Ketahuan yang ada di dalam hati Karina semakin membludak, ditambah kala dia mulai merasakan tatapan mata Jhosua yang sangat tajam, bagaikan mata pisau yang siap menggoresnya. Semakin waktu berjalan, desakan dari Jhosua terus bermunculan yang ditunjukkan dari sikap pria itu.
Beberapa kali, Karina menjilat pelan bibirnya. Kepala dia yang sedari tadi menunduk, dipaksa untuk tegak, menghadap pada Jhosua yang sedari tadi menuntutnya untuk berbicara.
"Katakan!" perintahnya itu sangat menghipnotis Karina untuk membuka suara. Perintah yang mutlak dengan aura kepemimpinan yang ditunjukkan oleh Jhosua semakin mendesak keadaannya.
"Bisakah kau menjauhiku? Ku mohon. Anggap saja, malam itu adalah kesalahan ku yang terlalu ceroboh untuk mabuk----"
"Malam itu bukan kesalahan," ujar Jhosua dengan penuh penekanan pada setiap kata yang terucap. Pria itu kembali merangkulnya, memaksa mereka terus berada dalam jarak yang dekat. Kemarahan terlihat dengan jelas, Karina bisa melihat kemarahan yang sedang ditahan oleh Jhosua saat itu. "Malam itu adalah sebuah keberuntungan untukku, jangan anggap sama sekali bahwa itu adalah kesalahan."
Bunyi dering ponsel mulai terdengar, mengisi keheningan diantara mereka yang sempat terjadi beberapa saat. Karina merasakan getaran di bagian kantong celana nya, sehingga dia memberikan sebuah dorongan kecil di bahu Jhosua. Untungnya pria itu mengerti dan tak lagi menunjukkan keegoisannya, sehingga Karina bisa langsung mengambil ponselnya yang berada di dalam kantong celana itu.
"Joy." Karina memilih untuk melangkah, menjauhi tempat tersebut agar bisa menghindari Jhosua, lalu menjawab panggilan tersebut. "Ya, ada apa Nak?" jawab Karina dengan suara yang sangat lembut.
'Ibu kok lama banget, aku udah nunggu ini.'
Lantas Karina menepuk dengan pelan keningnya atas kebodohan yang telah dilakukan olehnya. Karena berurusan dengan Jhosua, membuat waktunya dihabiskan meladeni kegilaan pria itu.
"Sebentar, Ibu akan pulang. Kau tunggu saja, ya. Inget jangan keluar, tetep di rumah dan bermain saja, oke!"
'Iya, bu.' Anak itu menjawab dengan suara yang sangat lemas.
Setelahnya, Karina langsung memutuskan sambungan telepon tersebut dan memasukkan benda pipih itu ke dalam kantong celana nya lagi. Dia berbalik dan melihat Jhosua yang masih berada di tempatnya dengan pandangan lurus ke tempat dirinya berada saat ini.
"Kenapa?" tanya Jhosua sembari melangkahkan kakinya, menuju ke tempatnya.
"Joy menungguku, aku harus pulang." Diambilnya trolli yang dibawa oleh dia tadi, hendak beranjak dari sana. Saat dia akan melangkah, troli itu terasa berat untuk ditariknya, membuat dia langsung menoleh. "Kenapa?"
"Jika aku menelpon mu, aku harap kau menjawabnya. Kau akan tahu jika tidak menurut dengan ucapan ku," ancam Jhosua lagi, tangan yang sedari tadi menahan trolli itu langsung terlepas, membiarkan Karina pergi dari sana tanpa membuka suara lagi.
Karina benar-benar tak bisa menggambarkan perasaanku saat ini. Kesal? Tentu saja. Namun saat ini, dia hanya bisa menahan perasaan kesal tersebut dari Jhosua. Mengenalnya meski dalam beberapa hari ini saja, Karina sudah sangat hafal dengan sikap milik pria itu yang sangat dominan.
***
"Ibu, kok lama banget sih!"
Karina meringis pelan melihat mata Joy yang sudah memerah. Mungkin anak itu sempat menangis karena telah ditinggal oleh dirinya dalam waktu yang cukup lama. Pasti Joy sudah sangat kelaparan karena menunggunya.
"Tunggu sebentar, ya. Ibu janji akan masak dalam waktu cepat." Buru-buru Karina membawa belanjaan yang ada di dalam tas belanja ke dapur, lalu menaruh di atas meja dapur tersebut dan mengeluarkan setiap belanjaan yang ada di tas itu.
