Chereads / Jodohku Bocah Resek / Chapter 5 - KEBAHAGIAAN YANG SEDERHANA

Chapter 5 - KEBAHAGIAAN YANG SEDERHANA

"Bang, beli tiga porsi dong." Raya langsung memesan sate favoritnya.

Mata Devan menyipit. "Tiga porsi? Dua saja cukup, Ray."

"Malam ini, aku ingin makan sepuasnya. Tahu sendiri 'kan, kalau orang galau pasti bawaannya pengen makan orang. Daripada nanti kamu yang jadi sasaran, lebih baik aku hajar sate dua porsi sekaligus. Hancur sudah dietku hari ini," aku Raya sambil mewek.

"Bang, tambah seporsi lagi ya." Devan duduk di samping Raya.

"Siap, Bos," sahut Abang penjual sate sok akrab sekali.

"Dev, kakakmu memang tak biasa jajan pinggir jalan, ya? Terus, kenapa kamu mau kuajak makan di sini? Kalau sedang ingin sate atau lalapan biasanya kalian pergi ke mana?" Sudah lama Raya penasaran dengan kehidupan keluarga Sanjaya yang terkenal kaya raya itu.

"Satu pertanyaan nilainya mahal lho. Pokoknya setelah aku jawab, harus ada imbalannya."

Raya tak sadar sedang memberondong Devan dengan pertanyaan yang tak berbobot. "Ya sudah lupakan saja." Dia mencebik. Lupa sedang berhadapan dengan siapa, bocah paling resek seantero negeri.

"Ish, cepat sekali ngambeknya. Aku akan jawab semua pertanyaanmu. Kakakku memang sedari kecil alergi dengan makanan yang kurang higienis. Jadi dia pemilih soal makanan. Tak bisa jajan sembarangan. Jika mau hidangan seperti yang kamu sebutkan tadi, biasanya kami pesan ke restoran. Lalu mereka mengantarkannya."

Raya menautkan kedua alisnya. "Lalu kenapa kamu mau diajak ke sini?"

"Demi kamu, ke mana pun aku mau. Asal bersamamu, selamanya."

Tangan Raya secara reflek menjitak kepala bocah sinting itu. Bisa-bisanya dia menggoda calon kakak ipar sendiri. Drama macam apa ini?

"Au," pekik Devan seraya menggosok kepalanya. "Sakit, Ray."

"Dasar cowok modus nggak lihat orang. Aku kan pacar kakakmu, Dev!" Ada gila-gilanya memang bocah satu ini.

"Iya, tahu. Duh, diulang-ulang terus. Cinta banget ya sama Kak Clay?"

"Cinta mati pokoknya."

"Idih, najis."

Raya tertawa. "Nanti saat kamu menemukan seorang wanita yang bisa membuka pintu hatimu. Barulah kamu tahu rasanya mencintai orang hingga mati."

Devan membisu, bergumul dengan angan-angannya sendiri. Andai saja Raya tahu wanita yang berhasil membuka pintu hati Devan adalah dirinya sendiri, apa yang akan terjadi pada mereka? Masihkah Raya bersikap cuek dan tak peduli akan kehadiran Devan?

"Apa yang kamu suka dari kakakku?" Devan ingin tahu kelebihan Claytone dibandingkan dirinya.

"Dia baik, romantis, perhatian, good looking, lembut sikap dan tutur bahasanya," jawab Raya tanpa banyak berpikir karena memang segala yang ada dalam diri Claytone telah membuatnya jatuh cinta.

"Lalu apa yang kamu suka dariku?" Iseng saja Devan menanyakan itu. Tapi dia penasaran juga dengan jawabannya.

Raya tampak berpikir keras. Mencari-cari jawaban dalam benaknya.

Devan menepuk keningnya. "Memang aku seburuk itu, ya? Hingga sesulit sekali mencari sisi positif dari diriku."

"Habisnya kamu bocah resek. Mau bagaimana lagi. Terimalah nasibmu, Nak. Oya, sebenarnya ada satu yang aku suka darimu," cetus Raya membuat Devan girang setengah mati.

"Apa itu?"

"Kamu ... eee." Raya menggigit bibir bawahnya. "Kamu orangnya mampu mengungkapkan perasaan secara gamblang. Selalu bisa jujur dengan diri sendiri. Sedangkan, aku tak bisa melakukan."

Giliran Devan yang dibuat heran dengan pernyataan wanita di sampingnya. "Kenapa nggak bisa?"

"Entahlah, aku lebih suka menjaga perasaan orang lain."

