"Apa maksud mu? Jadi, perempuan itu di sana?" tanya Shelia tak percaya. Terdengar desahan kasar dari seberang panggilan. Bisa-bisanya Ayhner membawa wanita lain dengan mobilnya. Padahal, jelas-jelas Ayhner mengatakan jika dia ada pertemuan dengan klien-nya. Tapi ternyata Ayhner berbohong. Dan hingga larut malam, Ayhner pun tak kembali. Bahkan, ponselnya pun tidak bisa dihubungi.
"Aku pikir yang kau datang, tapi ternyata Valeri yang datang. Aku bahagia dan terkejut diwaktu yang hampir bersamaan." Terdengar kekehan dari seberang panggilan.
"Astaga, Axton. Bagaimana bisa perempuan itu membawa mobilku? Dan Ayhner, mengapa dia memperbolehkan perempuan itu membawa mobilku?" geram Shelia kesal setengah mati.
"Mana aku tahu, Sayang. Tanyakan pada suamimu Tuan Ayhner yang Terhormat itu."
Ya, pria di ujung panggilan itu adalah Axton. Mereka berdua memang sangat akrab dari dulu. Antara Axton, Shelia dan Ayhner ada hubungan rumit di masa lalu.
Axton dan Ayhner selalu ribut dan bersaing bahkan untuk hal kecil sekalipun. Mereka akan tetap bersaing demi mendapatkan hal yang sama-sama mereka inginkan.
Dahulu, Shelia adalah gadis populer di kampus. Dan Axton adalah pria beruntung yang bisa mendapatkan perhatian lebih, dari Shelia. Tapi, rupanya Ayhner tidak menyukai itu, hingga Ayhner pun mulai mendekati Shelia. Tak ada perasaan sama sekali kala itu. Hanya saja, Ayhner harus bisa mendapatkan apa yang Axton miliki, begitu juga sebaliknya.
Hubungan itu semakin rumit saat kedua orangtua Ayhner dan Shelia justru menjodohkan mereka berdua. Shelia hanya menaruh hati pada Axton. Tapi, kenyataan jika Ayhner lebih kaya dari Axton, membuat Shelia berpaling.
Dengan menikahi Ayhner, Shelia berharap akan menjadi wanita yang sempurna dengan gelimang harta. Namun tuntutan keluarga Ayhner untuk bisa secepatnya hamil begitu membebani Shelia. Ditambah lagi, mereka menikah masih hitungan bulan.
Dan setiap kali keluarga Hamilton menghadiri pesta, pertanyaan yang sama pasti akan keluar.
'Apakah sudah ada tanda-tanda kehamilan?'
'Apakah Ayhner Junior sudah hadir?'
Pertanyaan itu sungguh sangat menyebalkan bagi Shelia.
"Aku akan menunggu Ayhner pulang. Aku akan tanyakan apa yang sebenarnya terjadi."
"Ide bagus. Kau tak merindukanku?" goda Axton lembut setengah berbisik. Membuat shelia sedikit membeku. Axton memang pribadi yang hangat. Dan tahu bagaimana menghargai wanita. Berbeda dengan Ayhner yang memang dingin dari dulu.
"Jangan mulai, Axton." Shelia benar-benar tak enak hati pada Axton. Sungguh, pria itu terlalu baik untuknya.
"Seharusnya kita dulu bisa bersama, Shelia. Mungkin kita bisa bahagia melebihi siapapun, kau tahu itu. Tapi kau justru memilih Ayhner dan berpaling dariku." Axton terkekeh getir.
"Axton....," lirih Shelia. Tiba-tiba saja hati wanita itu serasa tertusuk pisau tak kasat mata. Matanya pun terasa memanas seketika.
"Oke baiklah, itu hanya masa lalu. Lagi pula, saat itu aku belum sehebat sekarang. Bahkan sangat jauh jika dibandingkan dengan Ayhner. Terima kasih, Shelia."
Panggilan terputus menyisakan sakit yang mendalam untuk Shelia. Axton sangar tulus, tapi ia telah merubahnya menjadi sosok yang berbeda saat itu.
Shelia masih duduk terpaku di tepi ranjangnya. Hingga bunyi pintu yang terbuka mengejutkannya. Ternyata Ayhner yang datang. Dan seperti biasa, Ayhner datang ketika hari sudah pagi. Mereka hanya saling menatap beberapa saat. Dan Shelia memilih untuk memutuskan kontak mata tersebut.
"Kau sudah sarapan?" tanya Ayhner sambil duduk berjongkok di depan Shelia. Shelia tersenyum getir. Ini adalah pertanyaan rutin yang selalu Ayhner tanyakan jika pulang pagi.
