Chereads / Istri Kedua Tuan Ayhner / Chapter 11 - Ini Bukan Perselingkuhan

Chapter 11 - Ini Bukan Perselingkuhan

"Apa yang terjadi sebenarnya? Aku curiga kalian memang ada hubungan," ucap Bryan serius.

Malam itu juga Ayhner membawa Valeri ke apartemen miliknya. Mengingat luka dipinggang Valeri kembali nyeri, Ayhner langsung menelepon Dokter Bryan sesampainya mereka di apartemen. Ayhner sedikit khawatir, sebab luka itu baru dijahit seminggu yang lalu. Meskipun tidak dalam, tapi itu lumayan mengganggu Valeri.

Valeri pun hanya diam dengan tatapan kosong. Kejadian hari ini benar-benar membuatnya hancur. Untung saja Ayhner datang tepat waktu. Jika terlambat sedikit saja, entahlah apa yang akan terjadi.

Dan beruntung juga, Valeri tak menolak diperiksa oleh Bryan. Berkali-kali Bryan mengajaknya berbicara. Tapi Valeri tak mengatakan sepatah kata pun. Hanya mengangguk dan menggeleng. Mungkin dirinya masih syok. Bryan meminta Valeri menelan beberapa pil. Mungkin pereda nyeri atau penenang, entahlah. Yang jelas, kini Valeri tengah tertidur setelah meminum pil itu.

"Dia mengalami pelecehan di klub semalam." Ayhner menyesap kopinya yang masih memgepulkan asap. Kemudian melanjutkan lagi ucapannya. "Beruntung aku datang di saat yang tepat. Jika tidak, aku tak bisa memaafkan diriku sendiri."

"Sedalam itu?" tanya Bryan dengan senyum tipisnya. Pria berkacamata bening itu lalu menyeruput kopi yang dibuatkan oleh sahabatnya tersebut. Sekilas menghirup aromanya, lalu meletakkan kembali di meja.

"Kau tahu dia menderita seperti ini karena aku. Aku sengaja membuatnya berpisah dengan satu-satunya keluarga yang ia miliki. Anggap saja begitu."

"Dia menderita karena ayahnya, bukan dirimu. Ayahnya menjadi pengkhianat," ralat Bryan.

"Tapi kau tahu betul kan, jika aku tidak memenjarakan ayahnya, dia tidak akan semalang ini. Aku tidak akan miskin hanya dengan pencurian itu. Aku bisa saja melepaskan ayahnya. Tapi sayangnya, aku terlalu membenci pengkhianat." Kembali Ayhner menyesap kopinya.

"Dia pantas mendapatkan itu. Dia berani mencuri di tempat dirinya mencari makan. Benar-benar sudah gila," imbuh Bryan.

"Dan aku baru tahu, ternyata ayahnya punya hutang yang cukup banyak. Aku tak habis pikir, untuk apa uang sebanyak itu."

"Gadis yang malang." Bryan menatap iba pada Valeri yang tengah tertidur pulas.

"Aku harap kau tutup mulut soal ini. Aku tidak ingin orang rumah tahu soal aku membawa Valeri ke sini. Tempat Ini hanya aku dan kau yang tahu," ucap Ayhner menghabiskan kopinya.

"Apa kau sedang berselingkuh?" tanya Bryan penasaran. Tapi Ayhner justru tersenyum.

"Entahlah, bagaimana bisa aku menyebut ini perselingkuhan, sedangkan dia adalah satu-satunya wanita yang menolakku tepat di depan wajahku," ucap Ayhner getir.

"Kau serius? Kau pernah menyatakan perasaanmu padanya?" tanya Bryan tak percaya.

"Aku awalnya hanya bercanda. Aku menginginkan teman tidur. Tapi respon yang dia tunjukkan benar-benar diluar dugaan. Aku pikir dia akan merona lalu berubah manis dan malu-malu. Dia langsung menolakku saat itu juga." Ayhner tersenyum tulus mengingat pertemuannya dengan Valeri beberapa waktu lalu.

"Bagaimana dengan Shelia? Aku takut kau terbawa suasana, Ayhner. Jika kau pikir, Valeri adalah gadis yang malang,maka Shelia lebih malang darimu. Dia kecelakaan saat sedang bersama ibumu. Dan dia cacat sekarang," ucap Bryan tak bisa menyembunyikan kesedihannya.

"Diusia pernikahan kalian yang masih sangat baru, seharusnya kalian bersenang-senang. Atau bahkan kini Shelia sudah mengandung. Tapi kecelakaan itu merenggut semuanya. Dia cacat, dia tidak bisa hamil. Dan parahnya, dia tidak bisa melayanimu dengan baik." Bryan menatap Ayhner sendu. Begitu juga Ayhner, entah kenapa tiba-tiba merasa sangat bersalah pada Shelia saat ini.

"Dia pasti lebih menderita lebih dari yang kau tahu, Ayhner. Jangan abaikan dia." Setelah mengatakan itu, Bryan kemudian pamit pergi dari tempat tersebut.

Sepeninggal Bryan, Ayhner justru merasa hatinya kian tak karuan. Ayhner berubah menjadi egois akhir-akhir ini.

"Ini salah," gumamnya sendirian. Ayhner lalu menyalakan rokoknya. Mencoba membunuh rasa hampa dan bersalah yang tiba-tiba saja datang.

Dilihatnya Valeri yang tengah tertidur pulas. Sambil sesekali mengetukkan ujung rokoknya di asbak.

"Aku harus minta maaf pada Shelia."

