Flashback on.
"Ini kau pakai!"
Karina menoleh, melihat jaket hitam yang kini sudah ada di depan matanya. Tampak dia sama sekali tak tertarik untuk menerima jaket tersebut. "Tak perlu."
Membangunkan tubuhnya, Karina melangkah melewati Jhosua yang menghalanginya. Diambilnya tas milik dia yang berada di atas sebuah meja. "Aku akan langsung pulang," ucapnya.
Jhosua membalikkan tubuhnya. Terlihat sekali kalau pria itu berusaha untuk menahan amarahnya karena memang sedari tadi Karina selalu menunjukkan sifat tak acuhnya kepada Jhosua.
"Bersikaplah baik kepadaku dan menuruti setiap ucapan ku, apakah kau tak bisa melakukan hal tersebut?" tanya Jhosua, sembari menghampiri Karina dan menarik kencang tangan wanita itu, hingga kini posisi mereka berhadapan.
Untuk melihat wajah Jhosua, Karina harus mendongakkan kepalanya terlebih dahulu. Dapat dilihatnya dengan sangat jelas bagaimana rahang Jhosua yang mengeras, seolah sedang menahan amarahnya saat ini. Aura pria itu terasa sangat kuat sekali, seolah menakan Karina hingga menyebabkan sebuah rasa takut tercipta di dalam hatinya.
Untuk mengurangi rasa takutnya itu, lantas Karina mengalihkan arah pandangannya, menatap ke tempat lain, yaitu ke sebuah lukisan besar yang berada tepat di belakang Jhosua.
"Bisakah kau menurut padaku sekali saja?" tanya Jhosua dengan penuh penekanan pada setiap katanya.
"Kau bukanlah siapa-siapa ku, jadi tak ada alasan untuk aku menurut padamu," balas Karina. Sebisa mungkin, dia melepaskan tangan Jhosua yang terus mencengkram nya itu. Rasanya sangat sakit sekali, dia yakin bahwa sebuah luka pasti sudah terbiasa di kulit lengannya akibat ulah Jhosua saat ini.
Seringai yang tercipta di wajah Jhosua, membuatnya terlihat sangat menyeramkan. Dengan susah payah, Karina menelan ludahnya. Wanita itu sama sekali tak mengerti dengan maksud tatapan Jhosua saat ini.
Hatinya sangat berharap sekali kalau Jhosua tak melakukan sesuatu yang buruk pada dirinya.
"Why baby? Are you scared?" Sentuhan Jhosua di wajahnya semakin membuat keadaan Karina semakin ketakutan. Buku kuduknya seolah berdiri saat itu.
Sungguh, dia tak tahu lagi bagaimana mengusir rasa takut itu.
Semakin dirinya menunjukkan ketakutan itu, justru semakin senang Jhosua. Mungkin, pria itu merasa seolah telah menguasainya, oleh karena itu Karina sama sekali tak ingin menunjukkan ketakutannya.
"Tidak!" jawab wanita itu dengan tegasnya.
Tarikan pada bagian pinggulnya semakin kuat, mempersempit lagi jarak diantara mereka. Wajah mereka yang berhadapan itu, membuat Karina kini bisa merasakan hembusan napas dari pria yang ada di depannya.
"Aku tahu apa yang kau rasakan, jangan menyembunyikannya, My Psycho." Pegangan Jhosua mulai merenggang, hal itu menyebabkan Karina tak ingin menyia-nyiakan kesempatan, dia pun juga mendorong kencang tubuh Jhosua, sehingga pria itu melangkah mundur, menjauhinya.
"Aku mau pulang," ujar Karina. Napas wanita itu sudah tersengal-sengal, bahkan kini keringat sebesar biji jagung telah menetes di bagian keningnya, seolah menunjukkan bahwa dia benar-benar tengah ketakutan.
Berbalik, Jhosua kembali mengambil jaket hitam nya. "Pakailah ini. Cuaca sedang tidak baik, baju mu juga tipis. Aku yakin, kau akan kedinginan nantinya."
"Aku bilang tidak perlu---"
"Kau ingin memakai ini atau tak pulang?"
Lagi, Jhosua mengancamnya. Pria itu memang sangat ahli membuat semua keinginannya terkabulkan hanya dengan ancaman saja dan hal tersebut benar-benar membuatnya muak sekali.
