Ayhner menarik paksa Valeri menuju ruang kerjanya. Menghempasnya begitu saja di sofa berwarna gelap, di sudut ruangan tersebut. Ruangan yang sama persis seperti pertama kali Valeri masuki beberapa waktu lalu untuk meminta pembebasan ayahnya. Ruangan yang sama saat pertama kali Valeri dicium tanpa izin oleh Ayhner.
Ya,
Semuanya masih sama seperti beberapa waktu lalu.
Valeri sedikit meringis kesakitan saat merasakan nyeri di pergelangan tangannya. Ayhner benar-benar tidak pernah main-main jika dirinya sedang marah. Dia tidak pernah melihat siapa lawannya, entah itu laki-laki atau perempuan. Yang Ayhner tahu, dia harus segera melampiaskan amarah itu, saat itu juga.
Valerie masih memperbaiki duduknya di sofa saat tatapan tajam Ayhner menusuknya. Ayhner masih menatap Valerie dari kejauhan dengan tatapan yang sangat kesal. Tapi itu sama sekali tidak membuat Valeri takut.
Karena Valerie yakin, dia tidak berbuat hal yang salah. Valeri tidak pernah mengatakan rahasia mereka berdua kepada Shelia. Ia hanya mengatakan beberapa kata saja pada Bibi Elly. Jadi, itu tidak bisa disebut dengan membongkar rahasia. Ya, meskipun mungkin Bibi Elly pada akhirnya terlalu pandai menyimpulkan perkataan Valeri, kemudian dia bercerita pada Shelia, tentu saja.
"Jadi, bisa kau jelaskan, apa saja yang sudah kau katakan kepada Shelia?" tanya Ayhner dingin.
Valeri membuang nafas kasar. Baginya, di rumah ini banyak sekali pertanyaan yang harus ia jawab. Dan Valerie benci semua itu.
"Sudah berapa kali aku katakan, aku tidak pernah membicarakan rahasiamu itu, kepada Nyonya Shelia." Valeri menjeda kalimatnya. Mulai berfikir untuk menggunakan kalimat apa yang lebih sederhana, yang bisa ia gunakan untuk menjelaskan kejadian sebenarnya pada Ayhner yang tidak percayaan ini.
"Aku bersumpah, aku tidak membicarakan apapun!" ucap galeri kesal.
"Lalu, dari mana dia mengetahui hal itu jika bukan dari ucapanmu?" desak Ayhner.
"Aku rasa, Bibi Elly yang mengatakannya," ucap Valerie anteng.
Sejenak, Ayhner pun melebarkan matanya lalu mendekat ke sofa. Ke arah Valeri yang sedang duduk dengan tenang.
"Kau bilang dari Bibi Elly? Lalu, dari mana Bibi Elly tahu?" tanya Ayhner terkejut. Valerie membuang nafas kesal.
"Semalam, aku memang mengatakan sesuatu pada Bibi Elly. Tapi, aku tidak mengatakan secara jelas apa yang ingin aku utarakan." Terlihat Valeri meremas Kemarin ya gelisah. Valeri tahu, dirinya sangar ceroboh. Janji tetaplah janji. Dan seharusnya, dia tidak mengatakan hal sekecil apapun itu kepada Bibi Elly.
"Jadi, apa yang kau katakan pada Bibi Elly?" tanya Ayhner dengan dahi berlipat. Mencoba sabar menghadapi Valeri yang berbelit-belit tapi tetap menggemaskan baginya.
"Aku hanya mengatakan apakah Bibi Elly tau rahasia terbesar Nyonya Shelia. Hanya itu saja. Tapi, dia tidak menjawabnya, dia hanya mengatakan padaku untuk berhati-hati dan tidak mencoba mengurusi urusan kalian berdua." Valeri berkata dengan sangat yakin.
"Hanya itu yang kau katakan?" tanya Ayhner sambil memicingkan matanya. Valeri memutarkan bola matanya malas.
"Lalu aku harus berkata apa lagi? Aku rasa, mereka hanya menpermainkanku. Aku bahkan tidak mengatakan hal buruk apapun. Tapi, istrimu itu nyatanya sangat berlebihan sekali," ucap Valeri bersungut. Kini Valeri seperti seorang adik yang sedang mengadu pada kakaknya.
"Kau tahu, aku benci wanita bermulut manis seperti istrimu itu. Dia pandai sekali bersandiwara. Dan airmatanya itu, astaga...sangat menyedihkan," ucap Valeri dengan raut wajah lucu yang seketika membuat Ayhner tersenyum tipis.
Entah kenapa, Valeri ini nyatanya berbeda dengan Shelia. Apakah ini hanya keserakahannya saja, karena Ayhner kini sudah mulai jatuh hati pada Valeri.
