirnya siap berangkat. "Ayo, kita berangkat," ajaknya sembari menghadiahi senyuman pada anak didiknya itu.
"Siap, Nona."
Devan mengancingkan helm Raya membuat wanita itu menahan napas sejenak. Gila saja, dia hanya berjarak beberapa sentimeter saja dari wajah bocah itu. Hembusan napas Devan menyentuh lembut pipi Raya.
Mendadak jantung Raya bergetar. Sungguh tak tahu malu, bagaimana bisa ada debaran aneh itu tertuju untuk adik iparnya sendiri. "Sadar, Raya!" Suara di otaknya berteriak-teriak.
"Nah, selesai. Berangkat!"
Raya menaiki motor sport tinggi itu dengan susah payah. Mana dia hanya memakai rok selutut. Terpaksa harus pegangan di besi jok belakang. Tak mungkin 'kan jika dirinya melingkarkan tangan di pinggang Devan.
"Ray, pegangan yang erat. Nanti kamu jatuh." Tangan Devan membimbing jemari gurunya untuk memegang perut rata bocah itu. Mau tak mau dia menurut saja asal bisa cepat sampai di tujuan.
Sepanjang perjalanan, Raya hanya terdiam saja. Menikmati udara yang menerpa tubuh kecilnya. Jam setengah tujuh, jalanan Ibukota tak begitu sesak. Jadi mereka bisa datang ke sekolah tepat waktu.
Raya menyerahkan helmnya. "Terima kasih. Aku mau langsung ke ruang guru. Ada tugas yang harus kukerjakan pagi ini."
Devan hanya mengangguk.
Raya masuk ke ruang guru dan segera memeriksa laporan bulanannya. Saat sedang asyik mengerjakan tugas, tiba-tiba guru lainnya masuk ke ruangan, tanpa menyadari keberadaan Raya di sana.
"Eh, tahu nggak? Aku semalam melihat Tuan Clay menggandeng seorang wanita cantik sekali. Keturunan China juga. Lebih high class daripada Raya itu. Mereka tampak cocok."
"Iya, aku sih sebenarnya kurang setuju dengan hubungan mereka. Jomplang banget. Cowoknya tajir melintir, kasian hanya dapat wanita sederhana seperti Raya. Nggak banget."
"Eh, kabarnya wanita itu baru datang dari New York. Mereka adalah teman masa kecil. Keluarganya sudah menjodohkan mereka sedari dulu. Tapi entahlah, Tuan Clay malah memilih berpacaran dengan Raya."
Mereka tertawa keras sekali. "Sial banget hidupnya. Sudah cakep, tajir, wakil CEO tapi pacarnya malah sama guru biasa. Huuft."
Seketika Raya lemas mendengar pembicaraan itu. Begitukah penilaian mereka selama ini melihat kedekatannya dengan Claytone? Ternyata permasalahan perbedaan strata sosial dalam percintaan tak hanya ada di dalam sinetron dan film saja, tapi sekarang nyata terjadi dalam kehidupan Raya. Dia tak pernah memandang Claytone sebagai penerus perusahaan Sanjaya Grup. Baginya Clay adalah lelaki biasa yang mampu memberikan kenyamanan pada Raya.
Tak terasa air matanya menetes turun.
"Bu Raya, Apakah Anda ada di sini?" seru Devan membuat Raya gelagapan dan segera menghapus sisa genangan air matanya.
"Raya, kamu di sini dari tadi?" Seorang guru yang tadi menggosipkannya terlihat gugup sekali.
"Selamat pagi, Bu Wina, Bu Selyn," sapa Raya mencoba ramah dan bersikap seolah-olah tak pernah mendengar gosip murahan yang mereka bicarakan tentang dirinya dan Claytone.
Devan menyerahkan sekotak bento untuk guru kesayangannya. "Bu, saya yakin tadi pagi Anda belum sarapan. Kata Kak Clay, saya harus memperhatikan semua kebutuhan Anda selama di sekolah. Saya sangat terharu. Kak Clay begitu mencintai Anda. Ibu Raya termasuk wanita paling beruntung di dunia ini karena bisa mendapatkan cinta Kak Clay."
"Terima kasih, ya. Wah, kelihatannya makanan ini enak sekali. Bu Wina dan Bu Selyn, ayo kita makan bersama." Raya tersenyum penuh kepalsuan.
"Tidak, terima kasih. Kami sudah sarapan tadi. Permisi dulu ya, Bu Raya." Mereka berdua pergi keluar ruangan.
Raya membuka kotak bentonya. "Duduk sini. Kita makan berdua. Temani aku, ya."
Rasanya ada rasa bahagia meletup-letup di dada Devan. Mimpi apa dia semalam. Mendadak Raya bisa bersikap manis padanya pagi ini. Tanpa banyak omelan, tanpa banyak protes, tanpa banyak omong seperti biasanya yang terjadi saat mereka bertemu.
"Bu, apakah kamu baik-baik saja?" Devan khawatir melihat mata Raya yang sedikit memerah seperti habis menangis.
Raya menyuapkan sosis dengan penuh semangat ke dalam mulutnya. "Tentu saja. Aku dalam keadaan fit hari ini."
"Maksud saya ...." Devan tak bisa melanjutkan kalimatnya lagi. Ah, biarlah Raya seperti itu. Dia yakin Raya sudah mempersiapkan dirinya ketika memutuskan untuk menerima cinta Claytone. Punya hubungan khusus dengan putra keluarga Sanjaya, berarti harus siap menjadi pusat perhatian banyak orang, siap untuk dihujat jika melakukan kesalahan sekecil apa pun. Dalam benak Devan, Raya adalah wanita kuat yang bisa melewati rintangan ini dengan mudah.
Raya meletakkan sumpitnya. "Apakah kedua orang tuamu juga berpikir sama dengan mereka tadi? Menganggap aku tak layak mendapatkan cinta Claytone?"
"Mereka akan menerimamu. Tenang saja, tak perlu cemas." Devan tak bisa menjanjikan sesuatu yang belum pasti. Itu semua tergantung kegigihan Clay mempertahankan cinta Raya. Namun, melihat keadaan Claytone sekarang yang jarang pulang dan lebih suka pergi bersama wanita-wanita di luar sana, Devan menjadi ragu.
"Ayolah, jujur saja padaku. Kita 'kan berteman. Sesama teman harus saling terbuka. Aku siap mendengar berita buruk kok," pinta Raya setengah memohon.