Valeri membuka matanya. Sedikit memicing karena silau dari lampu kamar tersebut. Valeri ingat betul dimana dirinya saat ini. Semalam adalah hari terburuknya. Dan hari ini dirinya kembali sendirian. Tanpa siapa pun.

Valeri segera duduk menegakkan tubuhnya. Mengamati sekeliling dan tak ada Ayhner maupun Bryan. Seketika Valeri tersenyum miris.

Sepahit ini kah hidupnya?

Mata Valeri tak sengaja melirik pada meja di sudut ruangan. Ada secarik kertas sepertinya di sana. Perlahan Valeri bangkit dan berjalan menghampiri meja itu.

Ada segelas susu yang tak lagi dingin. Dua potong sandwich tuna.

Jika kau sudah bangun, segeralah makan. Aku tak tahu jam berapa nanti kau bangun. Kemungkinan susunya sudah dingin saat kau bangun.

Tiba-tiba saja dada Valeri bergemuruh. Dirobeknya kertas tersebut. Dan dengan cepat Valeri menyapu semua isi meja tersebut hingga berantakan di lantai.

Valeri terduduk lesu dengan tangis tertahan. Berkali-kali Valeri memukuli dadanya yang terasa sesak. Kini wajahnya pun sudah berurai airmata.

Tak henti Valeri bertanya tentang keadilan. Siapa yang pantas disalahkan atas semua kejadian yang menimpa dirinya. Ayahnya, Ayhner, ataukah dirinya sendiri. Valeri hanya bisa menangis sendirian.

Tak punya tempat berlindung. Sendirian merasakan sakit. Lelah karena harus bersembunyi dan berlarian menghindari penagih hutang. Semua itu sungguh membuat Valeri ingin mengakhiri hidupnya saat ini juga.

"Ayah...! Aku merindukanmu. Anakmu sedang tidak baik-baik saja, ayah," ratapnya pilu. Hingga tak lama Valeri dikejutkan oleh kedatangan seseorang.

"Apa-apaan ini?! Kau merusak apartemenku?!" Ayhner menatap nyalang ke arah Valeri. Begitu juga hal yang sama Valeri lakukan pada Ayhner.

"Ini tak seburuk bagaimana kau merusak hidupku!" teriak Valeri.

"Aku merusak hidupmu? Katakan sejak kapan?!" Ayhner yang sedang dalam suasana hati yang cukup buruk seketika tersulut emosinya. Dilemparkannya beberapa kantong belanjaannya ke lantai. Hingga segala isinya berhambur.

Ayhner mendekati Valeri yang masih terduduk tak jauh dari pecahan gelas. Mencengkeram rahangnya kuat hingga Valeri mendesis kesakitan.

"Dasar tidak tahu balas budi. Setidaknya, jika tidak bisa berterima kasih, lebih baik diam saja. Banyak yang kupertaruhkan saat membawamu kesini."

"Aku tidak pernah memintanya!" lawan Valeri meskipun dengan suara yang tak jelas akibat rahangnya yang dicengkeram.

"Bagus! Benar-benar tak tahu balas budi. Ayah dan anak sama saja."

"Jangan bawa-bawa ayahku," ucap Valeri tak terima.

"Kenapa? Apa kau malu mengingat ayahmu sedang dipenjara karena mencuri? Sangat menyedihkan. Ayahmu tak pantas hidup seharusnya. Karena dia sudah tega menyeret putri sebaik dirimu ke jurang kesengsaraan," ucap Ayhner sedikit menyulut emosi Valeri.

Dengan geram Valeri menepis tangan Ayhner. Dengan membabi buta Valeri mulai memukuli Ayhner dan membuat pria itu kewalahan.

"Valeri, hentikan!" sentak Ayhner. Namun Valeri yang dikuasai amarah tetap tak mau berhenti memukul. Hingga satu pukulannya tepat mengenai sudut bibir Ayhner. Membuat Ayhner terkejut dan terpaksa berbuat kasar. Yaitu mengunci tangan Valeri sekuat tenaga. Wajah mereka saling berhadapan dengan nafas keduanya yang saling memburu menahan amarah. Satu bulir airmata Valeri kembali jatuh.

"Ijinkan aku bertemu ayahku. Aku rindu padanya. Kenapa kau kejam sekali tidak mengizinkan aku melihValer" ucap Valeri terisak. Tangannya yang tadinya tegang kini mulai mengendur.

"Bawa aku menemui ayahku aku mohon," ucap Valeri memohon dengan tangisan yang pilu. Bahkan Valeri segera menjatuhkan tubuhnya dan berlutut di kaki Ayhner.

"Kenapa mempersulit hidupku. Aku membutuhkan ayahku. Hanya dia satu-satunya yang aku punya." Valeri tergugu pilu. Membuat Ayhner seketika iba. Ayhner lalu mensejajarkan dirinya. Mencoba merengkuh Valeri yang sedang tersedu.

"Maafkan aku."

Mendengar perkataan Ayhner, Valeri semakin tersedu. Dicengkeramnya coat warna cokelat tersebut kuat-kuat. Seolah bisa mengurangi beban didadanya selama ini. Cukup lama keduanya berpelukan. Ada rasa nyeri tiba-tiba merambati hati Ayhner.

"Aku tak tega melihatmu seperti ini. Tapi ayahmu benar-benar keterlaluan dan kau tahu itu." Ayhner menghela nafas dalam sambil tetap memeluk Valeri yang masih terisak.

"Makanlah, setelah itu kita akan bertemu ayahmu."

IG : meipratiwi912