Dia memisahkan barang-barang yang sekiranya sangat penting untuk membuat sup ayam. Setelah selesai, Karina memulai masak dengan gerakan cepat. Beberapa kali, dia melirik ke arah Joy yang masih terdiam dengan mulut mengerucut, suasana hatinya pasti sangat buruk karena kelaparan.
Membutuhkan waktu sekitar 20 menit untuk Karina menyelesaikan masakannya itu, setelah selesai, dia pun menyajikannya ke dalam dua mangkuk yang berbeda dan mengantarkannya ke atas meja.
"Masakan sudah jadi!" Karina tersenyum lebar menatap Joy yang sudah antusias. "Pelan-pelan, ini masih sangat panas." Diambilkannya sebuah sendok dan dia menaruh ke dalam mangkuk sup ayam yang masih panas itu, bahkan asap nya saja mengepul mengelilingi ruangan itu, sampai membuat aroma wangi makanannya mengerbak ke seluruh penjuru ruangannya.
"Kau tunggu dulu, Ibu mau membereskan belanjaan tadi."
Joy mengangguk, dia membiarkan ibunya pergi dari sana. Sembari menunggu sup itu lebih hangat, dia memilih untuk membuka ponsel miliknya, berniat untuk bermain game di sebuah aplikasi.
Namun, niat itu harus luntur seketika kala dia melihat sebuah panggilan yang dikirim untuknya. "Ayah." Wajahnya terlihat ceria setelah mendapatkan panggilan dari ayahnya itu.
Langsung saja Joy menjawab panggilan itu, mendengar suara berat yang berasal dari ayahnya. "Halo, Ayah!" sapa Joy dengan penuh semangat.
'Joy, bagaimana kabarnya? Sehat?' tanya Arsen dari seberang telepon.
"Ya, aku sehat, ibu juga sehat. Ayah kapan pulang?"
Untuk beberapa saat, tak ada jawaban yang diberikan oleh Arsen, membuat Joy kebingungan. "Ayah?" panggil dia.
'Ya, hmm ... Ayah kayaknya pulang besok kau tunggu saja, ya. Terus, sekarang di mana Ibumu?'
"Ibu lagi di dapur. Tadi habis pulang dari minimarket. Ayah gak kangen ibu? Udah lama gak ketemu."
'Ayah tentu kangen, sama kamu, sama Ibu juga.'
Joy tersenyum kecil. Hatinya terasa menghangat mendengar ucapan ayahnya itu. "Cepatlah pulang, Yah. Aku mau kita kayak dulu lagi, bisa?" cetus Joy, suaranya terdengar sangat pelan tapi penuh akan ketulusan.
'Udah dulu, ya. Ayah ada kerjaan.'
Sambungan telepon langsung terputus saat itu juga, lantas Joy menaruh kembali benda pipihnya itu ke atas meja dengan wajah cemberut yang terlihat jelas.
"Joy kenapa cemberut gitu? Apa sup ayam nya gak enak?" Karina tiba-tiba datang dan duduk tepat di depan Joy.
"Ayah tadi menelpon. Aku kangen Ayah, udah lama banget kita gak main bareng." Dikeluarkan seluruh keresahan hati yang
kini dirasakan pada ibunya. Matanya menunjukkan bagaimana dia yang kesepian karena tak bisa lagi merasakan kehangatan, mampu membuat Karina tertegun saat itu juga.
Karina menahan nafasnya, berusaha untuk tak menunjukkan bagaimana sedihnya dia saat ini juga. "Ayah pasti nanti akan pulang dan nanti, jika ayah pulang, kita akan main bersama," bujuk Karina.
Namun, bujukan itu tampak sama sekali tak membuat Joy terhibur. "Kayak ya sudah beberapa kali Ibu janji mau main bareng, tapi gagal terus. Joy males kalau gitu." Anak itu mulai merajuk lagi dan tampaknya kali ini akan lebih sulit untuk dibujuk.
"Percayalah, kali ini Ayah mu pasti akan mengabulkan apa yang kau inginkan." Dalam hati, Karina hanya bisa meringis. Dia tak tahu, harus berapa kali lagi membohongi Joy agar keadaan di antara mereka cepat membaik.
"Bohong!"