"Beberapa bulan kita menikah, dan hanya pertanyaan itu yang aku dengar setiap pagi. Apa menurutmu itu adil untukku yang tidak bisa tidur semalaman karena memikirkanmu?" ucap Shelia datar. Ayhner menghela nafas lelah.
"Shelia, aku lelah, jangan memulai lagi," ucap Ayhner lembut. Mencoba mencairkan suasana yang sempat menegang akhir-akhir ini. Dan semua itu karena kehadiran Valeri.
"Dan jawabanmu selalu sama, bukan?" Shelia menatap manik Ayhner tajam. Meskipun matanya sendiri mulai memanas, tapi Shelia tak pernah takut menatap manik Ayhner yang tajam.
"Aku bosan dirumah. Aku ingin pergi jalan-jalan." Ucap Shelia tiba-tiba. Ayhner menggenggam tangan Shelia yang putih pucat itu.
"Kita tahu kau tidak bisa berjalan jauh. Kau masih harus mendapat perawatan yang tepat. Kita tidak boleh sembarangan bepergian. Kau mengerti?" Ayhner masih berusaha bersabar ditengah pikirannya yang bercabang memikirkan keberadaan Valeri.
"Baiklah, aku di rumah bersama Bibi Elly dan kau bersenang-senang dengan Valeri di luar sana. Ide yang bagus!" sarkas Shelia yang seketika membuat Ayhner sedikit menegang.
"Di mana mobilku? Ke mana kau membawa wanita sialan itu hah?!" teriak Shelia kalap. Sabarnya sudah tak berarti lagi. Hatinya sudah benar-benar sakit.
"Shelia, apa maksudmu?"
"Kau masih menyangkal? Kemarin kau bersama Valeri, bukan?" Ayhner seketika kehilangan keseimbangan.
"Kau membawa mobilku bersamanya? Luar biasa. Ada apa denganmu hah? Kau bosan bersama wanita lumpuh sepertiku?"
"Bukan seperti itu. Baiklah, aku membawanya menemui Sebastian. Hanya itu," ucap Ayhner akhirnya. Tak ada gunanya lagi menyembunyikan keberadaan Valeri. Dia bukan pria brengsek yang bermain di belakang. Lagi pula, tidak ada sesuatu yang istimewa antara dirinya dan Valeri. Setidaknya untuk saat ini.
"Dengar Ayhner, kau sudah tak adil padaku. Aku istrimu dan akhir-akhir ini, kau lebih memikirkan perempuan itu. Apa kau lupa jika ayahnya sudah mencuri di rumah ini?" ucap Shelia dengan nafas memburu menahan amarah.
"Shelia, kau hanya sedang lelah. Jangan berpikiran macam-macam."
"Semua sudah jelas, Ayhner. Kau sudah mulai tergoda dengan perempuan itu!"
Bibi Elly yang hendak mengantar teh untuk kedua majikannya,memilih pergi begitu saja saat mendengar majikannya yang sedang bersitegang. Hati perempuan itu ikut sakit mendengar perdebatan pasangan muda tersebut.
"Kau berlebihan, Shelia!" ucap Ayhner sudah mulai lelah dengan semua perdebatannya.
"Kau bahkan sudah tidak menganggapku, kau tidak pernah menghabiskan waktu untukku. Kau tidak pernah menyentuhku!" Shelia membuang semua bantal dan benda apa pun yang ada di dekatnya.
"Shelia, maafkan aku, aku mohon." Ayhner bergegas memeluk Shelia untuk menenangkan wanita itu.
Sungguh saat ini Ayhner pun tak tahu ada apa dengan perasaannya. Ayhner iba dengan Shelia. Tapi hasrat untuk Shelia seolah hilang begitu saja saat nama Valeri menari di otaknya. Sesering apa pun Ayhner mencoba, hasilnya selalu nihil.
"Kau berubah Ayhner, kau sudah jauh dariku," isak perempuan malang itu sambil terus memukuli dada bidang Ayhner.
"Maafkan aku yang jahat padamu. Aku tak bermaksud, sungguh." Ayhner membingkai wajah Shelia dan melihat berapa wanita itu terlihat kurus dari biasanya. Ada rasa bersalah yang hadir saat dengan sengaja Ayhner justru mengabaikan Shelia beberapa waktu ini.
Ayhner mengecup lembut bibir Shelia yang masih terisak penuh luka.
"Maafkan aku," ucap Ayhner sekali lagi.
"Bawa mobilku pulang. Aku tak sudi berbagi dengan perempuan itu." Ayhner mengangguk paham.
"Aku akan mencarinya lagi."
"Dia bersama Axton."
"Apa?"