"Terkadang bersikap egois untuk diri sendiri itu perlu, Ray. Hargailah dirimu sendiri. Ungkapkan apa yang ada di hatimu, jangan terus-menerus bersembunyi hanya karena takut melukai perasaan orang lain."

Raya menyentil hidung mancung Devan. "Sok dewasa banget. KTP saja belum punya," sindirnya.

Entah kenapa sentuhan Raya membuat Devan melayang sepersekian detik, melambung ke bulan. "Hei, jangan menghina! Aku sudah 19 tahun." Devan mengeluarkan KTP-nya dari dalam dompet. "Nih KTP-ku."

"Iya." Raya menyeringai melihat foto KTP Devan yang tampak polos, padahal aslinya hancur parah!

"Ini, Neng. Satenya empat porsi. Wah, si Eneng memang pintar sekali cari pacar. Ganteng pisan mirip Tao Ming Tse, Meteor Garden. Cocok," komentar Abang sate yang sukses bikin Raya gelagapan di depan Devan. Sedangkan, bocah itu malah menunjukkan ekspresi bahagia.

"Dia bukan-"

"Terima kasih, Bang. Doain kami berjodoh hingga ke pelaminan nanti. Ya 'kan, Sayang?" potong Devan cengar-cengir.

"Satunya Tao Ming Tse, satunya mirip San Chai. Pasti kalian berjodoh. Aku doakan," ucap Abang sate sambil ngeloyor pergi begitu saja meninggalkan dua insan yang dilanda situasi canggung.

Dalam hati Devan, dia mengamini doa Abang sate. Dia tahu doa orang yang teraniaya cepat dikabulkan Tuhan. Dilihat dari raut wajah Abang sate termasuk dalam golong orang-orang terzalimi.

Devan makan dengan lahapnya. Ini pertama kali dalam sejarah ada anggota keluarga Sanjaya makan di pinggir jalan. "Hmm, enak sekali. Nggak kalah rasanya dengan yang ada di restoran bintang lima."

Raya tersenyum melihat gaya makan Devan yang entah kenapa malah menyenangkan hatinya. Pemandangan berbeda saat dia makan bersama Claytone yang selalu menyisakan makanan di piring.

"Ray, malah bengong. Nanti saja kalau mau mengagumi wajahku. Sekarang kamu makan dulu gih."

Percaya diri sekali! Baru saja hati Raya sedikit terpesona dengan bocah itu, langsung musnah seketika.

Beberapa menit kemudian mereka kembali lagi ke kontrakan. Raya pun segera berpamitan untuk balik ke kamar.

"Sampai ketemu besok di sekolah. Hati-hati, jangan sampai terjungkal lagi." Raya melambaikan tangan.

"Ray, tunggu!" Tangan Devan menahan Raya pergi. Hatinya seolah tak rela jika malam itu cepat berlalu begitu saja.

"Apa lagi?"

"Boleh temani aku sebentar saja."

Raya tak menepis tangan Devan. "Kenapa, Dev? Ada apa?"

"Besok aku jemput, ya. Kita berangkat sama-sama."

"Tak perlu. Kamu pasti kerepotan jika menjemputku dulu. Langsung berangkat saja ke sekolah. Kita bertemu di sana, oke."

"Oke, jam enam lebih aku pasti sudah ada di depan kontrakanmu supaya kita tidak terlambat datang ke sekolah."

Astaga! Ini anak punya telinga nggak sih? Apa hanya berfungsi sebagai aksesoris saja? Batin Raya menggerutu.

"Bye, good night. Mimpi yang indah, Ray."

Tanpa menunggu jawaban Raya, Devan pergi begitu saja dari hadapannya. Meninggalkan asap motor yang mengepul di depan muka membuat Raya terbatuk-batuk.

Raya masuk ke dalam kamar. Dia cepat-cepat memeriksa ponselnya. Barangkali Claytone menelepon atau membalas pesan untuk meminta maaf padanya. Tapi seketika tubuhnya limbung. Apa yang diharapkannya, tidak terjadi. Claytone bahkan tak membaca semua pesannya.

Tangis Raya langsung pecah merasakan ngilu di dada. Apa ini yang dinamakan terluka tapi tak berdarah? Rasanya sesakit ini. Jika harus mengulang lagi, Raya tak yakin sanggup menghadapinya.

Kling. Suara pesan masuk berbunyi.

'Ray, terima kasih untuk malam ini. Aku bahagia. Semoga kamu pun merasakan hal yang sama.'

Kata-kata dari Devan malah membuat Raya semakin bersedih. Tangisnya seolah tak bisa berhenti hingga dia kelelahan dan akhirnya tertidur.