Entah siapa yang memulai, kini lidah keduanya sudah saling bertaut menuntut. Meskipun tidak bisa dipungkiri jika Valeri benar-benar amatir melakukannya. Tapi setidaknya, Valeri tidak memalukan.
Dalam hidupnya, ayahnya benar-benar menjaga Valeri dengan sangat hati-hati. Valeri hampir tidak punya teman dekat pria. Temannya hanya Emily dan Thomas. Itu pun isi kepalanya tidak ada yang waras.
Mereka bertiga hanya suka menghabiskan waktu untuk makan, belanja, dan jalan-jalan. Hanya sebatas itu. Dan itu pun berkat kebaikan ayah Valeri yang selalu mencukupi kebutuhan mereka bertiga.
Jadi, begitu Ayhner memaksa dan menuntutnya seperti ini, Valeri hanya mengandalkan insting saja. Ini adalah yang pertama bagi Valeri. Ingin rasanya Valeri menolak, tapi sialnya, tubuhnya justru menikmati setiap sentuhan Ayhner.
Hingga tiba-tiba Ayhner menyentak tubuhnya di ranjang,dan membuat Valeri terkejut.
Valeri dan Ayhner bersitatap dengan tatapan yang berbeda. Valeri menatap terkejut dan hampa,tapi Ayhner justru menatap Valeri dengan tatapan meremehkan.
"Bagaimana rasanya, Valeri?" tanya Ayhner dengan seringai liciknya. Valeri masih membeku di ranjang. Seolah Valeri sedang mengumpulkan potongan-potongan kejadian yang terjadi beberapa menit yang lalu.
Valeri masih setengah duduk dengan tubuhnya yang bertumpu pada kedua sikunya. Bahkan, kimononya pun sudah sangat berantakan dan bibir Valeri pun terlihat bengkak akibat ulah Ayhner.
Ayhner maju beberapa langkah mendekati Valeri, kemudian sedikit berjongkok di dekat Valeri. Perlahan tangan Ayhner pun terulur untuk merapikan kimono Valeri yang tersingkap hingga pangkal paha.
Tak lupa Ayhner pun menutup juga kimono bagian atas Valeri yang terbuka sempurna menampilkan separuh dada Valeri.
"Kau sudah pantas menjadi jalang, sekarang. Hanya saja kau belum bisa menggodaku. Dan aku sangat menyesal untuk itu," ucap Ayhner dengan raut wajah menyesal yang dibuat-buat.
Mata Valeri bergetar memanas. Ini memang salahnya karena terlalu larut dalam sentuhan Ayhner. Seharusnya, Valeri menguatkan hatinya agar tidak berbuai oleh Ayhner.
"Anggap saja aku tadi mengajarimu untuk sedikit liar. Jadi, jika besok kau bertemu pria kaya atau sejenisnya, kau bisa langsung menjajakan dirimu pada mereka."
Valeri mengepalkan kedua tangannya erat. Valeri benar-benar marah dan kecewa pada Ayhner. Hingga ia tak mampu berkata-kata.
"Kau sekarang bisa berbuat sesukamu. Aku tidak peduli. Awalnya aku menyukaimu karena kau begitu polos. Tapi semakin hari kau semakin liar rupanya." Ayhner hendak merapikan rambut Valeri, namun gadis itu menepis kuat. Membuat Ayhner mengangguk mengerti.
Valeri sedikit mundur kemudian perlahan berdiri. Tubuhnya terasa limbung karena jiwa dan hatinya benar-benar sedang terkejut oleh perlakuan Ayhner yang tiba-tiba.
"Aku pikir mulut pedasmu hanyalah tampilan diluarnya saja. Tapi ternyata semua yang ada padamu benar-benar sebuah kebusukan, Tuan Ayhner." Valeri bergetar dan matanya pun berkaca-kaca.
"Aku pikir kau bisa kupercaya. Tapi ternyata tidak sama sekali. Entah kenapa mengetahui sifat aslimu rasanya semenyakitkan ini." Airmata Valeri tiba-tiba saja luruh. Dan entah kenapa, ada pisau tak kasat mata yang tiba-tiba saja menusuk hati Ayhner.
"Jika kau pada akhirnya menyuruhku untuk menjual diri, kenapa kau susah payah membawaku kesini. Aku tahu dimana tempatnya. Seharusnya kau bisa antar aku kesana saja," ucap Valeri dengan isakan tertahan.
"Aku tahu hubungan kita tidak pernah baik. Tapi, setidaknya jangan keterlaluan kepadaku. Kau berani menyentuhku dan kau bilang aku sudah pantas menjadi jalang. Kau sangat luar biasa." Ayhner kelu. Tak bisa berbicara apa pun di depan Valeri.
"Sekarang keluarlah dari sini, Tuan. Orang terhormat sepertimu tidak pantas berada disini!"