Ayhner menatap Valeri yang tengah sibuk bercerita. Entah apa yang sedang Valeri ceritakan. Ayhner tidak bisa mencerna sepatah kata pun yang terucap dari bibir Valeri. Karena Ayhner benar-benar sibuk mengagumi Valeri yang lebih muda sepuluh tahun darinya itu.
"Anda baik-baik saja, Tuan?" tanya Valeri sedikit khawatir melihat majikannya itu menatapnya dalam. Valeri reflek beringsut mundur.
Ayhner berdehem begitu menyadari kebodohannya. "Aku tidak apa-apa. Jangan khawatir."
"Aku peringatkan sekali lagi, jangan pernah membicarakan hal yang bisa membuat Shelia curiga. Aku tidak mau rencanaku berantakan!"
"Aku juga punya rencana, Tuan. Aku juga tidak ingin gagal. Jadi jangan khawatir." Ayhner memicingkan lagi matanya. Kenapa akhir-akhir ini orang-orang di sekitarnya menjadi punya banyak rahasia. Lalu apa kira-kira rencana Valeri.
"Apa rencanamu?"
"Rencanaku tidaklah berbahaya, Tuan. Aku hanya ingin tahu, siapa orang yang membuat papaku berkhianat. Hanya itu," ucap Valeri serius. Tak ada raut bercanda sama sekali di wajahnya. Valeri memang tidak pernah main-main dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan papanya.
Sementara itu, Ayhner justru tersenyum mengejek. Membuat Valeri benar-benar tidak suka dengan tindakan Ayhner.
"Jadi sampai saat ini, kau belum tahu apa yang melatarbelakangi perbuatan ayahmu itu? Lucu sekali kau Valeri."
"Apa maksud anda, Tuan Ayhner?"
"Kau tahu, ayahmu itu kabarnya masih mencintai ibumu. Dan ayahmu itu melakukan banyak hal agar ibumu kembali. Termasuk memanjakannya dengan uang."
Tentu saja, ucapan Ayhner itu membuat Valeri terbakar amarah. Bisa-bisanya Ayhner mengatakan semua kebohongan itu. Sepengetahuan Valeri, justru Sebastian itu sangat membenci mantan istrinya itu.
"Anda jangan mengada-ada. Dari mana anda mendapatkan informasi sampah seperti itu!" ucap Valeri tajam.
"Tentu saja dari Shelia. Bukankah kau tahu kedekatan Shelia dan ayahmu itu. Mereka bahkan terlihat seperti ayah dan anak pada umumnya," ucap Ayhner enteng.
"Ya, mereka berdua sangat dekat. Kadang aku merasa iri pada kedekatan mereka berdua." Valeri menerawang sekilas.
"Tapi, apakah anda tidak berpikir, Tuan Ayhner? Bisa saja kan, ayahku berbuat jahat seperti itu juga karena dukungan dari istrimu itu. Jika dipikir ulang, mana mungkin ayahku bisa mencuri beberapa barang berharga dari ruang kerja, jika bukan atas bantuan dari orang-orang terdekatmu."
"Semua tahu bahwa keamanan di rumahmu ini sangatlah ketat. Tidak mungkin seorang sopir sekaligus tukang kebun bisa sembarangan masuk ke dalam ruangan ini," ucap Valeri yang seketika membuat senyum di wajah Ayhner pudar.
Ayhner membeku seketika. Semua yang diucapkan Valerie ada benarnya juga. Selama ini Ayhner hanya menuruti amarahnya saja. Sehingga Ayhner sangat membenci Sebastian membabi buta.
Dan selama ini Ayhner pun belum mendapatkan hasil dari penyelidikan kepolisian. Tentang siapa sebenarnya dalang dari pencurian besar yang dilakukan oleh Sebastian. Tidak mungkin hanya seorang sopir yang merangkap tukang kebun akan melakukan hal seperti ini.
"Oke baiklah. Anggap saja kau benar Valeri dan Ayahmu tidak bersalah. Lalu, setelah ini siapa orang yang paling kau curigai?" tanya Ayhner memancing.
"Aku belum memiliki bukti yang kuat. Jika aku sudah yakin dengan apa yang kutemukan, maka aku akan menceritakan semuanya pada anda." "Karena aku tidak akan pernah terima, jika ayahku selalu disebut sebagai penghianat karena kami bukan orang seperti itu."
"Sama sepertimu, aku juga tidak suka jika ada orang yang menuduh istriku yang bukan-bukan."
Seketika mata Valeri membulat setelah merasakan cekikan kuat di lehernya. Gerakan Ayhner begitu cepat hingga Valeri tidak menyadari hal itu. Valeri kehilangan nafas.
"Bagaimana jika dalang dari kejahatan ayahmu itu, aku sendiri?" Valeri melemas mendengar suara Ayhner yang pelan dan dalam. Matanya bergetar merasakan sakit di tenggorokannya. Ya, Ayhner benar-benar mencekiknya.