"Baiklah." Tak ada alasan lagi untuk Karina menolak. Dengan rasa terpaksa nya, langsung saja dia mengambil jaket tersebut dan mengenakannya.
Jaket itu benar-benar sangat besar sekali ukurannya, membuat tubuh Karina hampir tenggelam dengan pakaian tersebut.
Sempat dia melihat Jhosua yang tersenyum. Tatapannya menajam, saat itu juga Jhosua kembali menunjukkan raut wajah datarnya.
"Kau menertawakanku?" tanya Karina dengan penuh kecurigaan.
Jhosua membalas dengan menggelengkan kepalanya. "Tidak."
"Tapi, tadi aku---"
"Sst, diamlah My Psycho, kau benar-benar sangat cerewet sekali."
Flashback off.
"Hey, mengapa kau melamun saja!" Sebuah tangan melambai tepat di depan wajah Karina, suaranya yang cukup cempreng jika memasuki telinga, membuat Karina saat itu langsung terkejut kala mendengarnya.
Tubuhnya terlonjak kaget. Dia kembali menatap pada jaket yang kini sudah berada tepat di depan wajahnya.
"Itu ... kau menemukannya di mana?" tanya Karina dengan gelagat gugupnya.
Jari telunjuk Karina terangkat, mengarah ke sofa, di mana dirinya menemukan benda tersebut tadi. "Aku menemukannya di sana. Apakah sebelumnya ada tamu di sini dan meninggalkan barang ini?"
"Ya," balas Karina cepat. "Itu milik ... teman Arsen. Sebelum suamiku pergi, dia terlebih dahulu menemui temannya di rumah ini dan aku baru menyadari kalau ada jaket di sana." Karina mengeluarkan seluruh alibi nya, dalam hati dia, sangat berharap sekali kalau Maureen dapat mempercayai apa yang baru saja dikatakannya tadi.
"Oo, tamu. Aku pikir, kau diam-diam berkencan dengan pria lain." Diberikannya sebuah kedipan mata yang seolah sedang menggoda Karina saat itu.
"Tidak, mana mungkin aku berani menduakan Arsen. Meski pria itu sudah berubah, aku tak akan menduakannya." Karina beralih, dia kembali duduk di tempatnya semula lagi.
"Uhhh, wanita yang romantis sekali." Jelas, Karina tahu bahwa ucapan dari Maureen tadi bersifat menyindir dan menghina nya.
Karina melakukan rolling eye, merasa kesal dengan godaan dari Maureen. "Sekarang minum teh mu, lalu temani aku menjemput Joy."
"Okey!" Diambilnya secangkir teh dengan asap yang masih menguap tersebut.
Sementara Karina, harus bersiap-siap untuk pergi dari rumah. Dia memakai sebuah cardigan abu-abu juga sebuah topi. Setelahnya, kakinya melangkah keluar dari kamar, melihat Maureen yang telah menghabiskan minumannya.
"Ayo pergi."
Keduanya langsung keluar dari rumah tersebut, memasuki mobil yang membelah jalan raya Kota Jakarta itu. Untuk menuju ke rumah nenek Joy, mungkin menghabiskan waktu sekitar 2 jam saja. Lebih lama, karena saat ini masih siang hari dan bertepatan pada jam makan siang, sehingga banyak kendaraan yang memenuhi jalan raya.
"Kau tahu, sedari tadi aku merasakan sesuatu yang aneh," Maureen bersuara, mengisi keheningan diantara mereka.
Lantas Karina menengok, menatap Maureen dengan penuh kebingungan. "Maksudmu?"
"Lihatlah kaca spion!"
Perintah yang diberikan oleh Maureen itu
langsung dituruti oleh Karina. Wanita itu menatap ke kaca spion, melihat jalanan lenggang di belakang yang hanya ada satu mobil hitam saja.
"Mobil itu sedari tadi mengikuti kita," ikat Maureen sembari menginjak gas dan mempercepat laju mobilnya lagi.
"Kita sedang diikuti?"
"Ya."
Wanita itu bisa merasakan getaran di celana nya. Langsung saja dia mengabil benda pipih yang ada di celana nya itu, membuka ponsel dan melihat pesan yang dikirim untuk dirinya itu, entah berasal dari siapa.
Jangan khawatir My Psycho, itu adalah anak buah ku. Mereka adalah mataku yang akan selalu mengawasimu, di manapun itu dirimu berada.