***
"Makanlah yang banyak, setelah ini kita ke dokter untuk memeriksakan kakimu." Ayhner mengambilkan segelas susu hangat untuk Shelia.
Tak berapa lama Bibi Elly datang dengan membawa sandwich tuna kesukaan Shelia.
"Silahkan, Nyonya. Ini sandwich kesukaanmu." Elly meletakkan satu potong sandwich di piring Shelia. Ayhner terlihat sedang mencari-cari sesuatu.
"Kau mencari sesuatu, Ayhner?" tanya Shelia sekilas setelah mengamati suaminya yang terlihat aneh. Ayhner yang terkejut sampai tersedak hingga terbatuk.
"Makanlah perlahan, tidak ada yang akan meminta makananmu." Shelia memberikan segelas air mineral pada Ayhner. Dengan cepat Ayhner meneguk minumannya. Rasanya tenggorokannya seperti terbakar sekarang.
"Maaf, Tuan. Aku mengganggu sarapan anda." Leo datang dengan tergesa-gesa.
"Ada masalah apa?" tanya Ayhner datar.
"Semalam, Tuan Sebastian mengalami penganiayaan. Dan dini hari tadi, dia terpaksa harus dilarikan ke rumah sakit." Penjelasan dari Leo tersebut benar-benar mengejutkan untuk Ayhner.
"Bagaimana bisa!" teriak Ayhner geram. "Sudah aku bilang, jaga dia sebaik mungkin. Jangan sampai ada yang menyentuhnya!"
Shelia dan Bibi Elly seolah tidak terganggu dengan kemarahan Ayhner.
"Maaf, Tuan. Ini diluar kendaliku," ucap Leo menunduk salah.
"Beritahukan kepada Valeri, untuk cepat bersiap dan ikut aku ke kantor polisi." Ayhner beranjak dari tempat duduknya setelah merapikan alat makannya.
"Maaf, Tuan. Nona Valeri pergi dari rumah sejak dini hari tadi."
"Apa!?" Ayhner terkejut untuk kedua kalinya.
"Dengan siapa dia pergi?" tanya Ayhner tajam.
"Sendiri."
"Sendiri? Apa kau yakin?" tanya Ayhner masih penasaran.
"Dia pergi dengan tergesa-gesa. Hanya itu yang kutahu. Aku pikir dia sudah meminta ijin."
"Dasar bodoh!" ucap Ayhner benar-benar marah.
"Apa dia tahu soal ayahnya, lalu dia pergi menemui ayahnya?"
"Aku rasa dia tidak tahu. Karena kabar dari kepolisian pun aku terima pagi tadi, Tuan."
"Baiklah, biarkan saja dia pergi. Dia tidak akan pergi kemana-mana. Dia sangat ketakutan dengan rentenir itu. Jadi, dia tidak akan jauh dari sini. Kau boleh pergi, Leo. Sebentar lagi aku akan bersiap dan kita bisa pergi bersama."
"Baik, Tuan." Leo berlalu dari hadapan majikannya tersebut.
Sepeninggal Leo, Ayhner merasa janggal dengan Shelia juga Bibi Elly yang tampak tak terkejut dengan dua kabar yang dibawa oleh Leo.
"Apa kalian berdua tahu sesuatu?" tanya Ayhner datar namun tajam.
"Kami berdua hanya berada di dalam rumah. Mustahil kami berdua tahu banyak hal," ucap Shelia tenang. Wanita itu kembali memasukkan potongan sandwich ke mulutnya.
"sandwich buatan bibi benar-benar yang paling lezat," puji Shelia.
"Terima kasih, Nyonya." Senyum lebar tercetak jelas di bibir wanita paruh baya tersebut.
"Apa kalian berdua tahu soal penganiayaan di tahanan?" Shelia menghentikan sarapannya. Matanya merah menyala menahan amarah.
"Aku sama sekali tidak peduli dengan apa yang terjadi pada Sebastian. Jadi jangan bertanya padaku untuk hal-hal yang tidak penting!"
"Lalu bagaimana dengan kepergian Valeri. Apa kalian juga tidak tahu. Sebab sepertinya kalian berdua tidak terkejut sama sekali," ucap Ayhner penasaran. Ayhner merasa ada sesuatu yang tidak beres.
"Aku bilang aku tidak tertarik dengan keadaan ayah dan anak tersebut. Lagi pula, kenapa kau bertanya soal Valeri padaku. Bukankah kau semalam bersamanya!" Mata Shelia membulat sempurna. Seketika Ayhner pun pias.
"Bukankah kau hampir tidur dengannya? Kenapa kau tidak bertanya pada dirimu sendiri, tentang kesalahan apa yang sudah kau lakukan hingga dia pergi dari rumahmu!"